Pasien Memang Perlu Dibela
Untuk mengantisipasi keculasan medis, masyarakat pasien perlu dibuat cerdas dan luas wawasan kesehatannya.
Berita fraud tiga rumah sakit yang masuk dalam penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini, yang merugikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sebesar Rp 35 miliar, merupakan satu dari banyak kasus keculasan yang sebetulnya sudah banyak terjadi. Ini keculasan yang merugikan BPJS Kesehatan. Namun, yang acapkali ditemukan di lapangan, lebih sering terjadi fraud, kecurangan, keculasan, kenakalan layanan kesehatan dan medis yang merugikan pasien.
Keculasan medis bahkan sudah terjadi sejak layanan kesehatan kita belum dimasuki industri medis (industrial medical complex) seperti yang mungkin dilumrahkan sekarang ini. Mengapa? Karena posisi dokter dan rumah sakit (RS) punya otoritas yang lebih dari pasien. Terkait medis, pasien adalah pihak yang tidak berdaya.
Tingginya otoritas profesi dokter
Kasus keculasan medis terjadi karena profesi dokter punya otoritas tinggi dalam transaksi terapi, selain ada kesenjangan kompetensi (competency gap) dokter-pasien. Apa pun kata dokter, pasien ikut saja. Setelah RS dicemari industri, peran sosial RS diganggu oleh desakan melaba.
Sebagai industri, RS perlu berhitung bisnis untuk kepentingan investasi alat medis yang tidak kecil supaya titik-impas pembelian alat medis lekas balik. Di mata bisnis, ini bisa dipahami.
Baca juga: Perkuat Upaya Pencegahan Kecurangan, BPJS Kesehatan Bersinergi dengan KPK
Namun, bisnis kesehatan berbeda dengan komoditi lain. Ada etika, ada pertimbangan humanistik di sana. Itu mengapa profesi dokter perlu dipagari oleh sumpah dokter, etika medis, Undang-Undang Kesehatan, UU Perlindungan konsumen. Tujuannya supaya dalam praktik medisnya tetap menjunjung tinggi profesi dan tidak culas.
Di luar pagar hukum, regulasi, dan norma, ada keteguhan akhlak pemberi layanan kesehatan sebagai penjaga kemuliaan profesi demi tetap berpihak pada nurani. Namun, peliknya, kalau sampai ada kasus culas pun, cuma dokter yang tahu. Terkait itu, bukan jarang direktur medis RS berseteru dengan direktur keuangan, benturan bisnis RS dengan nurani sosial filantropis.
Berorientasi nonmedis
Keluhan pasien RS diperiksa macam-macam yang sebetulnya tidak perlu terkait diagnosis penyakitnya, umum terjadi. Peliknya karena pasien pihak yang tidak berdaya untuk menolak apa pun permintaan dokter atau RS karena fakta competency gap itu. Selain juga kemungkinan supply induced demand, tumbuhnya desakan memanfaatkan alat medis saking banyak ketersediaannya. Yang tahu itu keculasan medis, hanya sejawat medis.
Pemakaian alat medis berlebihan (overutilization service) karena RS perlu berhitung. Katakanlah, berapa pasien perlu ditangkap per hari memanfaatkan alat medis supaya investasi lekas balik modal. Yang sama, prosedur medis yang tidak perlu karena tidak selalu ada alasan medis dan itu membuat ongkos berobat menjadi bengkak.
Pemeriksaan USG kehamilan, misalnya. Menurut aturan medis, USG ibu hamil hanya dilakukan apabila ada indikasi, misal ada kelainan mudigah atau janin, bukan pemeriksaan rutin setiap kali kunjungan ibu hamil. Demikian halnya terjadi pada pemeriksaan CT-scan, MRI, PET-scan yang tidak murah, menjadi berlebihan apabila dilakukan tanpa indikasi medis, memanfaatkan ketidaktahuan pasien.
Keluhan pasien RS diperiksa macam-macam yang sebetulnya tidak perlu terkait diagnosis penyakitnya, umum terjadi.
Termasuk kasus pasien RS yang menerima saja dilakukan semua pemeriksaan laboratorium dan prosedur medis yang tidak perlu terkait diagnosis (insufficient service) sehingga ongkos berobat lebih tinggi. Dokter yang minta ibu hamil persalinan melalui bedah caesar (sectio caesarea) di luar indikasi medis, selain merugikan asuransi dan BPJS Kesehatan, juga merugikan pasien. Kendati tidak bayar sendiri, akibat bedah sectio yang tidak perlu, rahim jadi sudah pernah dibelek dan baru boleh hamil tiga tahun lagi. Operasi usus buntu yang tak perlu termasuk kasus seperti itu.
