Penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Riarinda Firgasih, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian memperpanjang kasus korupsi yang melibatkan dinasti politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Riarinda Firgasih, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian memperpanjang kasus korupsi yang melibatkan dinasti politik. Meski kasus terus berulang, dinasti politik korup tetap tumbuh subur. Ini imbas dari lemahnya tiga P: partai politik, pasal, dan pemilih.
Kamis (2/7/2020) petang bisa jadi akhir dari perjalanan dinasti politik Ismunandar. Ia bersama istrinya ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa jam sebelumnya, keduanya diduga menerima suap terkait sejumlah proyek di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Penerimaan suap ini diduga bukan yang pertama kalinya.
Perjalanan dinasti politik Ismunandar dimulai sejak 2014. Adalah Encek yang merintisnya. Pada Pemilu 2014, kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu terpilih menjadi anggota DPRD Kutai Timur. Ia kemudian didapuk menjabat Wakil Ketua DPRD Kutai Timur.
Selang satu tahun, giliran Ismunandar yang masuk ke dunia politik dengan maju sebagai calon bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Saat itu, ia memperoleh tiket pencalonan dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, PPP, dan Hanura. Dia berhasil memenangi kontestasi.
Pria yang meniti karier sebagai birokrat di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur itu dilantik pada 2016 dengan masa jabatan hingga 2021.
Selanjutnya, perjalanan dinasti politik Ismunandar kian moncer. Pada Pemilu 2019, Encek terpilih kembali, bahkan ia terpilih menjabat Ketua DPRD Kutai Timur.
Dengan kekuasaan eksekutif yang dikuasai Ismunandar dan kekuasaan legislatif dipegang Encek, kemudian terjadi kekuasaan melenggang tanpa pengawasan.
Begitu mudah proyek-proyek di Kutai Timur ditangani oleh perusahaan rekanan yang telah memberikan imbalan untuk Ismunandar. Hal tersebut diamini Encek. Padahal, sebagai Ketua DPRD, ia seharusnya mencegah agar penyimpangan tidak terjadi.
Ironisnya lagi, sejumlah uang suap ditengarai digunakan untuk membiayai kampanye Ismunandar dalam Pilkada 2020. Dengan kata lain, bisa saja dinasti politik Ismunandar kian langgeng. Beruntung KPK mengendus praktik korupsi tersebut sehingga kerugian lebih besar dapat dicegah.
Bukan pertama
Korupsi yang berawal dari dinasti politik bukan kali ini saja terjadi. Enam tahun lalu, misalnya, KPK menangkap Bupati Karawang Ade Swara bersama istrinya, Nurlatifah, yang menjabat anggota DPRD Karawang. Keduanya ditangkap karena menggunakan wewenang untuk melakukan pemerasan dalam pengurusan surat permohonan pemanfaatan ruang (Kompas, 19/7/2014).
Belum hilang dari ingatan deretan kepala daerah lain yang jadi bagian dari dinasti politik dan tersandung korupsi, seperti mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, serta bekas Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suaminya yang juga mantan Wali Kota Cimahi Itoch Tochija.
Pola dinasti
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menyebutkan, setidaknya ada tiga pola politik dinasti yang hingga kini tumbuh subur.
Pertama, model lintas kamar. Dalam model ini, kepala daerah dan ketua DPRD diisi oleh satu garis keturunan keluarga. Hal ini seperti terjadi di kasus Kutai Timur.
Kedua, pola regenerasi. Ini bak arisan keluarga. Jadi, misalnya, jika periode sekarang ayahnya berkuasa, periode berikutnya, anak atau istrinya yang berkuasa. Sementara pola ketiga adalah model berbeda jenjang pemerintahan. Jika ayahnya menjabat gubernur, misalnya, anaknya menjabat bupati.
”Apa pun polanya, semua berbahaya, potensi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi tinggi, terutama yang lintas kamar. Sebab, di saat bersamaan, satu keluarga memegang dua cabang kekuasaan yang penting, eksekutif dan legislatif,” katanya.
Hingga kini politik dinasti seakan sulit diputus karena, menurut Robert, tiga hal yang ia sebut sebagai tiga ”P”, yaitu parpol, pasal, dan pemilih.
Pertama, kaderisasi oleh parpol hingga pencalonan dalam pilkada yang tidak transparan dan mengabaikan aspek kapasitas calon. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2015 yang membatalkan Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal itu mewajibkan masa jeda satu periode atau selama lima tahun bagi mereka yang terikat hubungan kekerabatan dengan petahana agar bisa maju dalam pilkada. Ketiga, pemilih yang masih belum sadar akan sisi kelam dari politik dinasti.
Peran parpol
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sependapat. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya parpol memperbaiki mekanisme pencalonan dalam pilkada.
Mekanisme pencalonan penting dibuat agar lebih inklusif, demokratis, dan tetap mengedepankan kapasitas calon sebagai dasar pertimbangan. Sering kali selama ini pemilihan calon mempertimbangkan politik dinasti dengan keyakinan kans kemenangan akan lebih mudah diraih daripada menampilkan calon baru ke publik.
Opsi lain, MK kembali membuka ruang pengujian atas aturan pencalonan dalam pilkada, khususnya yang terkait dengan politik kekerabatan. Sebab, menurut dia, adanya masa jeda masih bisa jadi cara untuk memutus politik dinasti.
”Konteks hukum dan sosial masyarakat kita ternyata menunjukkan ketiadaan masa jeda pencalonan kerabat. Itu dimanfaatkan untuk mendorong anggota keluarga yang sesungguhnya tak punya kapasitas untuk memimpin daerah dan hanya sekadar menjadi alat bagi kepemimpinan pendahulunya untuk tetap berkuasa,” tutur Titi.
Solusi lain pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah, merevisi UU Pilkada dan UU Pemilu serta membuat aturan yang bisa mencegah politik dinasti terus tumbuh subur, apalagi mengarah pada politik dinasti yang korup.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, pihaknya membuka ruang solusi lewat revisi regulasi. Hal ini terutama setelah melihat daya rusak dinasti politik selama ini.
Kemendagri akan berupaya mencari cara agar aturan baru nantinya tak bertentangan dengan putusan MK. ”Bisa saja dibatasi dalam hal tata tertib dan syarat pemilihan ketua DPRD, misalnya ketua DPRD tidak boleh dijabat oleh kerabat kepala daerah. Lebih bagus lagi jika hal seperti itu bisa masuk dalam norma revisi UU Pilkada dan UU Pemilu,” katanya.
Politik dinasti sah
Menurut Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, sebenarnya politik kekerabatan sah-sah saja asalkan anggota keluarga dari petahana tersebut memiliki kapasitas dan telah lama berproses di dunia politik.
Namun, yang jadi persoalan selama ini, hal-hal itu kerap diabaikan, tak terkecuali oleh parpol yang berkuasa menentukan calon dalam pilkada.
Calon yang lahir betul-betul memiliki kapasitas, bukan orang yang dipilih sekadar karena memiliki garis kekerabatan dengan penguasa atau elite parpol.
Oleh karena itu, bisa saja saat revisi UU Pemilu atau UU Parpol, dibenahi mekanisme pencalonan oleh parpol, baik dalam pilkada maupun pemilu legislatif/presiden. Mekanisme dibuat lebih ketat, transparan, dan melibatkan publik.
Sebagai contoh, parpol diwajibkan menggelar seleksi terbuka, uji publik, bahkan pemilu pendahuluan sebelum akhirnya sampai pada penetapan calon.
Dengan demikian, calon yang lahir betul-betul memiliki kapasitas, bukan orang yang dipilih sekadar karena memiliki garis kekerabatan dengan penguasa atau elite parpol.