Robohnya Kultur Demokrasi Kita
Bukan hanya mundur, fondasi dan kultur demokrasi kita telah roboh. Butuh waktu lama untuk membangunnya kembali.
Kita pernah bangga sebagai warga negara Indonesia karena menjadi satu-satunya negara Muslim terbesar di dunia yang berhasil menyandingkan antara Islam dan demokrasi pascareformasi 1998. Indonesia menjawab keraguan ilmuwan politik dunia, salah satunya Samuel P Huntington, bahwa Islam dan demokrasi tidak mungkin berjalan beriringan.
Pengalaman Indonesia mengonsolidasikan demokrasinya setelah Soeharto jatuh membuktikan kepada dunia internasional bahwa demokrasi dapat tumbuh dengan baik di negara yang mayoritas Islam. Meski harus diawali dengan banyaknya korban yang meninggal dari mahasiswa karena turun ke jalan untuk melawan rezim Soeharto yang otoriter.
Namun, perjuangan dan pengorbanan mereka tidaklah sia-sia. Pascareformasi 1998, tahap demi tahap Indonesia berhasil mengonsolidasikan dan membangun kultur politik yang demokratis. Tentu saja tidak terlepas dari beberapa catatan dan kekurangannya.
Baca juga: Agama, Politik, dan Demokrasi
Jack Snyder mengatakan bahwa apabila negara tersebut telah melaksanakan pemilu sebanyak dua kali, maka demokrasi negara tersebut sudah bisa dikategorikan telah matang (matured democracy). Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak enam kali. Tentu ini adalah fakta sejarah yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa demokrasi Indonesia telah matang, tanpa keraguan sedikit pun.
Juga, pengalaman Indonesia adalah data untuk membantah teori dari beberapa ilmuwan politik dunia yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa berjalan beriringan. Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan di Indonesia.
Tentu saja ini bukan klaim yang sepihak, Hillary Rodham Clinton, ketika menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, pernah mengatakan bahwa jika Anda ingin melihat Islam, modernitas, dan demokrasi berjalan beriringan, maka datanglah ke Indonesia. Data terkait indeks demokrasi Indonesia juga semakin membaik pascareformasi.
Kultur demokrasi
Anis Matta, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini mendirikan Partai Gelora, pernah memberikan analogi yang cukup menarik bahwa demokrasi ibarat orang yang tinggal di dekat rel kereta api. Pada awalnya, akan sulit tidur di malam hari karena berisik setiap kali ada kereta api lewat. Namun, seiring dengan waktu, dia akan menikmati dan bisa tidur nyenyak berapa pun kereta api yang lewat di malam hari.
Itulah demokrasi dengan segala prinsipnya yang mungkin bagi sebagian orang tidak nyaman untuk dikritik dengan adanya kebebasan berpendapat. Walakin, ketika kultur demokrasi telah tertanam dengan baik dalam sistem politik kita, maka para elite tidak lagi melihat kritikan itu sebagai gangguan atau ancaman. Sebaliknya, kritikan itu bagian dari kontrol sosial.
Para pemimpin yang berada di puncak kekuasaan menyadari bahwa kekuasaan yang ada di genggamannya ada batasannya. Pemimpin yang sedang berkompetisi untuk memperebutkan jabatan publik menyadari akan adanya dua kemungkinan, yaitu terpilih atau tidak terpilih.
Seandainya Bu Mega tidak siap untuk tidak terpilih, maka dia akan memanfaatkan kekuasaannya (sebagai presiden) untuk memenangi kontestasi.
Kultur demokrasi inilah yang berhasil kita bangun secara pelan-pelan pascareformasi. Kekalahan Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi pada Pemilihan Presiden 2004 dari Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla adalah bukti nyata.
Megawati Soekarno Putri (Bu Mega), sebagai petahana, berkompetisi dengan siap dipilih dan tidak terpilih. Seandainya Bu Mega tidak siap untuk tidak terpilih, maka dia akan memanfaatkan kekuasaannya (sebagai presiden) untuk memenangi kontestasi.
Itulah demokrasi yang memberi ruang kepada siapa pun untuk terpilih. Atasan bisa kalah dari bawahannya, orang-orang biasa bisa mengalahkan figur dari keluarga bangsawan. Dan muncul serta terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Indonesia pada 2014 juga adalah bukti bahwa kultur demokrasi kita telah matang.
Jokowi di mata Fachri Ali adalah kepemimpinan pascaelite. Megawati pada saat itu memilih memberikan ”tiket pencalonan” kepada Jokowi yang menurut lembaga survei mempunyai elektabilitas tinggi.
Robohnya demokrasi
Terpilihnya Jokowi pada 2014 dinilai sebagai bentuk dari kesempurnaan demokrasi Indonesia. Namun, seiring dengan berjalannya roda pemerintahannya, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Kultur demokrasi Indonesia yang dibangun sejak reformasi dirusak.
Hal itu mulai terlihat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai adik ipar Jokowi memutuskan pelonggaran usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini memungkinkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada 2023.
