Pasal Keramat UU Pemilu
Telah 32 kali upaya uji materi ke MK, belum juga mampu ”menjebol” ketentuan Pasal 222 UU Pemilu.
Ilustrasi
”Kawan sejati adalah kawan yang masih berani tertawa bersama walau dalam kepungan bahaya” (Widji Thukul).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hukum itu harus bersenyawa dengan rasionalitas. Tanpanya, hukum tidak memiliki jiwa dan pikiran. Rasionalitas merupakan kualitas yang didasarkan pada pemikiran dan nalar yang jernih, atau pengambilan keputusan berdasarkan pemikiran dan nalar yang jernih.
Menurut Scott H Bice dalam Rationality Analysis in Constitutional Law (1980), rasionalitas setidaknya dapat dipahami sebagai adanya hubungan positif antara sarana dan tujuan. Dalam konteks hukum, rasionalitas memberikan garis tegak lurus antara hukum sebagai sarana pada satu sisi, dengan pencapaian tujuan yang dikehendaki di sisi lainnya.
Rasionalitas menuntun cara berpikir kita agar tetap konsisten sebagaimana tujuan hukum yang dicita-citakan. Jika melihat ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential nomination threshold), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), maka rasanya sulit untuk menemukan kesesuaian antara sarana melalui pasal a quo dan tujuan yang hendak dicapai dalam ketentuan presidential nomination threshold tersebut.
Baca juga: Mati Satu, Tumbuh Seribu Uji Materi Pasal ”Presidential Threshold” di MK
Hal ini pula yang mendasari upaya pengujian kembali untuk yang ke sekian kalinya terhadap ketentuan presidential nomination threshold sebagaimana yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Padahal, pasal a quo yang mengatur mengenai presidential nomination threshold ini, telah dilakukan pengujian sebanyak 32 kali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tidak satu pun yang dikabulkan oleh MK.
Teranyar, terdapat empat perkara dengan materi yang sama, yang kembali diajukan ke MK. Salah satunya adalah perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) yang diwakili Hadar Nafis Gumay sebagai Pemohon I dan Titi Anggraini sebagai Pemohon II.
Mereka beralasan jika ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, tidak konsisten antara tujuan pengaturan presidential nomination threshold dengan fakta empirik di lapangan. Selain itu, ketentuan presidential nomination threshold ini juga dianggap memberikan dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945 (mkri.id, 7/7/2024)
Genealogi pasal
Untuk memahami genealogi atau asal-usul pengaturan presidential nomination threshold, tidak bisa hanya secara parsial. Setidaknya kita bisa memulainya dengan menggali memorie van toelichting, atau catatan yang melatarbelakangi rumusan materi mengenai desain pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UUD 1945.
Pada dasarnya, para penyusun perubahan UUD 1945 tidak menyepakati perihal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun, terdapat hal krusial yang patut digarisbawahi dalam perdebatan materi pencalonan ini.
Pertama, legitimasi. Muchsan, salah satu tim ahli yang dihadirkan dalam rapat, menyampaikan jika pada dasarnya presiden harus mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat (MK, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002). Legitimasi itu dapat diwujudkan dalam bentuk persentase keterpilihan.
Dalam pembahasan tersebut, Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, menyebutkan bahwa, ”Presiden itu dipilih langsung oleh rakyat dengan memperoleh mayoritas mutlak, artinya 50 persen tambah satu atau lebih 50 persen dari suara pemilih yang ikut dalam pemilihan”. Hal ini juga sekaligus sebagai bentuk penghindaran dari second round sebab dengan pencalonan ini diharapkan memang suara terbanyak itulah yang akan terpilih menjadi presiden.
Pada dasarnya, para penyusun perubahan UUD 1945 tidak menyepakati perihal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Kedua, koalisi dan penyederhanaan partai. Pada dasarnya, penyusun perubahan UUD 1945 memiliki kesepahaman jika pencalonan presiden dan wakil presiden, melalui kanal partai politik. Namun, pertimbangan pentingnya koalisi partai politik, yang sekaligus sebagai embrio penyederhanaan partai, juga harus didesain sedemikian rupa. Karena itu, frase ”partai atau gabungan partai” menjadi konsensus bersama dalam pencalonan ini.
Valina Singka Subekti dari Fraksi Utusan Golongan, menyebutkan secara tegas jika presiden dan wakil presiden hendaknya dipilih dalam satu paket yang pencalonannya dilakukan partai-partai politik sebelum pemilu dilaksanakan. Hamdan Zoelva menambahkan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa saja dilakukan oleh parpol, gabungan parpol, atau kalangan independen.
Pimpinan rapat ketika itu, Jacob Tobing, mempertimbang bahwa untuk memperkecil social cost, harus dikondisikan agar partai-partai menciptakan koalisi satu sama lain hingga terjadi penyederhanaan partai politik. Pertanyaannya adalah, apakah pengaturan lebih lanjut melalui UU Pemilu, telah selaras dengan maksud para penyusun perubahan UUD 1945 ini?
Pasal keramat
Telah 32 kali upaya uji materi ke MK, belum juga mampu ”menjebol” ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential nomination threshold. Tidak salah jika berbagai kalangan menjuluki Pasal a quo sebagai ”pasal keramat”. Namun, MK juga tidak lepas dari kritik, yang membuat pasal keramat tersebut tidak henti-hentinya diuji.
Ada semacam logika berserakan yang sulit diterima publik. Pertama, mengenai open legal policy. Dari 32 putusan pengujian pasal keramat ini, MK menjadikan alasan open legal policy sebagai basis penolakannya. Namun, MK seperti amnesia, lupa jika salah satu unsur dalam memandang open legal policy ini, tidak kita dapatkan sama sekali dalam pengaturan presidential nomination threshold.
Dalam putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2009, MK berpendapat sebagai berikut, ”…Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas... .” Problemnya, rasionalitas ini yang tidak kita temukan pada ketentuan presidential nomination threshold dalam UU Pemilu.
Baca juga: Jalan Terjal ”Presidential Threshold”
Kedua, Pasal keramat ini menjadi problematik dalam bentara praktik ketatanegaraan kita, terutama berkaitan dengan tujuan awalnya yang hendak menguatkan desain ”presidensialisme”. Tujuan ini disebutkan eksplisit dalam Naskah Akademik (NA) penyusunan UU Pemilu yang menyebutkan bahwa, “Pelaksanaan ambang batas (presidential threshold) selama ini bertujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial atau membentuk sistem pemerintahan presidensial yang efektif”.
Naskah akademik tersebut mengelaborasi bahwa, ”Berdasarkan praktik kenegaraan, Pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono tidak bisa mengambil keputusan cepat atas semua rancangan kebijakan yang diajukan ke DPR, karena DPR tidak seratus persen mendukungnya”.
Pertanyaannya adalah, apakah benar praktik presidential nomination threshold berkorelasi langsung dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial? Atau justru sebaliknya, jangan-jangan presidential nomination threshold justru ”melemahkan” sistem pemerintahan presidensial.
Salah satu bentuk nyatanya adalah koalisi gemuk (over coalition), yang cenderung mematikan oposisi, sehingga berdampak tidak berjalannya checks and balances system dalam pemerintahan. Semoga MK kembali membuka mata dan telinga agar uji materi pasal keramat ini pecah telur!
Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman