Kekerasan Seksual Berkelompok, Masalah Global yang Meresahkan
Tidak ada negara yang steril dari ”gang rape”. Laki-laki menjadi pelaku dominan, termasuk bocah-bocah di perkotaan.
Kekerasan seksual yang dilakukan berkelompok masih mungkin terjadi, tidak hanya yang mengguncang Palembang, Sumatera Selatan. Gang rape yang beberapa waktu terakhir banyak disorot di India pun tidak selalu identik dengan negara itu.
Pemerkosaan oleh satu pelaku ataupun secara bersama-sama sering terjadi di berbagai tempat di semua negara. Para pelakunya didominasi laki-laki, termasuk yang masih anak-anak atau remaja. Sebagian besar korbannya adalah perempuan dewasa, anak gadis, bahkan juga bayi perempuan.
Perilaku sadis dan kejam itu terjadi di mana saja. Bahkan, mungkin dekat dengan lingkungan tempat kita berkegiatan sehari-hari. Pelaku bisa beraksi di tengah perkebunan sepi di perdesaan atau di sudut-sudut yang tersamarkan keramaian kota. Para pelakunya pun beragam: ada yang tak berpendidikan dan miskin, ada pula sosok tenar berkantong tebal.
Juni tahun ini, kota Bordeux di Perancis, menggelar sidang yang menempatkan tiga atlet rugbi terkenal sebagai tersangka pemerkosaan berkelompok terhadap seorang gadis pelajar. Di Korea Selatan, beberapa waktu lalu dihebohkan dengan keterlibatan aktor idola dalam kasus pemerkosaan di sebuah klub yang disinyalir telah berkali-kali terjadi.
Dalam berbagai kasus kekerasan seksual di Indonesia dan di luar negeri, modusnya pun beragam. Ada korban yang dicekoki minuman keras dan obat-obatan, kemudian menjadi sasaran kejahatan seksual beramai-ramai. Ada korban yang dibujuk melalui media sosial, dijebak oleh orang-orang terdekat, atau direnggut paksa di rumahnya sendiri dan di tempat umum.
Baca juga: Tepis Galaumu Bernadya, Mereka Janjikan Kota Ramah dan Mobil Curhat
World Population Review (WPR) dalam Statistik Pemerkosaan Berdasarkan Negara tahun 2024 menyebut definisi pemerkosaan berbeda-beda di tiap negara. Secara umum, 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami pelecehan seksual. Hanya kurang dari 40 persen dari semua korban itu yang berani terbuka mencari pertolongan dan di bawah 10 persen yang kasusnya ditangani secara hukum.
Akibatnya, sebagian besar pemerkosa lolos dari hukuman. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya 9 persen pelaku diadili dengan 3 persen saja yang mendekam di penjara. Sebanyak 97 persen pemerkosa bebas berkeliaran.
Pemerkosaan menjadi masalah global yang meresahkan karena minimnya pencegahan dan penegakan hukum. Korban dari hubungan seksual dengan pemaksaan dan ancaman itu sering kali tidak berani melapor kepada pihak berwajib karena malu, khawatir pengakuannya tidak dipercaya, dan hukum tidak berpihak kepada mereka.
Sepuluh negara dengan kasus kekerasan seksual tertinggi sesuai data WPR pada 2021, yaitu Grenada, Swedia, Eswatini (negara kecil di Afrika bagian selatan), Panama, Eslandia, Inggris, Perancis, Namibia, Saint Kitts-Nevis, serta Norwegia.
Di Swedia, selama 2013-2017, rata-rata ada 64 laporan pemerkosaan per 100.000 penduduk. Pada 2021, negara Skandinavia yang disebut termasuk paling kaya dan aman di dunia itu mencatat ada 9.314 kasus pemerkosaan per 100.000 warganya.
Hasil eksaminasi angka tinggi itu disebabkan oleh definisi pemerkosaan yang lebih luas di Swedia dan aturan pelaporan yang lebih inklusif serta tegasnya penegakan hukum untuk melindungi perempuan dan kelompok rentan.