Bagi pasien, prosedur pemeriksaan medis berlebihan karena tidak diperlukan berisiko memunculkan bahaya (harmful service). Tanpa ada indikasi, misal, dilakukan kateterisasi jantung, endoskopi lambung, kolonoskopi usus, atau prosedur medis lainnya, ada risiko bahayanya.
Oleh karena sekecil dan sesederhana apa pun tindakan medis, karena bersifat invasive-interventive, memasukkan sesuatu (alat) ke dalam tubuh, bisa berisiko. Kasus orang sehat pulang RS malah jadi sakit atau kehilangan nyawa merupakan kasus yang harus sangat disesalkan.
Pasien dirugikan secara ekonomi selain memikul risiko medis berbahaya, juga efek samping obat yang sebetulnya tidak perlu ada, bisa terjadi apabila pemberian obat berlebihan (polypharmacy). Selain biaya obat menjadi tinggi, efek samping obat dipikul pasien. Ginjal dan hati paling sering memikulnya.
Baca juga: UU Kesehatan dan Keselamatan Pasien
Dokter profesional menulis resep secara rasional. Resep dinilai rasional apabila resep yang diberikan sesedikit mungkin obat, dengan dosis serendah mungkin, harga paling murah, dan penyakitnya sembuh. Makin ringkas resep dokter dan menyembuhkan, makin profesional dokter dalam berpraktik. Pasien perlu tahu itu.
Ambil contoh, resep untuk sakit mag itu cukup obat mag saja. Bahwa kasus mag dapat disertai keluhan nyeri kepala, pusing, mual sampai muntah, lemas, rasa limbung, dan mungkin diare juga, resep mag yang rasional tidak perlu memberi semua obat untuk keluhan dan gejala mag tersebut karena semua itu hanya asap dari api penyakit magnya.
Yang diperlukan hanya obat mag untuk memadamkan api penyakitnya. Begitu api penyakitnya padam, asapnya, yakni nyeri kepalanya, pusingnya, limbungnya, mualnya, diarenya, akan hilang sendirinya. Resep mag berderet panjang yang terbilang polypharmacy.
Ada pula layanan kesehatan yang merugikan pasien karena alasan defensive medicine. Pasien demam, misal, dianggap kasus tifus (typhoid abdominalis) lalu diberi antibiotik tifus tanpa memastikan penyakitnya betul tifus. Pertimbangannya, mengingat tifus masih endemis, senantiasa ada setiap musim. Karena dokter takut kecolongan mendiagnosis tifus dan dianggap bodoh oleh pasien (kalau kemudian ternyata betul kasus tifus), semua kasus demam diberi antibiotik tifus. Ini overdiagnosis, tanpa pasien sadari.
Bisa pula terjadi, maafkan sejawat kami, sudah rahasia umum, keterikatan dengan pihak farmasi (financial incentive). Misal, ada obat lebih murah, obat harga lebih tinggi yang diberikan, tergolong kasus inappropriate service, seperti halnya RS menahan pasien lebih lama rawat inap tanpa indikasi medis, atau pasien cukup rawat jalan diminta rawat inap.
Kesenjangan kompetensi dokter-pasien didekatkan. Pasien disadarkan akan haknya.
Solusinya edukasi
Semua kasus yang merugikan pasien di atas tergolong unnecessary healthcare service (UHS). Kendati dipagari hukum dan regulasi, kenakalan profesi tetap bisa terjadi. Misal, apabila etika-akhlak dokter lumpuh, dan hukum kehilangan gigi. Untuk itu, Amerika Serikat sejak 2010 menggagas gerakan ”Choosing Wisely”, di Belanda ”Slow Medicine”, dan di Inggris ”Do Not Do” agar layanan kesehatan dunia berorientasi tidak culas.
Masyarakat pasien dibuat cerdas, luas wawasan kesehatannya. Literasi kesehatan perlu digalakkan. Hanya apabila memiliki muatan pengetahuan medis, pasien punya bahan untuk berdiskusi dengan dokter dan RS ihwal penyakitnya.
