Tiga isu ketatanegaraan jadi sorotan: revitalisasi DPA, batas jumlah kementerian, dan reduksi kewenangan Ombudsman RI.
Oleh
ADAM SETIAWAN
·3 menit baca
Akhir-akhir ini sorotan publik mengarah tajam pada isu penataan kelembagaan di tengah masa transisi kepemimpinan presiden. Isu penataan kelembagaan dan fungsionalisasinya telah menjadi diskursus lawas para ahli.
Paling tidak secara aktual ada tiga isu yang dapat dikomentari dari perspektif ketatanegaraan. Pertama, wacana merevitalisasi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Kedua, menambah jatah jumlah kementerian menyesuaikan kebutuhan presiden. Adapun isu ketiga, mereduksi kewenangan Ombudsman RI sebagai pengawas pelayanan publik.
Ketiga isu ini berkaitan erat dengan eksistensi presiden sebagai kepala eksekutif. Anehnya, ketiga draf revisi undang-undang itu diinisiasi oleh DPR.
Tanpa disadari, ketiga isu ini berkaitan erat dengan eksistensi presiden sebagai kepala eksekutif. Anehnya, ketiga draf revisi undang-undang itu diinisiasi oleh DPR. Draf revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menimbulkan tanda tanya. Beberapa pasal dinilai tidak memiliki urgensi dan relevansi.
Misalnya, Pasal 1 Angka 1 yang mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden menjadi DPA. Tentu hal itu memicu kontroversi mengingat Perubahan UUD 1945 tidak lagi mencantumkan DPA.
Artinya, jika ada perubahan nomenklatur kelembagaan yang diubah dengan UU yang berbeda dengan norma UUD tentu menimbulkan konsekuensi konflik norma vertikal.
Sejujurnya, eksistensi Wantimpres dan DPA ditinjau dari aspek fungsional tidaklah signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga keberadaannya patut dipertanyakan.
Pakar hukum tata negara, Harun Al Rasid, dalam tulisan kolomnya 26 tahun lalu pernah mengatakan, DPA hanya sebagai penampungan bagi para pejabat dan politikus yang berjasa (een onderdak voor verdienste ambtenaren en politici).
Pendapat itu sesuai dengan situasi saat ini. Tertangkap intensi membentuk DPA untuk menempatkan pemimpin sebelumnya dalam satu wadah. Ini diafirmasi dengan hilangnya ketentuan larangan rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik sehingga berpotensi timbul konflik kepentingan.
Mengubah Wantimpres menjadi DPA tidak memiliki urgensi dan relevansi.
Oleh karena itu, mengubah Wantimpres menjadi DPA tidak memiliki urgensi dan relevansi. Bahkan, dalam kenyataannya tidak efisien karena menghabiskan anggaran yang sejatinya bisa digunakan untuk hal lebih urgen, seperti pembangunan sumber daya manusia.
Terlebih lagi, dalam draf revisi ada perubahan status fungsionaris anggota DPA menjadi pejabat negara. Padahal, merujuk UU Aparatur Sipil Negara pada klasifikasi pejabat negara, anggota Wantimpres tidak termasuk di situ. Perubahan status itu memunculkan konsekuensi teknis, seperti gaji dan uang pensiunan yang nantinya akan memakan anggaran negara.
Politik balas budi
Isu kedua yang jadi sorotan adalah draf revisi UU Kementerian Negara. Revisi ini mengubah substansi Pasal 15 yang awalnya membatasi jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 diubah menyesuaikan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Padahal, Pasal 15 UU Kementerian Negara jadi bentuk upaya reformasi birokrasi dengan jumlah kementerian tidak melebihi batasan dan diharapkan terjadi pengurangan.
Kondisi faktual kini menunjukkan terjadi distribusi jabatan sebagai politik balas budi sehingga rasional jika mengubah substansi Pasal 15 dengan tidak membatasi hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet dan kementeriannya.
Kondisi faktual kini menunjukkan terjadi distribusi jabatan sebagai politik balas budi.
Akan tetapi, perlu ada upaya check and balances. Misalnya, dengan mendelegasikan kewenangan kepada DPR atau DPD untuk memberi persetujuan saat pengangkatan menteri, tidak hanya saat pembentukan, pengubahan, atau pembubaran kementerian.
Asumsinya, jika ada kebebasan dalam pengangkatan menteri dan pembentukan kementerian perlu ada filterisasi terhadap proses itu dengan mengedepankan meritokrasi. Karena peran dan kinerja menteri berdampak langsung pada masyarakat, formasi menteri harus diduduki oleh orang yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik.
Isu ketiga terkait pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilaksanakan pemerintah. Secara yuridis, kewenangan melakukan pengawasan pelayanan publik ada pada Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
ORI dapat melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Namun, merujuk draf revisi kewenangan ORI, investigasi atas prakarsa sendiri telah dihapus. ORI tidak dapat lagi bertindak secara proaktif, hanya bisa bertindak jika ada laporan dugaan malaadministrasi.
Padahal, sebagian besar kinerja ORI dalam pengawasan mengeluarkan produk rekomendasi lahir dari inisiatif ORI melakukan investigasi terhadap dugaan malaadministrasi. Karena kurangnya informasi yang diterima publik, kinerja ORI masih dinilai kurang efektif.
Dapat dibayangkan, peran ORI makin lama akan makin redup hingga akhirnya dibubarkan karena eksistensi dan kinerjanya tidak signifikan. DPR sebagai inisiator perubahan perlu menyadari bahwa ORI merupakan lembaga yang perlu dikonsolidasi dalam melakukan pengawasan, bukan sebaliknya.