Di negara lain, suatu kasus bisa digolongkan pelecehan seksual tetapi di Swedia masuk kategori pemerkosaan. Ketika dihitung ulang menggunakan pedoman Jerman yang lebih sempit, misalnya rata-rata laporan pemerkosaan per 100.000 orang di Swedia turun menjadi 15 kasus.
Apa pun itu, tetap saja fakta menunjukkan status maju negara-negara di Eropa bukan berarti masyarakatnya terbebas dari perilaku keji kejahatan seksual tak bermoral.
Dari data WPR 2021, di Indonesia tercatat terjadi 1,164 kasus pemerkosaan per 100.000 penduduk. Indonesia dan banyak negara lain, secara umum, mendefinisikan pemerkosaan jika ada penetrasi terhadap alat vital atau bagian tubuh lain secara seksual dengan paksaan dan atau ancaman. Jika tidak ada penetrasi, dikategorikan pencabulan atau pelecehan seksual. Namun, semua tercakup sebagai kekerasan seksual.
Bermacam bentuk kekerasan seksual, sesuai riset dari University of Melbourne di Australia seperti dilaporkan The Conversation, semuanya berdampak sangat buruk bagi korbannya. Pelecehan seksual, diskriminasi seksis, dan semacamnya dapat merusak seseorang sampai berdampak buruk pada kesehatan jiwanya.
Orang tidak tiba-tiba saja menjadi pemerkosa, apalagi melakukannya secara bersama-sama dengan banyak orang. Ada motivasi pendorong yang melibatkan peran pihak lain.
Di Amerika Serikat, 94 persen perempuan korban pemerkosaan mengalami gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD). Sebanyak 33 persen korban itu berpikir bunuh diri dan sebagian berakhir benar-benar melakukannya.
Fakta lain mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen korban pemerkosaan adalah perempuan dan anak perempuan. Namun, di seluruh dunia, kini cukup banyak laki-laki dan anak laki-laki menjadi sasaran pelecehan hingga pemerkosaan. Kaum transjender dan difabel dua kali lebih berpotensi menjadi korban kekerasan seksual.
Laki-laki, sebagaimana disebut sebelumnya, paling banyak menjadi pelaku dengan 70 persen di antaranya orang dekat korban.
Pendorong ”gang rape”
Dalam laporan ilmiah berjudul ”Understanding The Complex Dynamics of Gang Rape: Causes, Impact and Societal Responses” dari Universitas Panjab di India, dijelaskan bahwa pemerkosaan berkelompok berbeda dengan kekerasan seksual individu karena sifatnya pun beragam.
Para pelaku sering kali didorong oleh keinginan untuk mendominasi dan mengontrol. Dalam setiap kelompok pelaku, biasanya ada satu orang yang lebih dominan dan mengarahkan aksi gerombolannya. Hal serupa ditemukan pada kasus perundungan di berbagai level usia dan lingkungan.
Pemerkosaan oleh lebih dari satu orang ini bisa terjadi karena para pelaku melihat ada kesempatan. Dapat pula karena mereka memang predator yang sengaja mencari korban. Selain itu, ada yang melakukannya usai berkonfrontasi dengan korban, bentuk balas dendam, murni konteks kriminal, atau sengaja dilakukan di saat perang sebagai strategi penaklukan psikologis dan fisik.
Baca juga: Hidup ”Ojol”, yang Dulu Sampingan Kini Sandaran
Khususnya untuk pelaku anak-anak, para peneliti melihat kekerasan seksual oleh usia belia itu terkait erat dengan kecenderungan kekerasan yang menjangkiti mereka.
”Untuk memerangi kejahatan keji ini secara efektif, penting memahami penyebab dan motivasi yang mendorong individu melakukan tindakan kekerasan seksual secara berkelompok,” tulis Satyam Chauhan dan Sonal Garg, peneliti Universitas Panjab, dalam laporannya.
Keduanya menyebut seseorang tidak tiba-tiba menjadi pemerkosa, apalagi melakukannya secara bersama-sama dengan banyak orang. Ada motivasi pendorong yang melibatkan peran pihak lain.
