Pekerja ”Jelita”, Spektrum Karier Tak Terbatas Ada di Depanmu
Era sekolah, bekerja, lalu pensiun telah berakhir. Jangan cemas, ada peluang luas bagi warga ”jelita” jelang 50 tahun.
Masa-masa kita menjalani siklus hidup teratur dengan bermain, sekolah, bekerja, lalu pensiun kini menuju utopis. Tak lagi selurus itu,
Sebelumnya, hingga dua-tiga dekade lalu, seseorang bergelar sarjana dari kampus ternama relatif banyak diterima di perusahaan bonafide.
Lalu, mereka menunjukkan loyalitasnya bekerja di tempat yang sama selama puluhan tahun. Pada usia 55 tahun atau 60 tahun, para karyawan setia itu menikmati masa pensiun (bahkan ada yang diperpanjang) sembari memetik hasil tabungan semasa aktif bekerja.
Namun, masa-masa itu mulai berakhir, kecuali bagi para aparatur sipil negara (ASN).
Sudah beberapa waktu ini, dunia bisnis swasta berada di era bekerja berdasarkan ikatan masa kontrak periode tertentu, yang bahkan pendek. ”Boro-boro” ada tunjangan pensiun, pekerja terhitung beruntung kalau perusahaan masih memperpanjang masa kontraknya.
Baca juga: ”Gak Bisa Yura”, Bersepeda Listrik di Jalan Raya Itu Berbahaya
Beberapa waktu terakhir, informasi pemutusan hubungan kerja (PHK) makin kerap terjadi, menghantui semua kalangan umur dan posisi. Bahkan, di entitas bisnis dengan valuasi triliunan rupiah idola anak muda yang digadang-gadang masa depan era serba digital. Bagi pekerja berusia 40 tahun ke atas, situasi ini memberi tekanan berbeda karena mereka dicabut paksa dari posisi nyaman yang sebelumnya ditempati.
Bukan hal asing lagi ketika pekerja berusia kepala empat ke atas diminta beralih status dari karyawan tetap menjadi tenaga kontrak. Banyak pula yang terkena PHK, sedangkan pekerjaan baru pengganti sulit didapat. Padahal, ada tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga dan tiada lagi tempat berpaling untuk meminta bantuan.
Di sisi lain, masalah kian pelik ketika dunia makin didominasi para pekerja berusia tua. Pada saat bersamaan, hal ini belum banyak disadari, antisipasinya pun terbilang minimalis.
Berdasarkan data Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur dari Badan Pusat Statistik pada Februari 2024, ada 56.460.414 pekerja berusia 40-59 tahun dan 17.528.089 pekerja berusia di atas 60 tahun. Jumlah itu mencapai separuh dari 142.179.046 pekerja di Indonesia. Lebih dari 70 juta orang tersebut harus beradaptasi dengan kondisi dunia kerja saat ini.
Tren tenaga kerja yang menua terjadi di seluruh dunia. Hal ini disebabkan berbagai kondisi, di antaranya karena jumlah pekerja muda menyusut dan perubahan batas masa pensiun. Faktor pendorongnya antara lain ketidakpastian dunia kerja yang turut berimbas pada makin banyaknya orang memutuskan tidak menikah dan tidak memiliki anak.
Baca juga: Bersiaplah Menua Sendiri di Kotamu
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) memprediksi di 2030 akan ada 150 juta pekerjaan dilakukan pekerja berusia 55 tahun ke atas.
Para warga ’jelita’, juga mereka yang menjalani usia 50-an tahun, 60 tahun, dan seterusnya, menempatkan umur hanyalah angka, bukan nasib, apalagi nasib buruk.
Permata buram
Di negara maju, tren tenaga kerja yang menua masih menjadi persoalan rumit. Walaupun diskriminasi umur dihadang peraturan tegas, BBC pada 19 Januari 2022 mengulas bahwa mereka yang berusia 28 tahun tiga kali lebih berpeluang lolos dibadingkan pelamar berusia 50 tahun ke atas. Mereka yang berusia 50 tahun sangat susah mencari pekerjaan baru.
Mereka terpaksa memalsukan usia di surat lamaran atau curriculum vitae (CV) menyiasati agar bisa lolos seleksi dokumen dalam proses lamaran kerja. Orang paruh baya memilih memangkas data usianya menjadi 45-an tahun di CV dan berharap ”dewi fortuna” bersama mereka.
Business Insider dalam salah satu artikelnya pada 22 November 2022 menyarankan agar pencari kerja usia sangat matang ini tidak mencantumkan tahun kelulusannya di CV. Menurutnya, para pencari kerja jelang lima puluh tahun atau ”jelita” ke atas ini memiliki kemiripan masalah dengan kaum muda usia di bawah 35 tahun.
Baca juga: Joki-joki untuk Hidup yang Haus Validasi
Penyedia lapangan kerja rata-rata melihat mereka yang di bawah 35 tahun terlalu belia dan kurang pengalaman, sedangkan yang di atas itu terlalu tinggi kualitas dan pengalaman kerjanya. Dengan kata lain, sama-sama membutuhkan usaha dan biaya berlebih untuk mengelola mereka. Ah, sungguh problematik.
Di Indonesia, kondisinya terasa makin berat karena berbagai lowongan pekerjaan harus mencantumkan batas usia. Bahkan, sampai menentukan pelamar harus menarik secara fisik dan ahli dalam beragam keterampilan. Dengan persyaratan berstandar selangit itu, upah yang ditawarkan tak lebih besar dari standar minimum daerah.