Tidak berhenti di situ, rakyat semakin dipertontonkan pada praktik ketidakadilan dalam kontestasi politik 2024. Pilpres 2024 jauh dari kata netralitas.
Dalam bahasa yang lainnya, ada pemilu yang tidak demokratis karena kultur dan prinsip demokrasi tidak dijaga dalam kontestasi politik tersebut tersebab satu hal, hanya siap menang dan takut kalah. Kontestasi dengan tidak bersedia kalah itulah sehingga segala cara dihalalkan.
Langkah merobohkan bangunan dan kultur demokrasi Indonesia berlanjut pada pemilihan kepala daerah akhir 2024 ini. Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang memenangkan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, ditambah dengan gabungan beberapa parpol yang bergabung belakangan (KIM plus), berusaha bahkan dengan kata ”wajib” memenangkan pilkada serentak di beberapa provinsi strategis (untuk 2029) di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali (Tempo, 3/8/2024).
Baca juga: Kebuntuan Koalisi Pilkada
Target untuk memenangi daerah strategis tentu tidak salah selagi ditempuh dengan mekanisme yang adil dalam kontestasi. Yang menjadi persoalan adalah adanya upaya untuk memenangi daerah-daerah tersebut tanpa kontestasi (uncontested election) dengan cara memborong dukungan dari partai politik dengan beragam cara untuk intimidasi dan lain-lain.
Itulah yang dipertontonkan kepada publik akhir-akhir ini menjelang pendaftaran kandidat kepala daerah. Ada skenario secara masif yang dilakukan untuk melawan kotak kosong, berusaha memenangi kontestasi tanpa adanya lawan.
Di sinilah kita melihat robohnya kultur demokrasi kita di mana substansi dari demokrasi adalah rakyat diberi kedaulatan dan ruang untuk mencari orang-orang terbaik untuk menjadi pemimpin mereka. Itulah makna dari demokrasi yang dipahami sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Walakin, semua itu sirna dengan skenario besar yang dilakukan oleh KIM plus, tidak terlepas dari keterlibatan Istana. Partai politik, sebagai pilar penting dalam demokrasi, bukannya menjadi ruang penyalur aspirasi rakyat, sebaliknya mengubur aspirasi rakyat dengan menyingkirkan figur-figur yang mempunyai elektabilitas yang tinggi.
Rakyat secara luas juga melihat bahwa apa yang dipertontonkan oleh elite partai politik menunjukkan tidak adanya komitmen untuk menjaga kultur politik yang demokratis dalam kontestasi politik. Contohnya adalah pilkada di Jakarta. Ada upaya menutup jalannya kandidat lain dengan memborong semua dukungan partai politik untuk calon tertentu.
Untungnya ada MK yang mengeluarkan putusan pada Selasa, 20 Agustus 2024. Putusan MK ini mengubah ambang batas dari 20 persen kursi di DPRD menjadi 6,5-10 persen, tergantung jumlah penduduk di daerah tersebut (Kompas, 21/8/2024).
Secara konstitusional, putusan MK ini bersifat final dan mengikat, tetapi DPR berupaya melawannya dengan rapat maraton yang dilakukan pada 21 Agustus 2024 untuk merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Perlawanan terhadap konstitusi inilah yang melahirkan reaksi cepat dari gerakan mahassiswa dan juga elemen lainnya untuk berunjuk rasa secara massif di sejumlah daerah pada 22 Agustus 2024.
Pemerintah dan DPR merespons gerakan perlawanan dari rakyat ini dengan mengatakan bahwa Pilkada 2024 akan merujuk pada putusan MK. Meski pemerintah dan DPR berubah sikap dengan adanya gerakan people power ini, fondasi dan kultur demokrasi kita telah roboh.
Baca juga: Memperkuat Budaya Demokrasi
Jika beberapa tahun lalu wacana yang muncul adalah kemunduran demokrasi, kini demokrasi dengan kulturnya telah roboh. Ibarat rumah, bukan atap atau pintunya yang cacat atau rusak, tetapi fondasinya.
Jika demokrasi kita mengalami kemunduran, tidak butuh waktu yang terlalu lama untuk memperbaikinya. Namun, apabila fondasi dan kultur demokrasi yang roboh, kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun kembali kultur politik yang demokratis itu.
Kita tidak tahu persis apakah Prabowo Subianto akan berupaya membangun kembali fondasi dan kultur demokrasi kita setelah 20 Oktober nanti atau tidak. Yang jelas bahwa Gerindra, partai yang dipimpinnya, menjadi salah satu motor utama di balik upaya perlawanan terhadap putusan MK.
Akhirnya, kebanggaan kita dulu sebagai warga negara Indonesia yang berhasil menyandingkan antara Islam dan demokrasi menjadi kesedihan. Tidak sedikit elemen masyarakat yang sedih melihat kehancuran demokrasi kita karena ambisi politik kelompok dan keluarga tertentu!
Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta