Jihad Politik sebagai Pemilih
Dalam Pilkada 2024, pemilih dapat menitipkan "legacy" perjuangan yang baik meski itu kecil. Ini bentuk jihad politik.
Menjadi pemilih memang tidak mudah. Dalam kontestasi politik memilih pemimpin, pemilih harus menelusuri rekam jejak para calon. Sehingga, pemilih dapat dengan cerdas menemukenali calon pemimpin seperti apa yang harus dipilih.
Meskipun hal itu belum sepenuhnya terwujud karena pendidikan pemilih yang kurang masif, tetapi kita patut untuk memeriksa sejauh mana peran partai politik turut serta dalam mewujudkan pemilih yang cerdas. Karena agenda memilih akan baik ketika ada calon-calon terbaik pula yang diusahakan oleh partai politik.
Jika dipikir-pikir, sebenarnya pemilih di Indonesia akan sangat sulit mendapatkan pilihan. Sebab rasa-rasanya semua mekanisme yang tersedia benar-benar belum cukup solutif untuk memunculkan calon terbaik untuk dipilih oleh rakyat.
Sebagai pemilih, kita akan disuguhkan para calon yang disediakan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Proses kandidasi ini kita tahu belum demokratis karena tergantung subyektivitas pimpinan parpol. Lebih dari itu, kerap kali calon legislatif dan eksekutif yang disodorkan bukan merupakan kader mereka.
Baca juga: Kotak Kosong dan Despotisme Baru
Dalam konteks pilkada, jika terdapat calon tanpa dukungan partai politik atau gabungan partai politik, bagi siapa pun warga negara yang layak, bisa mencalonkan diri lewat jalur independen, selama memenuhi segala syarat yang ditentukan. Namun, syarat-syarat itu dua kali lipat lebih rumit dari pencalonan perseorangan DPD. Akibatnya, ada anomali yang muncul seperti pencatutan dukungan pasangan calon.
Kemudian diatur juga mekanisme soal calon tunggal dan rakyat difasilitasi dengan kotak kosong apabila tidak berkenan memilih figur calon tunggal itu. Meskipun akan muncul problem, di mana jika terpilih kotak kosong, daerah tertentu akan dipimpin oleh penjabat yang ditunjuk oleh pemerintah pusat via Kemendagri.
Dari beragam persoalan ini, maka bisa dibilang pemilih tidak memilih secara esensial, melainkan sekadar menjadi entitas pelegitimasi orang-orang pemerintah dan orang-orang yang dikehendaki oleh partai politik.
Pasca putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60 dan 70 yang viral akhir-akhir ini mengubah semua konstelasi, mengubah peta politik daerah, serta mengubah cara pandang politik kita. Sebagai orang yang bergiat pada isu pendidikan pemilih, penulis tentu akan konsisten melihat apakah dengan perubahan-perubahan di atas lantas akan menjadi solusi bagi pemilih Indonesia?
Putusan MK belum tentu menjawab masalah pemilih sekarang juga. Putusan MK di sisi lain memang memberikan harapan baru dan memperkuat demokrasi. Rakyat akan diberikan pilihan yang lebih beragam karena partai politik nonparlemen atau partai politik yang tidak memiliki kursi pada lembaga legislatif akhirnya dapat mencalonkan diri.
Namun, harapan baik itu belum tentu bisa terwujud pada pilkada tahun ini. Karena putusan peradilan ini menghendaki ada perubahan yang supercepat sehingga mustahil dilakukan oleh semua elemen, misalnya soalnya mengubah kesepakatan koalisi di daerah-daerah yang telanjur terbangun, perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) beserta harmonisasi di level KPU daerah, respons cepat Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) akibat perubahan PKPU, dan pun munculnya calon dadakan akibat putusan MK.
Intinya, pelaksanaan Pilkada 2024 ini kurang well prepare. Dengan tuntutan akselerasi aspek-aspek tersebut, maka cenderung menjadikan pemilih apatis, kurang mendapat informasi komprehensif terkait calon. Akibatnya, eskalasi vote buying akan terus terjadi.
Pemilih tidak memilih secara esensial, melainkan sekadar menjadi entitas pelegitimasi orang-orang pemerintah dan orang-orang yang dikehendaki oleh partai politik.
Ketidakberdayaan parpol daerah
Kita sebagai pemilih tidak menyangka perubahan kondisi politik pascaputusan MK itu juga memunculkan anomali pada internal politik di daerah. Misalnya ada kasus di Gorontalo, Ketua DPD I PDI-P Mohammad Kris Wartabone diusung oleh Hanura, PSI, Perindo, dan PPP sebagai calon wakil gubernur dari Nelson Pomalingo, tetapi tidak diusung oleh partainya sendiri.
Kader Golkar, Airin Rachmi Diany, diusung oleh PDI-P pada pilkada Banten nanti. Saat itu, Airin tidak di dukung oleh partainya, Golkar, meskipun akhirnya diusung kembali oleh Golkar.
Kemudian di level kabupaten/kota, Ketua DPC Perindo Boalemo, Riko Djaini, yang didukung oleh gabungan partai politik PDI-P, Demokrat, Hanura, dan PBB juga tidak didukung oleh partainya. Partai Perindo memilih mendukung paslon lain, Wahyudin Lihawa dan Abdillah Alhasni, dengan gabungan PPP, dan Partai Gelora.
Belum lagi soal fenomena calon tunggal yang akan terjadi sebagai akibat dari pola politik nasional dengan metode mengumpulkan dukungan koalisi sebanyak-banyaknya. Cara ini dianggap sukses jika direplikasi di pilkada mencontoh Pilpres 2024.
Kompas, 31 Agustus 2024, memaparkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, total ada 44 daerah dengan kandidat tunggal dari 545 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2024. Penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal itu tersebar di 1 provinsi, 38 kabupaten, dan 5 kota.
Baca juga: Warga Bukan Kotak Kosong
Untuk memperkecil jumlah pertarungan calon melawan kotak kosong, KPU pun memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah di 44 daerah tersebut. Pendaftaran calon kepala daerah yang semula dibuka pada 27-29 Agustus 2024, khusus di 44 daerah itu akan dibuka kembali pada 2-4 September 2024.
Situasi ini menambah kerumitan bagi pemilih untuk mendapatkan calon yang benar-benar layak. Memang kontestasi pemilu dan pilkada bukan ajang memilih malaikat. Namun, bukan berarti hal itu menjadi alasan untuk melindungi keserakahan partai politik dalam merebut kuasa.
Pada prinsipnya, problem partai politik kita adalah enggan menjadi istitusi demokrasi yang melakukan kerja-kerja politik mulia. Idealitas tentang demokrasi dianggap kurang rasional dibandingkan dengan melakukan kerja-kerja culas nondemokratis.
Ada hal yang timpang antara putusan MK di atas dengan kenyataan politik daerah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu cengkeraman partai politik level pusat sehingga tidak ada kemerdekaan partai politik di level daerah dalam menentukan calon. Karena rekomendasi pencalonan dalam bentuk surat B1-KWK harus diterbitkan oleh pengurus pusat partai politik.
Pemilih harus bagaimana?
Kondisi pemilihan pada 2024 tidak berbeda dengan pengalaman di beberapa kontestasi politik sebelumnya. Pemilih benar-benar belum bisa memilih kandidat yang ditempa oleh kaderisasi partai. Justru dikondisi yang ada sekarang malah akan menimbulkan chaos kaderisasi sebab terkesan, pilkada hanya mainan, dan seolah-seolah para calon tidak memiliki beban moril. Sebab, bagaimana mereka mau dipercaya oleh rakyat, sementara mereka tetap berkeinginan maju meski tak diusulkan oleh partai politik di mana ia memimpin atau berproses.
Artinya apa? Aturan apa pun yang mengatur mekanisme di KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), berserta UU Pemilu, UU Pemilihan, termasuk di dalamnya putusan peradilan yang diatur secara demokratis, akan bernilai nol jika tidak dibarengi dengan penataan kelembagaan partai politik termasuk memperbaiki aspek kulturalnya.
Selain turut mengubah penataan parpol lewat undang-undang ke depan—bagian ini ialah perjuangan jangka panjang—hal taktis lainnya yang bisa dengan cepat dilakukan ialah tetap berserikat sebagai pemilih untuk mengawal proses dan hasil pilihan kita nanti. Meskipun, kepemimpinan yang lahir dihasilkan dari anomali proses demokrasi. Sebab, dengan begitu kita ikut memastikan bahwa hak kita sebagai masyarakat layak untuk didapatkan atau kita tidak akan mendapatkannya sama sekali.
Baca juga: Titik Krusial Pilkada 2024
Selanjutnya pengawalan jadwal tambahan oleh KPU sebagai akibat dari adanya calon tunggal di banyak daerah. Pengawalan terdepan menjadi tugas Bawaslu, yaitu dengan mengawasinya serta oleh organisasi masyarakat sipil, untuk memastikan KPU on the track serta ramai-ramai mendorong partai politik untuk mendorong kader-kader terbaiknya dalam kandidasi. Meskipun pekerjaan rumah (PR) untuk partai politik jelas sangat membutuhkan sikap negarawan mereka agar tidak hanya mencari kemenangan semata.
Sebagai pemilih kita tidak bisa membiarkan kondisi buruk ini terjadi terus-menerus. Justru jika pemilih apatis malah akan memperparah dan bisa jadi kondisinya semakin mencekam. Tanggung jawab pemilih tidak hanya terkait pilkada atau pemilu. Tanggung jawab kita sangat panjang (long term responsibility), yaitu soal apakah kita aman atau tidak untuk bisa bernapas besok. Oleh karena itu, memilih sama halnya berjihad (berjuang) dalam politik.
Terakhir yang paling penting ialah menitipkan sebuah legacy perjuangan yang baik walaupun itu kecil. Karena ini pasti akan menjadi referensi bagi generasi pencari kebenaran, dan penegak keadilan yang akan datang.
Guslan Batalipu, Manajer Pendidikan Pemilih, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)