Salah satu dari sedikit lowongan yang masih terbuka untuk usia 50 tahun ke atas adalah menjadi ojol alias ojek online (daring). Pengojek daring ini ada di mana-mana. Mereka melaju di jalan membawa penumpang atau menepi di trotoar menekuni ponselnya berharap segera ada orderan.
Perkara pendapatan, tak perlu ditanya lagi: pasti pas-pasan. Lihat saja begitu sengitnya persaingan antarpengojek. Mereka terbatasi pula oleh berbagai aturan dari mitranya, perusahaan raksasa unicorn bernilai triliuan rupiah itu.
Terlihat buram memang kehidupan orang-orang berusia menjelang paruh baya ke atas ini. Namun, kalau kaum muda diibaratkan sebagai batu permata yang belum terasah, kaum ”jelita” ini permata jadi yang terkadang tertutup rasa rendah diri dan stigma.
Baca juga: Anne Hidalgo yang Dihujat karena Menghijaukan Paris dan Olimpiade
Ketika usia bergulir semakin senja, kemampuan fisik selalu dituding berkurang dan sulit mengikuti kemajuan teknologi. Publik, sesama kaum berumur pun banyak berpendapat sama, telanjur memberi cap renta, tak bertenaga, kurang berguna pada mereka yang sudah separuh abad lebih.
Anggapan buruk itu sangat bisa dipatahkan, harus dipatahkan.
Kesempatan kedua
Kanal Midlife Unstuck mengajak para warga ”jelita”, juga mereka yang menjalani usia 50-an tahun, 60 tahun, dan seterusnya, menempatkan umur hanyalah angka, bukan nasib, apalagi nasib buruk.
Menempatkan umur sebatas angka berarti membongkar tembok tebal yang selama ini menghalangi kaum ”jelita” mempelajari keahlian baru. Mencoba jenis pekerjaan berbeda bukan hal tabu. Tidak ada pekerjaan lebih rendah dari yang lain selama itu tidak melanggar hukum.
”Hidup ini terlalu singkat untuk terus tertunduk sampai kita berusia 65 tahun. Mengapa tidak menikmati hidup,” sebuah pesan kuat dari kanal itu.
Hidup terus berlanjut sepanjang napas melekat meskipun garis karier linier di masa lalu telah tergantikan dunia kerja yang amat dinamis. Dua hal itu petunjuk penting bagi siapa saja untuk menjadi dewasa tanpa terbebani menjadi tua. Petunjuk agar manusia mengisi hidup dengan kebahagiaan, bukan diperbudak sebagai mesin pencari uang dan melupakan kesenangan.
Baca juga: ”Street Foods”, Jawaban Bermacam Selera Manusia Kota
Di usia ”jelita”, mengapa tidak mulai serius menekuni apa yang dicintai? Mengeksplorasi dan menjadi master dalam bidang yang telanjur digeluti. Dapat pula secara bertahap beralih menekuni karier idaman lain.
Jika tak memiliki kemewahan untuk dapat memilih pekerjaan yang diminati, para ”jelita” didorong menyisihkan sedikit waktu mencari apa yang membuat hati senang. Rasa senang itu melegakan dan membuat pikiran terbuka atas berbagai kemungkinan dan peluang baik. Siapa tahu, kelak hal itu dapat berkembang sebagai tali penyambung hidup.
Forum Ekonomi Dunia tak lupa mengingatkan bahwa tidak semua pekerjaan setara dalam keberagaman usia dan kemampuan fisik. Sangat mudah, misalnya, membayangkan seorang akademisi atau penjaga toko bekerja hingga usia tujuh puluhan, tetapi sulit mengakui di umur yang sama seseorang akan tetap kuat menjadi tukang bangunan.
Namun, bukan berarti tidak mungkin terjadi atau dilakukan. Terlebih ada berbagai kemajuan teknologi yang bisa diserap dan diaplikasikan untuk semua umur.
Tentunya, tidak semua perubahan karier dapat dilakukan cepat dan mudah. Motivasi tiap individu selalu berbeda, tidak bisa berasumsi satu pekerja ”jelita” cocok dengan semua profil di usia yang sama.
Untuk itu, intervensi demi membantu mengasah dan menepis stigma miring pada warga ”jelita” adalah menyediakan peluang sebanyak-banyaknya bagi kaum matang usia tersebut. Suatu perusahaan butuh mempertahankan juga merekrut pekerja ”jelita” sesuai keahlian dan motivasi terkuatnya.
Baca juga: Setelah Enam Dekade Jakarta Menjadi Ibu Kota Negara
Siapa pun penyedia kerja perlu meningkatkan keahlian pekerjanya seiring usia menanjak secara berkala. Ini seperti investasi dengan kepastian pengembalian modal dan keuntungan berlipat di masa depan.
Semua orang butuh memupuk rasa hormat atas kekuatan kaum berumur karena akan ada waktunya setiap individu berada di fase yang sama. Memberi ruang, kepercayaan, dan kebebasan kepada warga ”jelita” ke atas melakukan apa keahlian terbaiknya adalah langkah strategis untuk mempersiapkan diri ketika kelak berada di posisi yang sama.
Menjadi orang ”jelita” suatu keniscayaan. Mau terpuruk terjebak pada cap buruk masa tua nan suram atau mekar bersemi kedua kalinya menangkap peluang spektrum jalan karier di paruh kedua masa hidup? Pilihan ada di tangan kita.
Baca juga: Catatan Urban