Motivasi tersebut di antaranya keinginan untuk menguasai dan mendominasi, penyeragaman perilaku disertai tekanan dalam satu lingkar pertemanan, juga norma sosial. Norma sosial yang dimaksud adalah yang mengglorifikasi maskulinitas dan menempatkan perempuan pada derajat lebih rendah dari laki-laki.
Individu yang mengalami kekerasan, pelecehan, atau berada dalam situasi seks tidak sehat semasa kecil besar kemungkinan tumbuh menjadi sosok yang tidak peka. Kekerasan menjadi cara hidupnya. Keyakinan yang menyimpang dan perilaku agresif diyakini sebagai salah satu penyebab utama seseorang menjadi bagian dari pemerkosaan berkelompok, bahkan sebagai otak kejahatan seksual yang brutal itu.
Baca juga: ”Gak Bisa Yura”, Bersepeda Listrik di Jalan Raya Itu Berbahaya
Pendidikan rendah diikuti pemahaman kurang tentang kemanusiaan, kemiskinan, pengaruh alkohol dan narkoba, hingga terjerat dalam kelompok kriminal, turut memperbesar potensi seseorang menjadi pemerkosa berkelompok.
Mematikan motivasi
Untuk itu, menurut Chauhan dan Garg, penanggulangan masalah global pemerkosaan dan pemerkosaan berkelompok bisa dilakukan jika bisa mematikan api motivasi pendorong hingga benar-benar padam.
Masyarakat, para akademisi, dan penegak hukum perlu banyak berkolaborasi untuk menyamakan persepsi.
Produk hukum bias jender segera direvisi dan diperbarui. Para penegak hukum tidak bisa lagi diisi mereka yang memandang rendah perempuan. Ini sangatlah penting. Publik juga terus menerus diedukasi sehingga bisa meninggalkan budaya yang menutup mata pada kekerasan terhadap perempuan.
Akademisi dengan ilmunya pun harus mencari strategi-strategi rekayasa sosial yang secara nyata dapat diterapkan untuk menekan munculnya motivasi pendorong kejahatan sosial. Kolaborasi berkelanjutan para pihak sangat menentukan semua perubahan yang diharapkan.
Pemerintah dengan kebijakan dan aparaturnya menjadi pihak yang memegang posisi sentral mengorkestrasi kolaborasi itu terwujud. Saat ada kejadian luar biasa, harus ada intervensi nyata sesegera mungkin.
Baca juga: Anne Hidalgo yang Dihujat karena Menghijaukan Paris dan Olimpiade
Korban pemerkosaan pun butuh penanganan berbeda, dimulai dari kepastian ia dapat melaporkan kasusnya dengan aman serta jaminan keberpihakan hukum kepadanya. Selain itu, butuh penguatan fasilitas penanganan trauma, perlindungan atas keselamatan dan pemenuhan hak-haknya, serta ketersediaan grup pendukung korban.
Pelaku, anak-anak maupun dewasa, diganjar sanksi berat tanpa menafikan hak mereka di mata hukum. Pelaku anak-anak, misalnya, tetap ditangani dengan menempatkan pula mereka sebagai korban dari berbagai faktor yang pada akhirnya memotivasinya bertindak keji. Orang dewasa yang terkait dengan para pelaku anak dan terbukti tidak bertanggung jawab, patut turut serta diseret ke meja hijau.
Memberantas penyakit global ini memang membutuhkan upaya kolektif melampaui batas administrasi dan budaya. Dengan menangani akar permasalahan, memberikan dukungan penuh kepada para penyintas, dan mendorong perubahan paradigma masyarakat, momok dan teror pemerkosaan berkelompok dapat digantikan dengan budaya empati, rasa hormat, dan kesetaraan sejati.
Ingatlah, kemajuan suatu bangsa diukur pula dari perlakuannya terhadap perempuan dan kelompok rentan. Ayo, wujudkan!
Baca juga: Catatan Urban