Kebijakan Pendidikan yang Membingungkan
Dalam memutuskan kebijakan, sebaiknya Kemendikbudristek melakukan kajian dan dialog dengan guru-guru, sekolah.
Hilangnya penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA hanyalah satu dari beberapa kebijakan yang menimbulkan keresahan, kegundahan, kegelisahan di level akar rumput. Baik guru maupun pihak sekolah tak bisa berkata-kata selain sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami laksanakan. Sungguh ironis.
Kegelisahan guru
Terkait penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dengan tidak adanya lagi peminatan di Kelas X, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengklaim itu untuk menghapus diskriminasi antaranak IPA dan anak IPS misalnya. Ini sekaligus mendorong eksplorasi bakat minat dan aspirasi karier.
Mesti diakui, niat Kemendikbudristek ini baik karena memberikan keleluasaan kepada setiap anak untuk memilih sedini mungkin dan memoles bakat minat sedini mungkin adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap HAM (hak asasi murid). Namun, ada beberapa pertanyaan mendasar untuk Kemendikbudristek terkait hal ini.
Baca juga: Tidak Ada Lagi Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA
Pertama, apa Mas Nadiem dan jajarannya sudah mengkaji betul dampak dengan munculnya kebijakan tersebut, terutama bagi guru-guru yang tengah berjuang, berupaya memenuhi jam untuk terus menghidupkan asa dapur mengepul lewat tunjangan sertifikasi? Kedua, apakah dengan penghapusan jurusan tersebut, lantas menjamin anak-anak bisa lebih fleksibel dalam memoles bakat minat terpendamnya, atau justru membuat arah pendidikan semakin karut-marut tidak jelas ke mana muaranya?
Saat pengantaran mahasiswa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) II, ada beberapa wakil kepala sekolah/madrasah yang curhat terkait kebijakan penghapusan jurusan ini, yang membuat semakin pusing, gelisah terutama pihak sekolah yang sudah menjaga reputasi lembaganya. IPA, IPS, Bahasa, dan mungkin agama menjadi salah satu preferensi sekaligus referensi anak dan orangtuanya dalam memilih sekolah. Oh di sekolah A, anak-anak IPA-nya bagus, oh di sekolah B anak-anak IPS-nya bagus.
Kalau memang mau memoles bakat minat anak, saat masuk kuliah pun akan lebih fokus dan terarah, itu pun juga belum tentu memberikan garansi, si anak yang mengambil prodi teknik, bisa jadi juga kerja di bank. Jadi, tidak mesti menghilangkan jurusan jika ingin memanusiakan manusia, curhat beberapa wakil kepala sekolah bidang kurikulum kepada penulis. Lagi pula ada SMK, vokasi, di mana anak yang memang memiliki minat (passion) di jurusan tertentu bisa memilih jalur sekolah keahlian.
Apa Mas Nadiem dan jajarannya sudah mengkaji betul dampak dengan munculnya kebijakan tersebut, terutama bagi guru-guru?
Tak perlu menghapus jurusan dengan dalih memerdekakan anak. Bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya, anak kehilangan touch belajar dan peminatan sejak awal masuk. Peminatan saat awal masuk SMA juga tidak paksaan, mereka bebas masuk minat yang mana sesuai dengan potretan hasil belajar.
Jadi, sebaiknya pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek bisa lebih arif dan bijak dalam memutuskan suatu kebijakan, sebaiknya ada kajian dan dialog dengan pihak terbawah akar rumput, guru-guru, sekolah, agar mereka tidak kebingungan dan kelimpungan mesti berdaptasi dengan kebijakan baru yang mungkin saja memang bagus, tetapi perlu proses, tidak instan.
Minim pendidikan karakter
Selain penghapusan jurusan di jenjang SMA, era Kurikulum Merdeka dengan banyaknya program, baik itu penguatan literasi numerasi, hingga Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) memang idenya brilian, tetapi minim di eksekusi dan benefit yang dihasilkan.
