Setengah Hati Mengelola Pendidikan
Dengan pengelolaan pendidikan yang terkesan setengah hati, masihkah kita berharap Indonesia Emas 2045 akan terwujud?
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah senantiasa mengelu-elukan ”Indonesia Emas 2045”. Namun, satu hal yang mesti kita pertanyakan adalah bagaimana cita-cita besar itu dapat tercapai?
Tentu, ada banyak hal yang mesti dikerjakan secara serius oleh pemerintah. Kualitas kesehatan masyarakat harus lebih baik, penegakan hukum tanpa pandang bulu, pembangunan infrastruktur yang menyeluruh, perbaikan kualitas demokrasi, dan banyak lagi.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia (baca: generasi muda) Indonesia yang unggul, terampil, dan berdaya saing. Dengan cara apa? Dengan menghadirkan pendidikan berkualitas tentunya.
Pemerintah harus memastikan bahwa kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri harus merata. Dikotomi pendidikan desa dan kota, terlebih antara Jawa dan luar Jawa, sudah harus diakhiri.
Baca juga: Mengatasi Stagnasi Kualitas Pendidikan Nasional
Karena harus diakui memang, hingga kini, mutu pendidikan di Jawa dan luar Jawa masih sangat jomplang. Tidak sulit membuktikannya. Sebutlah perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Berdasarkan rilis terbaru Time Higher Education (THE) tahun 2024 yang memeringkat sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, dari 20 perguruan tinggi terbaik, hanya empat perguruan tinggi yang berasal dari luar Jawa. Selebihnya (16 perguruan tinggi lagi) berada di Jawa.
Begitu pun sekolah terbaik di Indonesia segendang sepenarian dengan perguruan tinggi. Dalam daftar 100 sekolah terbaik yang pada 2022 dikeluarkan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LPMT) yang diukur berdasarkan hasil rata-rata Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), hanya 15 sekolah yang berasal dari luar Jawa. Fakta ini mengonfirmasi bahwa ada masalah besar dalam dunia pendidikan kita yang mesti segera diselesaikan.
Dikotomi pendidikan desa dan kota, terlebih antara Jawa dan luar Jawa, sudah harus diakhiri.
Sesungguhnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah diamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat 1). Namun, setidaknya hingga dua dekade setelah UU itu lahir, negara belum sepenuhnya mampu mewujudkannya, jika tidak ingin disebut gagal.
Setelah 20 tahun UU Sisdiknas diundangkan, semestinya sudah harus kelihatan perubahan besar pada wajah pendidikan Indonesia. Namun, hingga kini kesenjangan kualitas pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, dan jika diturunkan lagi, antara desa dan kota, masih terlihat begitu jelas. Di satu sisi, ada sekolah yang memiliki kualitas infrastruktur, guru, dan manajemen yang sangat baik, sementara di sisi lain ada sekolah yang hanya sekadar saja.
Untuk mengatasi ketimpangan itu, pemerintah lalu mengeluarkan kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Namun, lagi-lagi, kebijakan itu tidak dapat mengatasi persoalan yang sudah teramat pelik. Sebaliknya, kebijakan itu justru memunculkan berbagai permasalahan baru. Pemalsuan alamat domisili, misalnya. Ada lagi kasus cuci rapor, jual beli kursi, pungutan liar, hingga adanya calon siswa yang dititipkan oleh pihak-pihak tertentu.
Sistem zonasi dalam PPDB seharusnya ditempatkan paling akhir, bukan di awal. Sebab, apa pun ceritanya, ketika kualitas sekolah-sekolah belum setara, maka para orangtua, terlebih mereka yang memiliki kemampuan finansial yang baik, akan berusaha mencari sekolah terbaik bagi anak-anaknya. Maka, yang seharusnya pertama kali dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan kualitas seluruh sekolah di negeri ini sama.
Ketika seluruh sekolah berkualitas sama atau setidaknya tidak terdapat perbedaan yang begitu mencolok, barulah pemerintah menerapkan sistem zonasi. Dengan demikian, kita tidak akan lagi mendengar ada sekolah yang kekurangan murid dan sebaliknya, ada yang berlebih. Kita juga tidak akan lagi mendengar ada sekolah yang harus mendongkrak nilai rapor muridnya sekadar agar diterima di sekolah-sekolah negeri.
Baca juga: Menghentikan Efek Domino PPDB
Karena sesungguhnya, kasus cuci rapor yang terjadi di salah satu SMP di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu hanyalah merupakan fenomena puncak gunung es. Ada banyak sekolah, untuk tidak mengatakan hampir semua sekolah, melakukan praktik yang sama. Hal itu dilakukan karena jika tidak, akan ada banyak siswa yang tidak diterima di sekolah negeri, yang pada akhirnya, sekolah-sekolah itu akan mendapat cap buruk dari masyarakat.
Dengan demikian, yang terjadi saat ini, sekolah tidak lagi seutuhnya sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran atau menjadi tempat untuk menumbuhkan anak bangsa yang berkarakter baik. Bukan karena pihak sekolah tidak menyadari itu sebenarnya. Namun, sering kali mereka tidak mampu berbuat banyak karena mendapat tekanan yang cukup kuat tidak hanya dari orangtua murid, bahkan tidak jarang pula dari pemerintah sendiri.
Meniru sistem zonasi yang diterapkan di negara-negara yang pendidikannya sudah maju, katakanlah seperti Jepang atau Finlandia, bukanlah solusi terbaik. Sebab, baik Finlandia maupun Jepang tidak ujuk-ujuk menerapkan sistem zonasi. Mereka berproses cukup lama. Kalaupun harus meniru, pemerintah seharusnya melihat, mengamati, dan mempelajari secara mendalam bagaimana mereka mempersiapkannya secara matang dari hulu hingga hilir.
Kebijakan sistem zonasi dalam PPDB yang teramat kacau itu sebelas dua belas dengan ditetapkannya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional. Implementasi Kurikulum Merdeka penuh masalah. Namun, pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) seakan tutup mata dengan berbagai persoalan yang saat ini muncul di banyak sekolah, yang secara terpaksa menerapkan kurikulum baru itu.
Berdasarkan data terakhir yang dirilis Kemendikbudristek, jumlah SD-SMA/SMK yang menerapkan Kurikulum Merdeka telah mencapai 95 persen. Dan paling lambat pada tahun ajaran 2026/2027, seluruh sekolah tanpa terkecuali sudah harus mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah sekolah-sekolah tersebut siap dan benar-benar mampu menerapkannya? Atau, apakah sekolah-sekolah itu sekadar mendaftar saja sebagai peserta pelaksana Kurikulum Merdeka karena didesak oleh pihak-pihak tertentu? Seperti oleh dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota, misalnya, demi mengejar target daerah dengan 100 persen sekolah pengimplementasi Kurikulum Merdeka agar mendapat apresiasi, penghargaan, insentif, atau apalah namanya dari pemerintah pusat?
Kebijakan sistem zonasi dalam PPDB yang teramat kacau itu sebelas dua belas dengan ditetapkannya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional.
Sebab, yang terjadi saat ini adalah ada banyak guru yang mengira bahwa pergantian Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka hanya sebatas pergantian istilah saja. Kalau di Kurikulum 2013, misalnya, ada istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), di Kurikulum Merdeka menjadi Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP). Atau jika sebelumnya disebut Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berganti nama jadi modul ajar.
Selebihnya, seperti proses belajar mengajar di kelas, cara mendisiplinkan siswa, tata cara pelaksanaan berbagai macam ujian di sekolah, dan berbagai hal lainnya tetap saja sama seperti kebiasaan-kebiasaan lama. Pembelajaran yang menyenangkan dengan menyajikan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, sebagaimana tuntutan Kurikulum Merdeka, di banyak sekolah, masih sebatas jargon, belum menjadi sebuah budaya belajar.
Kenapa hal semacam itu bisa terjadi? Karena, Kurikulum Merdeka tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah. Kurikulum 2013 saja yang proses pengenalannya dilakukan secara berjenjang, dari pusat ke provinsi lalu ke kabupaten/kota dan seterusnya, tetap saja tidak semua guru mampu menerapkannya dengan baik. Konon lagi Kurikulum Merdeka yang sosialisasinya hanya lewat aplikasi, maka muncullah ”kekacauan” seperti yang saat ini terjadi.
Baca juga: Kurikulum Merdeka, Kurikulum Nasional, dan Pembelajaran Berdiferensiasi
Belakangan, memang, pemerintah daerah (pemda) turut melaksanakan berbagai pelatihan terhadap guru-guru di daerah. Namun, kebijakan itu kurang efektif. Itu karena para pelatih yang didatangkan oleh pemda bukanlah mereka yang benar-benar paham atau yang sebelumnya telah dilatih oleh Kemendikbudristek sebagai pembuat kurikulum. Dengan demikian, muncul pemahaman yang berbeda-beda antardaerah, antarsekolah, bahkan antarguru.
Jadi, jika saat ini pemerintah mengklaim bahwa sudah hampir 100 persen sekolah telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, itu hanya di atas kertas saja sebenarnya. Karena, praktiknya di lapangan, jauh panggang dari api. Betul, ada sekolah yang telah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka, tetapi jumlahnya tidak banyak.
Celakanya, sekolah-sekolah yang dianggap telah sukses melaksanakan kurikulum baru itu lalu diamplifikasi dan diglorifikasi secara berlebih-lebihan oleh Kemendikbudristek. Dengan demikian, kelihatannya, implementasi Kurikulum Merdeka berhasil. Namun, pada kenyataannya, tidaklah demikian. Berhasil hanya di sebagian kecil sekolah saja. Sementara di sebagian besar sekolah lainnya justru menimbulkan kebingungan dalam pengimplementasiannya.
Becermin dari berbagai persoalan pendidikan tersebut, dengan pengelolaan pendidikan yang terkesan setengah hati, masihkah kita berharap Indonesia Emas 2045 yang beberapa tahun terakhir digadang-gadang oleh pemerintah akan terwujud?
Hermanto Purba, Guru Bahasa Inggris di SMPN 2 Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utarea; Guru Penggerak Angkatan 4