Arah Baru Sekolah Penggerak
Program Sekolah Penggerak harus dimutakhirkan. Nyawa utamanya, pembelajaran berpusat pada murid, masih sederhana.
Setelah dimunculkan sebagai program besar, Sekolah Penggerak diharapkan tidak lagi sebatas berkembang pesat sendirian. Sekolah Penggerak sudah melampaui imajinasi kita tentang sekolah unggulan. Dalam hal ini, Sekolah Penggerak sudah harus sampai pada posisi sebagai lokomotif penggerak di regionalnya.
Namun, jika saja hasil seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri melalui jalur seleksi nasional berbasis prestasi (SNBP) dapat menjadi ukuran, jangankan menjadi unggulan, apalagi lokomotif, kualitas sekolah setelah berstatus menjadi penggerak justru menurun, bahkan beberapa turun drastis. Untuk itu, kiranya kita perlu berpikir ulang bahwa jangan-jangan program ini tidak bermanfaat.
Supaya obyektif meraba penyebab kegagalan program ini, kita boleh mengkhatam buku Implementasi Program Sekolah Penggerak: Masalah dan Tantangan. Dalam buku yang disusun Badan Keahlian DPR, Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara, tampak seabrek masalah yang dihadapi Sekolah Penggerak.
Baca juga: Lulusan Sekolah Penggerak yang Diterima di Jalur Prestasi PTN Merosot
Di sana, menurut studi yang dilakukan oleh Rahayu et al (2022), misalnya, salah satu kendala pada sejumlah Sekolah Penggerak adalah terbatasnya fasilitas dan infrastruktur, termasuk kurangnya ruang yang tersedia di sekolah untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek di luar ruang kelas.
Selain itu, tidak sesuai dengan nomenklaturnya, yaitu merdeka. Justru melalui program ini disebutkan bahwa beban kerja guru Sekolah Penggerak malah semakin meningkat karena disibukkan dengan pertanggungjawaban administratif (Salim, 2024).
Hal itu semakin diperparah karena guru di Sekolah Penggerak pun masih gamang dengan implementasi Kurikulum Merdeka. Betapa tidak? Penelitian Fitriyah dan Wardani (2022) menunjukkan bahwa pemahaman guru terhadap konteks atau isi dari Kurikulum Merdeka masih terbatas. Hal ini sejalan pula dengan temuan dari Zhir et al, (2022) tentang rapuhnya pemahaman fundamental kurikulum.
Kita curiga
Memang, secara teori, misi Program Sekolah Penggerak (PSP) sangat luar biasa. Ada empat sasaran PSP, yaitu hasil belajar di atas rata-rata, lingkungan belajar yang nyaman, pembelajaran berpusat pada siswa, serta refleksi dan pengimbasan. Keempat sasaran itu diharapkan bisa dicapai sekolah dengan berbagai tahapan per setiap sasarannya.
Tahapan pertama pada sasaran pertama, misalnya, calon Sekolah Penggerak masih diminta untuk bisa sebatas berada pada tiga atau empat tingkat di bawah harapan. Setelah ikut PSP setahun, setidaknya calon Sekolah Penggerak sudah berada satu sampai dua tingkat di bawah harapan.
Pada tahun ketiga, calon Sekolah Penggerak sudah berada pada harapan. Lalu, pada tahun keempat, calon Sekolah Penggerak sudah berada di atas level yang diharapkan. Demikianlah terus pada sasaran lainnya sehingga muara pembiayaan pendidikan nanti dibuat berdasarkan pada refleksi guru.
Guru lebih sibuk menonton video bimbingan teknis daring dan membuat aksi nyata daripada mendengar keluh kesah anak.
Namun, yang perlu kita refleksikan saat ini justru sebaliknya: apakah PSP ini tetap dilanjutkan atau tidak? Jika harus dilanjutkan, apa yang harus dipertajam? Hal ini menyusul pada menurunnya kualitas lulusan (khusus SMA dilihat dari jumlah siswa yang diterima di PTN melalui jalur undangan/SNBP). Meskipun memang, lulusan ke PTN tidak menjadi ukuran yang tepat.
Setakat dari itu, tujuan pendidikan pun bukanlah sesederhana lolos ke PTN. Kebahagiaan anak didik ketika belajar juga harus menjadi perhatian. Namun, kita curiga, jangan-jangan Sekolah Penggerak lebih banyak ice breaking daripada inti pembelajaran? Disebut demikian karena program penggerak memang selalu lebih terkenal dari ice breaking.
Akhirnya, dalam perumpamaan Batak, gumodang uramna sian dengkena (lebih banyak bumbu daripada ikan). Guru lebih banyak membuat konten dan administrasi daripada mengajar di kelas. Guru lebih sibuk menonton video bimbingan teknis daring dan membuat aksi nyata daripada mendengar keluh kesah anak.
Kalau sampai demikian adanya, tentu masuk akal mengapa kualitas lulusan PSP menurun jika dilihat dari jumlah siswa yang diterima di PTN melalui jalur undangan. Walau begitu, kita percaya bahwa kualitas lulusan PSP tidak menurun, apalagi menurun secara drastis. Penurunan ini barangkali adalah miskomunikasi antara PTN dengan Sekolah Penggerak.
