Sistem Noken, Tantangan dan Ujian bagi Penyelenggara Pemilu
Sistem pemungutan suara noken/ikat di Papua bisa berbeda-beda antarwilayah adat. Ini tantangan penyelenggara pemilu.
Penggunaan pemungutan suara sistem noken/ikat dalam pemilu di Papua menjadi perhatian masyarakat. Banyak kalangan yang memprotes dan tidak menerima penggunaan sistem noken/ikat dalam pemilu di Indonesia.
Penggunaan sistem noken dinilai inkonstitusional terhadap peraturan pemilu yang berasaskan luber (langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil (jujur dan adil). Selain itu, juga dinilai tidak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, di sisi lain, penggunaan sistem noken/ikat dinilai konstitusional bersyarat. Ini karena sistem ini tidak berlaku umum, bersifat kontemporer dan konkret berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, yaitu menggunakan asas kejujuran dan keadilan.
Ada pula yang beranggapan ini merupakan manifestasi dan praktik demokrasi asimetris. Maksudnya, adanya kekhususan daerah dan demokrasi yang kebijakannya tidak harus sama untuk semua daerah di Indonesia.
Baca juga: Ada ”Noken” di Pemilu 2024
Penggunaan sistem suara noken/ikat dalam pemilu sejak 2009 mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47-81/PHPU A-VII/2009. MK memahami dan menghargai nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat Papua yang memiliki kekhasan dalam menyelenggarakan pemilu dengan cara atau metode kesepakatan warga atau aklamasi.
Namun, sesuai putusan MK Nomor 06-32/PHPU DPD/2014, sistem noken/ikat hanya diselenggarakan di daerah yang selama ini menggunakan sistem noken/ikat secara terus-menerus. Sistem ini tidak diakui di daerah yang tidak lagi menggunakan sistem noken/ikat. Putusan MK ini merupakan legitimasi yang kuat dan bentuk penghargaan atas keunikan budaya terkait penggunaan sistem noken/ikat dalam pemilu.
Dalam Pemilu 2024, KPU menetapkan penggunaan sistem noken/ikat di 14 kabupaten/kota yang berada di wilayah adat Lapago di Provinsi Papua Pegunungan dan wilayah adat Meepago di Papua Tengah. Aturan ini berlaku juga untuk Pilkada 2024.
Sistem noken/ikat hanya diselenggarakan di daerah yang selama ini menggunakan sistem noken/ikat secara terus-menerus.
Metode yang digunakan pada pemungutan suara sistem noken/ikat di wilayah adat Lapago di Papua Pegunungan dan di wilayah adat Meepago di Papua Tengah berbeda.
Di Pegunungan Papua menggunakan noken yang digantungkan pada salah satu potongan kayu dan digunakan sebagai pengganti kotak suara. Selain itu ada juga masing-masing orang atau saksi berdiri berjajar di suatu tempat atau TPS, kemudian noken digantungkan di dada atau leher mereka.
Di Papua Tengah, menggunakan sistem kesepakatan. Masyarakat adat Meepago melalui seorang Tonowi (kepala suku Mee) atau Sonowi (kepala suku Moni/tokoh masyarakat yang dituakan) diberi amanah untuk memimpin pemungutan suara dengan menggunakan kesepakatan. Hasil kesepakatan suara yang langsung dicatat pada kertas itu kemudian diberikan kepada penyelenggara pemilihan ad hoc, yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Konsensus adat versus konsensus politik
Di wilayah yang menggunakan sistem pemungutan suara noken, peran seorang kepala suku sangat vital dalam kehidupan masyarakat adatnya. Kepala suku konsensus adat merupakan pemimpin masyarakat adat yang diperoleh melalui proses konsensus adat.
Proses pemilihan kepala suku melalui musyawarah mufakat sesuai dengan pola adat yang berlaku, dihadiri oleh tetua adat, kepala marga, dan warga masyarakat adat yang berwenang untuk hadir. Dengan demikian, kepala suku konsensus adat ini memiliki legalitas hukum adat dan diakui atau dipercaya peran serta kekuasaannya serta status kepala sukunya diperoleh secara turun-temurun dari para leluhurnya hingga kini.
Namun, ada juga kepala suku yang tiba-tiba muncul di muka umum pada momen pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden atau kegiatan lainnya untuk memperjuangkan atau mencapai kepentingan kelompok tertentu. Kepala suku muncul sebagai akibat adanya konsensus politik.