Kesenjangan kompetensi dokter-pasien didekatkan. Pasien disadarkan akan haknya. Hak pasien untuk bertanya apa pun terkait penyakitnya, soal obat yang dokter resepkan, apa alasan atau indikasi apabila diminta melakukan tindakan medis, prosedur medis, atau pemeriksaan dengan alat medis.
Semua yang dikerjakan dokter terhadap pasien dapat ditilik dari rekam-medik. Apakah pemeriksaan dan terapi yang diberikan sesuai legal artis medis, mematuhi terapi-standar. Dari rekam-medik, pihak berwenang dapat memonitor layanan kesehatan terhadap setiap pasien. Cara ini diberlakukan untuk seluruh RS secara online, sebagai tindakan audit.
Di negara mana pun, ada kerja tim dokter. RS kita saatnya menangani setiap kasus dengan kerja tim. Tujuannya bisa untuk tilik-sejawat (peer review) antardokter RS, menekan praktik medis yang melenceng, selain baku dukung dalam mendiagnosis dan memberi terapi.
Ruang triage RS perlu direvitalisasi. Bagian ini secara netral berwenang memilah-milah pasien, apakah tergolong kasus gawat darurat, kasus kritis, kasus rawat inap, atau cukup rawat jalan, sambil tetap mematuhi sistem rujukan (referral system) sebagaimana diminta BPJS Kesehatan. Kegaduhan RS kita seperti pasar malam karena tanpa sistem rujukan, semua pasien kasus apa saja menumpuk di RS yang seharusnya berjenjang mulai dari puskesmas.
Edukasi masyarakat juga meliputi pengetahuan obat-obatan. Bahwa tidak semua keluhan dan gejala memerlukan obat. Lebih sering sebab keliru memilih gaya hidup. Gaya hidupnya dulu dikoreksi. Bahwa obat generik identik dengan obat paten, penyakit flu dan virus tak perlu antibiotik, tidak sembarang memakai obat swamedikasi sendiri, selalu mempertimbangkan mudarat-maslahat obat (risk-benefit), sekecil apa pun tindakan medis perlu diwaspadai, ada risiko kegagalan, selain belum tentu aman.
Komunikasi dokter-pasien perlu dijalin. Kasus Prita dahulu terjadi hanya karena komunikasi dokter-pasien tak terjalin. Di sisi lain, penghargaan terhadap tenaga medis dan paramedis perlu direstrukturisasi. Keteledoran, kelalaian dalam layanan kesehatan sering lantaran bobot kerja dokter dan perawat melebihi kemampuan fisik.
Baca juga: Mendorong Kedokteran Presisi
Dokter perlu fokus bekerja hanya di satu RS dengan penghargaan memadai sebagai profesional dokter. Di negara-negara dengan sistem kesehatan yang baik, jumlah pasien per hari dibatasi, tidak praktik sampai subuh. Akibat kelengahan dan keletihan memeriksa pasien berlebihan, berisiko merugikan pasien, selain kurang cermat memeriksa, juga bisa misconduct, tak menjawab apabila ditanya, atau judes. Ini alasan lain kenapa pasien kita berobat ke negeri orang.
Pasien kita banyak yang sudah sakit sebelum menerima polis BPJS Kesehatan. Selain tekor, kerja BPJS Kesehatan kewalahan, maka layanannya cenderung substandar. Pasien kita banyak yang telanjur komplikasi saking tidak berobat sejak dini, tak sedikit yang penyakit kritis (critical illness) yang makan biaya tinggi. Itu terjadi akibat upaya pencegahan tidak lebih besar dari upaya pengobatan.
Meratanya literasi kesehatan, edukasi kesehatan dalam masyarakat, akan menekan angka kejadian sakit nasional. Eloknya anggaran kesehatan disisihkan lebih banyak untuk edukasi kesehatan masyarakat.
Media massa dilibatkan melakukan upaya preventif-promotif, konsep dasar pembangunan kesehatan nasional kita, agar masyarakat pintar membatalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya. Radio, televisi, dan media cetak diwajibkan menyiarkan praktik edukasi kesehatan, penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi), membuat masyarakat cerdas sebagai orang sehat, bijak pula menjadi pasien.
Maafkan teman sejawat dokter kami, dan RS yang khilaf, sekiranya betul sudah merugikan masyarakat pasien. Percayalah, masih lebih banyak sejawat dokter dan RS yang baik, yang memuliakan profesinya.
Handrawan Nadesul, Dokter, Motivator Kesehatan, Penulis Buku