Namun, bagaimanapun, hal ini menjadi bukti bahwa komunikasi di internal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun belum tuntas. Karena itu, lulusan dari Sekolah Penggerak tidak dianggap istimewa, malah malaadministrasi oleh PTN. Setidaknya, setelah ada protes dari komunitas Sekolah Penggerak, barangkali beberapa PTN akan melakukan pertimbangan.
Namun, kenyataan ini tetap menjadi bukti bahwa PSP tidak digarap dengan komunikasi yang baik. Padahal, agaknya Kemendikbudristek disebut akan serius melakukan intervensi secara holistik (sumber daya manusia sekolah, pembelajaran, perencanaan, dan digitalisasi). Sekolah Penggerak dibuat menjadi sangat istimewa. Keistimewaan itu membuat kepala sekolah tak bisa diganti minimal selama tiga tahun.
Faktanya, dalam diskusi grup terpumpun (focus group discussion/FGD) Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian DPR bertajuk ”Implementasi 3 Tahun Sekolah Penggerak: Masalah dan Tantangan” terungkap bahwa beberapa kepala sekolah masih diganti oleh kepala daerah (16 Mei 2024).
Baca juga: Otonomi Sekolah dan Fleksibilitas dalam Program Sekolah Penggerak
Kenyataan itu semakin membuktikan bahwa Kemendikbudristek juga tidak berwibawa di hadapan daerah sehingga tujuan PSP tidak tercapai. Hal itu tentu tak bisa dianggap sepele karena dana yang dikucurkan sudah sangat melimpah.
Jika dikembalikan pada tujuan awal bahwa Sekolah Penggerak akan menjadi lokomotif di regional, program ini tentu semakin kelihatan kegagalannya. Betapa tidak? Sekolah Penggerak belum bisa mengembangkan diri, apalagi mentransformasikan pendidikan. Padahal, Sekolah Penggerak sempat menjadi salah satu status kebanggaan. Sekolah ini akan menggerakkan gerbong besar pendidikan.
Kita tak menampik, mengurusi pendidikan di negara ini sangat berat. Mengurusi pendidikan berarti harus berhadapan dengan 52 juta siswa, 3,3 juta guru, dan 2,3 juta tenaga kependidikan, serta lebih dari 400.000 satuan pendidikan. Jadi, pilihan agar ada motor penggerak di regional sangat masuk akal.
Kita juga melihat bahwa target supaya pada 2024 diharapkan sudah ada 40.000 Sekolah Penggerak (10 persen) untuk menjadi duta pemerintah di daerah sangat relevan. Namun, hilirisasi program ini tidak seindah yang diharapkan. Miskomunikasi di internal Kemendikbudristek masih terjadi sehingga jumlah lulusan ke PTN merosot.
Transformasi pendidikan
Wibawa Kemendikbudristek di mata pemerintah daerah pun belum kuat sehingga MoU agar kepala Sekolah Penggerak tidak dimutasi, apalagi diberhentikan, pun tidak diindahkan. Padahal, yang membuat status sekolah tersebut menjadi penggerak adalah kepala sekolah terlebih dahulu. Mengganti kepala sekolah sedikit banyak tentu akan memengaruhi tujuan dari target sebelumnya.
Dalam hal ini, kita mendapat catatan penting supaya Kemendikbudristek menuntaskan komunikasi di internal sekaligus menguatkan wibawa di hadapan pemerintah daerah. Selain itu, Kemendikbudristek juga harus memastikan bahwa muatan program jangan kebanyakan bumbu daripada ikannya.
Singkatnya, PSP ini harus dimutakhirkan. Nyawa utamanya, yaitu pembelajaran yang berpusat pada murid, masih terlalu sederhana. Perlu lompatan kuantum agar pembelajaran berfokus pada tuntutan zaman sehingga pola pendidikan tak lagi mengarusutama pada knowledge daripada skill. Toh, pasar sudah mereaksi bahwa skill lebih penting daripada knowledge, pengalaman daripada pengetahuan.
Baca juga: Penggerak Elitis
Google dan Tesla, misalnya, sudah terang-terangan mengakui bahwa mereka tak akan melihat calon karyawan dari almamater. Pelan-pelan, langkah besar dari Google dan Tesla akan ditiru oleh perusahaan besar lainnya.
Intinya, sistem pendidikan harus menjadi yang terdepan untuk membekali peserta didik. Ini menjadi pikiran kita bersama, tentu saja. Sebab, mengutip Yuval Noah Harari, kita tidak tahu bakal seperti apa pasar kerja pada 2030 atau 2040. Berita buruknya, kita juga tak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kita.
Artinya, metode pembelajaran berpusat pada siswa nyata-nyata sudah tidak relevan lagi, apalagi berpusat pada guru. Dalam hal ini, jika nyawa PSP masih seperti saat ini, program ini akan sangat kontraproduktif. Untuk itu, perlu arah baru supaya program ini mampu mencapai tujuan awalnya: transformasi pendidikan!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Koordinator P2G Humbang Hasundutan; Guru Penggerak Humbang Hasundutan