Hidup ”Ojol”, yang Dulu Sampingan Kini Sandaran
Dirancang hanya sampingan, ”ojol” justru jadi pekerjaan utama. Sejak awal bermasalah, pemerintah selalu telat bersikap.
Punya pekerjaan tetap tetapi gaji pas-pasan. Wajarlah jika kemudian berharap punya penghasilan tambahan dari pekerjaan sampingan yang tidak memberatkan dan tidak mengikat layaknya pekerjaan utama. Harapan itu bagai gayung bersambut ketika perusahaan aplikasi transportasi daring bermunculan sejak 2010 hingga kini.
Pada tahun itu, aplikasi ojek sepeda motor hadir dan sangat mudah diakses untuk menghubungkan penyedia jasa dengan konsumen. Gojek, nama aplikasi itu, merevolusi cara bermobilitas secara cepat yang dikendalikan perusahaan swasta rintisan. Nadiem Makarim, yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ,adalah salah satu pencetusnya.
Perlu waktu 4-5 tahun sebelum Gojek diterima publik luas. Tak berselang lama, perusahaan lain meramaikan persaingan aplikasi transportasi daring ini di Indonesia, di antaranya Uber, Grab, dan Maxim. Uber sebelumnya telah berkiprah kuat di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat dan Eropa. Uber kemudian diakuisisi Grab pada 2018.
Dalam perkembangannya, selain sepeda motor, ada juga taksi online. Kemudian ada layanan pesan antarmakanan, pengantaran barang, dan banyak lagi. Sebuah perubahan besar dalam hidup keseharian manusia.
Baca juga: Setelah ”Rawon” dan Roti Rp 400.000 Berlalu
Untuk menjadi ”kang ojol” tidaklah rumit. Seseorang bisa menjadi mitra perusahaan aplikator jika memiliki kendaraan layak pakai dan biasanya ada batas usia sepeda motor maupun mobil, memiliki surat izin mengemudi (SIM), usia 18 tahun ke atas, dan mematuhi aturan perusahaan. Perusahaan akan memotong sekian persen dari tarif dan sejumlah syarat lain, termasuk perilaku baik pengemudi.
Dalam salah satu artikel di laman resmi Grab dijelaskan, pekerjaan ini dibutuhkan banyak orang, baik sebagai konsumen maupun mitra aplikator, dan jam kerja fleksibel. Selain itu, penggunanya banyak sehingga tidak ada istilah ”rebutan penumpang”.
Menjadi pengojek online atau akrab disebut ojol berarti juga membantu orang dan celah sebagai pekerjaan sampingan untuk mendapat penghasilan ganda. Sebagai pengojek daring berarti diterima dalam komunitas ojek daring yang solid, saling membantu dan menjaga di kerasnya dunia jalanan.
Di tahun-tahun awal masa booming ojek daring, bahan bakar minyak jenis premium di bawah Rp 7.000 per liter. Pihak perusahaan aplikasi menghamburkan modal untuk memberi potongan harga pada pelanggan dan bonus bagi para mitranya demi menggaet penumpang. Dengan kondisi itu, mereka yang serius bekerja delapan jam atau lebih dan yang ngojek dalam waktu lebih pendek, sama-sama senang karena mengantongi banyak uang, jauh di atas perkiraan. Sehari bisa membawa pulang Rp 500.000.
Baca juga: Pekerja ”Jelita”, Spektrum Karier Tak Terbatas Ada di Depanmu
Pada 2015-2017 itu, penghasilan sebagai ojol dan taksi online bisa dua kali upah minimum regional. Kabar itu segera menyebar. Banyak yang berani ambil kredit sepeda motor dan mobil sebagai modal menjadi pengojek daring. Ada pula yang melepas pekerjaan tetap bergaji UMR dan banting setir menjadi tukang ojol. Di sinilah salah satu persoalan kemudian berasal ketika mengojek daring banyak dijadikan sebagai mata pencarian utama: satu-satunya sandaran hidup, bukan lagi sampingan.
Sampai awal 2020, tepat sebelum pandemi Covid-19 menyergap, ojek daring merajalela. Komunitas pengojek daring begitu solid dan kuat sampai ”ditakuti” pihak di luar itu. Mereka bergerombol di mana-mana, di trotoar, di halte, di sekitar pusat keramaian.
Hingga kini, pemerintah tidak memiliki data jumlah pasti mitra pengemudi ojek daring. Namun, menurut Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan Ahmad Yani, seperti dikutip dari Bisnis.com pada 2019, ada 2 juta-2,5 juta pengojek daring. Sebagian besar mitra itu beroperasi di wilayah Jabodetabek.
Selama pandemi, meskipun terdampak hebat sebagaimana banyak jenis pekerjaan lain, ojek daring mampu bertahan. Dalam dua tahun terakhir, ojek daring kembali bangkit. Jumlah pengemudi angkutan daring yang makin banyak ini berimbas pada gugurnya slogan ”tak perlu berebut penumpang”.
Angkutan online tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi bagian dari penghidupan masyarakat. (Budi Karya Sumadi)
”First mile-last mile”
Masyarakat menyambut baik kehadiran ojol yang menawarkan harga miring dibandingkan ojek konvensional atau ojek pangkalan. Pemesanan lewat aplikasi yang praktis kekinian serta cepat membuat orang ramai-ramai menjadi pelanggan ojol.
Ojek daring juga mengisi celah kekurangan layanan transportasi publik. Satu dasawarsa lalu, jaringan bus Transjakarta dan KRL Jabodetabek belum seluas sekarang. MRT dan LRT belum beroperasi.
Namun, setelah transportasi publik makin beragam dan luas cakupan layanannya, ojek daring tetap diminati. Mengapa demikian?
Usut punya usut ternyata angkutan umum massal dan angkutan pengumpan belum maksimal menjangkau titik awal keberangkatan (first mile) dan titik akhir tujuan (last mile).
Ojek daring difungsikan membawa konsumen dari titik awal berangkat menuju stasiun atau halte terdekat. Untuk pergerakan first mile-last mile jangka pendek, ojek daring tetap paling praktis dan relatif murah.
Ojek daring yang makin tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari warga menjadi persoalan ketika jumlahnya melebihi permintaan. Di sisi lain, sejak awal kehadiran ojek daring tidak segera direspons dengan regulasi yang tepat. Penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum ini menyalahi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Setelah beberapa kali terjadi kasus yang merugikan pengguna, masyarakat umum, dan pengemudi ojek daring diikuti unjuk rasa para pengojek online, barulah terbit Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 118 Tahun 2018.
Baca juga: ”Gak Bisa Yura”, Bersepeda Listrik di Jalan Raya Itu Berbahaya
Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kala itu, angkutan online tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi bagian dari penghidupan masyarakat. Omzet usaha kecil menengah mengalami kenaikan 30-40 persen terdampak dari berbagai layanan angkutan daring tersebut.
Untuk itu, terkait penetapan tarif harus adil. Kemudian, ada standar pelayanan minimum (SPM) yang melindungi konsumen dan pengemudi. SPM ini meliputi jaminan keselamatan di jalan hingga pencegahan, perlindungan korban, dan respons cepat jika ada kejahatan maupun kekerasan seksual yang melibatkan penumpang serta pengemudi.
”Pengemudi harus mendapatkan tarif yang baik, tetapi jangan mahal. Suspend terhadap pengemudi harus dilakukan kalau ada pengemudi nakal, tetapi harus melalui peringatan serta pemberitahuan,” tutur Menhub Budi Karya kala itu.
Namun, setelah enam tahun berlalu atau hampir 15 tahun sejak aplikasi transportasi daring lahir di Indonesia, relasi tidak seimbang dengan perusahaan aplikator tetap tak jua dirasakan para mitra.
Mitra tak setara
Pada Kamis (29/8/2024), pengemudi ojek daring kembali berunjuk rasa. Mereka berseru tentang pendapatannya yang terus turun. Selain karena semakin banyak pengojek daring di jalanan, pendapatan anjlok karena perang tarif antarplatform, seperti Gojek, Grab, Maxim, Shopee, Indrive, dan Lalamove.
Sulitnya mendapat 8-10 orderan dalam sehari sudah menjadi ratapan pengojek daring sehari-hari. Rata-rata para mitra ini bekerja lebih dari 8 jam demi mengejar target dan mendapat bonus. Itu pun hasilnya lebih kecil atau setara UMR disertai kelelahan luar biasa.
Prinsip kemitraan yang diatur pada Pasal 104 UU No 20/2008 tentang Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan disebut tidak tepat diterapkan pada relasi pengojek daring dan perusahaan aplikasi.
Baca juga: Setelah Enam Dekade Jakarta Menjadi Ibu Kota Negara
Beberapa pihak menyebut status pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu seperti diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dinilai lebih cocok untuk para pengojek daring dan kurir.
Menanggapi unjuk rasa ojol, seperti dikutip dari Kompas, pihak manajemen Grab menyatakan telah menyesuaikan besaran tarif layanan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1/PER/M.KOMINFO/1/2012 Tahun 2012 tentang Formula Tarif Layanan Pos Komersial. Tarif tersebut dirancang untuk menjaga pendapatan mitra pengemudi dan kestabilan permintaan pasar terhadap layanan.
Manajemen Gojek juga merespons. Mereka menegaskan, pihaknya selalu terbuka terhadap aspirasi rekan-rekan mitra pengemudi yang aktif di Gojek.
Baca juga: Bersiaplah Menua Sendiri di Kotamu
Pemerintah sendiri masih berkutat dalam rencana menambah regulasi baru yang mengatur pekerja di platform digital, termasuk para pengojek daring. Rancangan peraturan menteri ketenagakerjaan telah disiapkan. Namun, pembahasannya menunggu pemerintahan baru. Peraturan terkait sesuai perkembangan terkini dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga ditunggu publik.
Unjuk rasa pun usai dengan hasil yang belum sesuai tuntutan pengemudi ojek daring. Penyedia platform digital di bidang transportasi tetap melenggang sebagai perusahaan bernilai valuasi mencapai 1 miliar dollar AS hingga 10 miliar dollar AS.
Langkah tegas pemerintah lagi-lagi entah kapan berjalan. Selalu terlambat, seperti biasa. Di sisi berbeda, para pengemudi ojek daring harus kembali ke jalan, karena tidak ada pilihan lain di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja yang terus terjadi. Seperti halnya iklim usaha, dunia ”kang ojol” pun sedang tidak baik-baik saja.
Baca juga: Catatan Urban