Berbagai pemangku kepentingan menunggu kepastian tahapan lanjutan Pilkada 2020 dari KPU seusai RDP pembahasan anggaran tambahan pilkada. Namun, Bawaslu mengingatkan tak boleh ada degradasi kualitas tahapan pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan semua anggaran tambahan Pilkada 2020 untuk menjamin penerapan protokol kesehatan Covid-19 pada tahapan pilkada menjadi elemen penting yang harus dituntaskan. Jika tahapan tetap dilanjutkan tanpa kepastian tambahan anggaran itu, keselamatan masyarakat akan terancam. Selain itu, kualitas pemilu juga menjadi taruhan.
Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/6/2020), mengatakan, dana menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan pemilu. Kepastian dana itu bukan hanya dari sisi jumlah, melainkan juga ketepatan waktu.
”Kalau pemenuhan tambahan anggaran tidak pasti dan tetap dijalankan proses pemilihan lanjutan ini, potensi gangguan pemilu menjadi besar. Kelancaran pemilihan akan terancam. Pemilu yang dipaksakan bisa berantakan. Karena itu, dibenahi dulu keperluan dana yang diminta oleh penyelenggara,” ujar Hadar.
Sebelumnya, rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama penyelenggara pemilu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Kamis (11/6/2020), merumuskan kesimpulan yang terdiri atas dua poin.
Disepakati usulan tambahan anggaran KPU Rp 4,7 triliun, Bawaslu Rp 478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Rp 39 miliar disetujui, dengan didukung APBN dengan memperhatikan kemampuan APBD 270 daerah yang menggelar pilkada pada 9 Desember 2020.
Meski demikian, realisasi pemenuhan anggaran baru disetujui untuk tahap pertama sebesar Rp 1,02 triliun untuk KPU dan Bawaslu pada Juni. Adapun realokasi anggaran tahap berikutnya akan diputuskan dari hasil rekonsiliasi kebutuhan riil anggaran antara Kemendagri, Kemenkeu, penyelenggara pemilu, dan Gugus Tugas Covid-19 paling lambat 17 Juni.
Belum ada kesepakatan soal siapa yang diserahi tanggung jawab pengadaan alat protokol kesehatan Covid-19.
Menurut Hadar, tak boleh ada kompromi dalam penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi seperti saat ini. Jika tak ada kepastian pemenuhan anggaran dan penanggung jawab protokol kesehatan Covid-19, lebih baik pilkada diundur. Ini mengingat tahapan lanjutan pilkada harus dilaksanakan 15 Juni, atau tinggal tiga hari lagi.
”Jangan terus ditawar-ditawar. Ini, kan, artinya ditawar, ditawar jumlah dan ditawar waktunya. Daripada kita nanti hanya menjalankan pilkada seadanya saja dan punya risiko korban terpapar Covid-19 sehingga tak terkontrol, kualitas pilkada juga menjadi rendah, jangan diteruskan. Dipersiapkan dengan baik dulu,” ucap Hadar.
Ini, kan, artinya ditawar, ditawar jumlah dan ditawar waktunya. Daripada kita nanti hanya menjalankan pilkada seadanya saja dan punya risiko korban terpapar Covid-19 sehingga tak terkontrol, kualitas pilkada juga menjadi rendah, jangan diteruskan. Dipersiapkan dengan baik dulu.
Hadar juga mengingatkan, persoalan tambahan anggaran ini juga tidak mudah dihadapi penyelenggara pemilu di daerah. Sebab, mereka harus memiliki dasar hukum yang kuat ketika ingin menggunakan anggaran untuk pembelian alat pelindung diri.
”Kalau penambahan tempat pemungutan suara, gampang. Kalau unit APD ini, yang belum ada di daftar selama ini. Semua harus ada dasar hukum. Jangan nanti mereka malah dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum,” kata Hadar.
Dengan segala risiko itu, menurut Hadar, seharusnya KPU tidak ragu untuk mengambil posisinya sebagai penyelenggara pemilu yang independen. ”Jadi, kualitas pemilihan tidak diobral. KPU tegas saja. Mereka, kan, sudah pasang syaratnya. Pegang itu. Kalau pemerintah tidak bisa menyanggupi, ya, sudah, diundur,” ujarnya.
Tidak dibebani
Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan, setelah rapat kemarin, semua keputusan kembali kepada KPU. Bawaslu pun saat ini, katanya, masih menunggu kepastian tahapan lanjutan pilkada.
”Kembali ke KPU sebagai pemegang otoritas tertinggi. Ini jadi kemandirian KPU,” ujar Abhan.
Kembali ke KPU sebagai pemegang otoritas tertinggi. Ini jadi kemandirian KPU.
Abhan juga menyadari bahwa persiapan tahapan lanjutan pilkada sangat berkejaran dengan waktu. Ini mengingat belum dilakukannya persiapan sosialisasi tahapan kepada penyelenggara pemilu di daerah, serta persiapan penyediaan APD bagi penyelenggara pemilu di daerah.
”Dari sisi waktu memang mepet sekali untuk bisa melakukan persiapan ini. Kami tetap berprinsip bahwa prasyaratnya itu adalah keselamatan dari penyelenggara juga. Itu juga jadi yang utama. Jadi, fasilitas APD itu penting bagi penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu,” kata Abhan.
Abhan berharap, penyediaan APD tidak dibebankan kepada penyelenggara pemilu. Sebab, saat ini penyelenggara pemilu sudah disibukkan dengan persiapan teknis tahapan lanjutan pilkada.
”Frekuensi waktunya sudah mepet kayak gini, ya, sudah beratlah, overloaded untuk persiapan pelaksanaan tahapan. Maka lebih ideal ketika kebutuhan APD di-back up lembaga lain, baik Kemendagri maupun Gugus Tugas. Yang penting bagi kami, ketika kami ingin lakukan tugas pengawasan, APD siap,” ujar Abhan.
Menurut Abhan, ada dua hal yang tak boleh ada degradasi kualitas dalam kondisi seperti ini, yaitu verifikasi faktual dukungan calon perseorangan serta pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih tetap. Protokol kesehatan Covid-19 harus dipenuhi di dua tahapan awal itu karena akan bersinggungan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat.
”Kualitas verifikasi faktual dan coklit harus valid dan hati-hati. Jangan sampai jadi masalah. Jangan sampai nanti ada persoalan hukum,” ujar Abhan.