Baca juga: Sistem Noken di Papua, Kekayaan Lokal yang Rentan Terkoyak
Apabila ditelusuri lebih jauh, mudah dideteksi bahwa kepala suku jenis ini berasal dari dua latar belakang. Pertama, marga/masyarakat keturunan bangsawan. Jenis kepala suku ini tidak memiliki legalitas, tetapi dilegalkan oleh orang-orang tertentu/tim tertentu atau bahkan seolah-olah mengaku sebagai kepala suku karena merasa dirinya keturunan bangsawan dengan orientasi untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.
Kedua, pejabat publik di pemerintahan atau partai politik yang menyatakan diri sebagai kepala suku. Jabatan bupati, kepala dinas, camat, atau kepala desa dalam sistem pemerintahan disebut sebagai kepala suku karena jabatan tersebut juga dimanfaatkan saat pemilu.
Dalam praktiknya, penggunaan sistem pemungutan suara noken/ikat menimbulkan banyak dampak karena adanya sejumlah kelemahan. Kelemahannya antara lain politisasi data kependudukan dan daftar pemilih tetap (DPT) fiktif, logistik pemilu tidak digunakan dalam pemilu sistem noken, tata cara pemungutan suara tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku, perolehan suara partai atau calon legislatif tertentu nihil, administrasi tidak teratur, kecenderungan konflik antarpihak yang berkepentingan cukup tinggi dan penyelenggara pemilu memilih surat suara yang disepakati masyarakat.
Namun, ada juga kepala suku yang tiba-tiba muncul di muka umum pada momen pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden.
Kelemahan penggunaan sistem noken perlu menjadi catatan penting bagi penyelenggara pemilu. Jika tidak, praktik tersebut akan menjadi masalah yang berdampak pada konflik hingga penyelesaian sengketa pemilu melalui Mahkamah Konstitusi.
Tujuan dan pertimbangan MK terkait penggunaan sistem noken/ikat di Papua Pegunungan dan Papua Tengah berdampak positif serta menghargai dan menghormati adat istiadat masyarakat adat, seperti upaya melestarikan budaya musyawarah, berpihak dan melindungi masyarakat asli Papua, upaya penyelamatan partisipasi pemilu, membantu pemilih yang buta huruf, dan membantu pemilih dari kesulitan akses geografis. Meski demikian, upaya preventif dari penyelenggara dan pemerhati demokrasi perlu dilakukan agar penggunaan sistem noken/ikat dapat memberikan kontribusi sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Masukan
Penggunaan sistem pemungutan suara noken/ikat yang selama ini dipraktikkan khususnya pada Pemilu 2024 memberikan beberapa catatan penting. Pertama, selama sistem pemungutan suara noken/ikat menggunakan formulir keberatan/C keberatan, baik sekarang dan/atau di kemudian hari, ditetapkan secara khusus. Dengan demikian, ada legalitas dan ketentuan yang menjadi dasar penggunaan sistem noken/ikat.
Selain itu, terkait formulir kesepakatan, isinya antara lain nama KPPS, nama kepala suku yang memimpin dan/atau diwakili, jumlah peserta yang hadir, dan hasil kesepakatannya berapa. Kalau misalnya DPT ada 500, masing-masing dapat berapa. Kemudian berdasarkan hasil kesepakatan ini dicatat dalam hasil C plano.
Baca juga: Payung Hukum Tidak Memadai
Kedua, pejabat pemerintah, kepala daerah, camat, kepala desa ada yang memangku dua jabatan, yaitu jabatan kepala desa/kepala dinas/kepala desa dan juga sebagai kepala suku. Ini mengganggu dan mengacaukan penggunaan sistem noken/ikat dan berpotensi dari segi substansi sehingga kesepakatan mengenai penggunaan sistem noken/ikat itu sendiri mudah untuk diintervensi.
Ketiga, penggunaan pemungutan suara sistem noken/ikat dengan sistem kesepakatan ini terkadang berbeda-beda. Misalnya, ada daerah tertentu yang menggabungkan sistem pemungutan suara sistem noken/ikat dan terkadang ada TPS di daerah tertentu yang digabung menjadi satu mengenai pemungutan suara sistem noken/ikat.
Keempat, untuk melaksanakan syarat konstitusional yang diputuskan MK, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Pegunungan Papua dan Papua Tengah perlu membuat program sosialisasi dan simulasi pemilu one man one value dan dilaksanakan secara berkesinambungan ke masing-masing distrik. Selama ini belum ada sosialisasi secara masif dari penyelenggara pemilu, khususnya di daerah yang menggunakan sistem noken/ikat.
Methodius Kossay, Doktor Ilmu Hukum, Dosen dan Peneliti Universitas Sains dan Teknologi Komputer Jayapura; Penulis Jurnal ”Pemilu Sistem Noken dalam Demokrasi Indonesia”
Instagram: methokossay