Semesta Berbicara di Ubud
Ubud menjadi pengingat untuk hidup dengan kesadaran. Olah napas, olah emosi, olah rasa supaya pikiran dan hati tenang.
Banyak orang datang ke Ubud, Bali, untuk memperdalam spiritualitas. Ini adalah tempat di mana keyakinan untuk melakukan yang terbaik dalam hidup berpadu dengan sikap berserah diri pada kehendak Ilahi. Sikap itu pula yang terbawa saat liputan di Ubud.
”Sudah seharusnya kita melepaskan hal-hal di luar kuasa kita. Let it go,” ucap Ezgi Lu (30), penari dan yogi asal Turki, Jumat (3/5/2024), di sela-sela BaliSpirit Festival. Festival ini berlangsung pada 1-5 Mei 2024 dan berisi, antara lain, 150 lokakarya yoga, meditasi, tari, dan penyembuhan.
Tak mudah bagi Ezgi untuk bersikap seperti itu. Walau sudah menekuni yoga selama 10 tahun, kemampuan untuk berserah diri tidak lantas tumbuh begitu saja. Setidaknya sekitar enam tahun yang lalu, ia belum bisa menata pikirannya dengan baik. Kesadaran untuk berserah diri tumbuh perlahan saat ia mulai menetap di Bali. Kehangatan dan laku hidup penduduk lokal membuatnya paham makna yoga yang sesungguhnya.
Banyak orang menjadikan yoga sebagai sarana untuk terhubung dengan tubuh, pikiran, dan jiwa. Pada saat yang bersamaan, spiritualitas ikut tumbuh dan bersemi. Spiritualitas inilah yang menghubungkan para yogi dengan semesta atau kuasa Ilahi. Mereka menggunakan hati dan pikiran untuk berbincang dengan semesta.
Para yogi (dan sebagian orang di dunia) percaya pada kekuatan pikiran. Apa yang ada di pikiran, atau apa yang diinginkan hati, akan terwujud jika kita mengimaninya. Kuasa Ilahi dipercaya campur tangan untuk mewujudkannya. Setidaknya, prinsip yang sama pernah tertuang dalam buku The Secret.
Pertemuan dengan Ezgi Lu bisa dibilang adalah ”hadiah” dari semesta. Banyaknya orang di perhelatan BaliSpirit Festival 2024, ditambah teriknya sengatan sinar matahari, membuat energi terkuras habis. Misi untuk mencari narasumber yang bisa diajak berbincang jadi seperti mission impossible alias capek banget….
Ujaran para instruktur yoga dan meditasi di sejumlah sesi di BaliSpirit Festival tiba-tiba menyeruak ke alam sadar. Kata mereka, cara terbaik untuk menjernihkan pikiran adalah dengan mengolah napas. Sadari tiap tarikan dan embusan napas. Saya menambahkan ”doa minta dipertemukan dengan narasumber” seusai mengolah napas.
Semua itu dilakukan sambil duduk di area pujasera, tempat para peserta festival yang mayoritas bule kaukasia makan dan minum. Walau sama-sama makan, duduk, dan minum, bahasa tubuh setiap orang tampak berbeda. Ada yang kelihatannya ingin makan tanpa diajak bicara, ada pula yang kelihatan ingin mengobrol, tapi tak punya teman.
Tubuh rasanya ingin segera bangkit saja dari kursi dan mencari narasumber secara gerilya. Namun, intuisi dalam diri menyuruh saya untuk duduk lebih lama di kursi. Syaratnya, mata dan ibu jari tidak boleh fokus ke ponsel pintar.
Kata mereka, cara terbaik untuk menjernihkan pikiran adalah dengan mengolah napas. Sadari tiap tarikan dan embusan napas.
Tak berselang lama, ekor mata menangkap kibasan ekor panjang berwarna kuning milik Joey, anjing golden retriever ramah yang jadi ”artis” di festival ini. Si anjing rupanya sedang berharap Ezgi Lu yang sedang makan es krim mau berbagi dengannya.
Kehadiran Joey tak hanya menyadarkan saya tentang keberadaan Ezgi yang rupanya duduk tepat di sebelah kiri, tetapi juga mencairkan perkenalan kami. Obrolan mengalir lancar setelahnya, termasuk sesi wawancara colongan.
”Oh, tolong, tanyakan apa pun padaku. Tolong buat aku terkenal,” ujarnya sambil tertawa.
Kredo bahwa wartawan mesti getol di lapangan tampaknya tidak selalu berlaku. Duduk, diam, dan mundur selangkah juga bagian dari menata diri saat liputan. Duduk juga adalah pengakuan terhadap rasa lelah, serta kesadaran untuk mengizinkan tubuh beristirahat sejenak. Tentu saja pemaknaan ini tak langsung datang, tetapi disadari setelah perut kenyang dan tidur cukup.
Duduk dan diam pun bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Bisa jadi itu adalah jalan menggapai kedamaian. Setidaknya itu yang ditanamkan para instruktur yoga.
Keberuntungan
Pertemuan dengan yogi asal Romania, Iulia Goga (39), adalah ”keberuntungan” lain yang didasarkan pada kekuatan pikiran. Ia datang saat pikiran sedang riuh menyaring narasumber potensial di sebuah ruangan. Goga lantas dengan terbuka menceritakan pengalamannya mengikuti sesi yoga nidra yang baru saja ia ikuti.
Sesi yoga nidra ini dipandu Emily Kuser, instruktur yoga asal Amerika Serikat yang sudah cukup lama menetap di Bali. Yoga ini mengajarkan orang untuk beristirahat dengan sadar lewat latihan pernapasan dan meditasi sambil berbaring.
Sebagian orang menganggap istirahat itu mudah dilakukan. Tinggal berbaring saja dan tubuh sudah beristirahat. Namun, sebagian orang lupa bahwa saat berbaring pun pikiran kita kerap mengembara. Tubuh kerap lupa melepas kekakuan dan tensi yang tersimpan. Akibatnya, energi dalam tubuh tidak bisa mengalir dengan lancar. Padahal, aliran energi yang baik adalah kunci istirahat yang paripurna.
Goga mengikuti sesi yoga ini dengan khidmat. Instruksi yang disampaikan Kuser dengan suara merdu nan syahdu diikutinya satu per satu. Tubuhnya terbawa ke titik relaksasi yang mendalam.
Saat itu pula, Goga mendapati kesadaran dan kepekaannya meningkat. Sembari menutup mata dan bernapas, ia menyadari bunyi daun yang bergesekan karena angin di luar jendela besar. Ia juga menyadari sayup-sayup suara musik di luar, serta bunyi tali gorden yang beradu dengan kusen jendela saat tertiup angin.
”Mataku terpejam dan aku merasa sangat rileks. Indraku sangat sadar dengan apa yang terjadi di sekitarku, termasuk bunyi napas orang di sebelahku,” tuturnya.
Baca juga: BaliSpirit Festival 2024 Datangkan Ribuan Wisatawan
Kesadaran
Topik tentang kesadaran atau awareness banyak dibicarakan di zaman modern. Kesibukan, tuntutan hidup, hingga candu pada teknologi kerap dijadikan kambing hitam yang memutus hubungan antara pikiran, tubuh, dan jiwa. Ini membuat manusia bergerak dan bertindak bagai robot. Tidak ada kesadaran. Tidak bermakna.
Menurut seorang instruktur penyembuhan batin lewat bebunyian, Aga Salim, ketidaksadaran membuat seseorang reaktif. Artinya, ia tidak menganalisis pikiran dan tindakannya secara matang. Ia hanya mengikuti arus dunia. Ini membuat seseorang lupa untuk berlaku sesuai kemampuan diri, serta bertindak untuk kebaikan diri.
”Awareness itu penting karena di situlah kita sebenarnya hidup. Kalau enggak aware dengan apa yang dilakukan, kita kayak autopilot. Kita melakukan sesuatu karena kita reaktif saja,” ucap lelaki yang praktik penyembuhannya berbasis di Jakarta itu.
Awareness itu penting karena di situlah kita sebenarnya hidup. Kalau enggak awaredengan apa yang dilakukan, kita kayak autopilot.
Kesadaran itu sebetulnya bisa muncul melalui latihan. Pada ilmu psikologi, orang yang cemas atau panik akan dituntun untuk menyadari keberadaannya lewat pancaindra. Apa benda yang ada di dekat Anda? Coba ambil dan amati. Apa warnanya? Bagaimana bentuknya? Bagaimana pula teksturnya? Bagaimana aromanya?
Itu adalah grounding atau teknik manajemen stres. Sembari dijawab satu per satu, seseorang seakan diajak untuk ”kembali” ke dirinya sendiri dan berhenti mengembara lewat pikiran negatif yang belum tentu nyata.
Baca juga: Spiritualisme Ubud
Topik tentang kesadaran pula yang membuat saya ”menarik diri” dari padatnya jadwal festival yang saat malam berubah menjadi seperti Coachella mini. Di sela-sela liputan, saya baru menyadari Ubud yang berlangit biru cerah dengan hiasan tanaman warna-warni. Angin yang berembus setelah hujan terasa segar dengan sisipan aroma dupa. Semua ini menghadirkan rasa tenang.
Jalanan Ubud kini memang kerap macet dan turis tumpah ruah. Tapi, orang-orang masih menganggap Ubud sebagai suaka untuk mencari kedamaian jiwa lewat kesadaran. Tanpa sadar, saya pun jadi ikut tersadar….