Di program P5, misalnya, sebagai subtitusi, pengganti program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), memang didesain untuk mengeksplorasi sense anak terhadap sekitar yang bisa memupuk karakter dan jiwa pancasilais yang diperlukan di era global. Namun, minimnya waktu yang tersedia, terkadang membuat sekolah kelimpungan.
Kalau ingin membentuk karakter moral etika sedini mungkin anak perlu keteladanan dan pembiasaan. Itu sifatnya tak berhingga dan tak terbatas oleh waktu.
Baca juga: Penghapusan Jurusan di SMA dan Mewujudkan Murid Berdaya
Terkadang, yang sudah diberikan keteladanan dan pembiasaan karakter baik oleh guru dan kepala sekolah saja, anak masih berpotensi ambyar karakter baiknya karena dipengaruhi faktor luar yang menggempur. Apalagi kalau sangat minim waktu untuk sekadar mengerjakan proyek.
Di satu sisi hal itu bagus untuk membuat anak didik kreatif, kritis, mandiri, dan semakin memoles rasa ingin tahunya. Namun, ada sisi lain yang tergadaikan, yaitu pendidikan karakter yang semakin minim dan semakin tipis. Apalagi semenjak Kemendikbudkistek tak lagi mewajibkan kegiatan Pramuka, ketika dibuka opsi tidak wajib, akan semakin sedikit kegiatan yang bisa membiasakan, meneladankan pendidikan karakter anak sejak dini.
Sudahkah merdeka?
Ada satu pertanyaan bagi kita semua yang concern di dunia pendidikan, apakah di era Kurikulum Merdeka ini, baik guru maupun muridnya benar-benar merdeka? Pertama, untuk guru. Penulis juga mendapat curhatan dari salah seorang kepala SMP yang risau, dengan kondisi guru-guru waktunya tersita untuk urusan administrasi ini itu, sehingga menyita waktu untuk membersamai siswa belajar.
Belum lagi model modul ajar sebagai pengganti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bagus iya, tetapi guru masih perlu beradaptasi untuk menyusun modul ajar yang merepresentasikan kebutuhan dan kesiapan belajar siswa. Mulai dari menyusun program tahunan, semester, hingga silabus, dan RPP. Di mana era Kurikulum Merdeka, berubah menjadi Capaian Pembelajaran (CP), Tujuan Pembelajaran (TP), Acuan Tujuan Pembelajaran (ATP), dan Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), yang semua itu ada pada pembelajaran berdiferensiasi ala Kurikulum Merdeka.
Satu hal yang membuat pola pikir (mindset) guru-guru kita cenderung menganggap sulit dan pembelajaran berdiferensiasi adalah karena berbeda pemahaman antara apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang diterjemahkan oleh para guru di lapangan. Bisa jadi ”kegagalan” pendidikan (kurikulum) kita selama ini, sering kali disebabkan adanya kesenjangan pemahaman antara penggagas kurikulum dan pelaksana kurikulum di sekolah.
Kedua, untuk siswa. Merdeka Belajar dengan Kurikulum Merdeka-nya, yang kini perlahan bertransformasi menjadi Kurikulum Nasional. Memang betul, peserta didik alias siswa ataupun murid diberikan keleluasaan untuk belajar sesuai dengan minat, kesiapan, dan gaya belajarnya. Dan semua itu bisa diukur dalam tiga capaian hasil belajar, baik dari kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Baca juga: ”Pedagogi Perjumpaan” dalam Kurikulum Merdeka
Benar bahwa hadirnya program P5 sebagai pengganti PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) sedikit banyak memberikan sentuhan positif karakter anak didik baik itu dari sisi gaya hidup, mencintai kearifan lokal, kebiasaan berdemokrasi, sampai memupuk semangat bangun jiwa dan raga semua adalah baik.
Namun, ada satu bom waktu yang bisa setiap saat meledak, yaitu soal perundungan (bullying). Yang juga menjadi tren saat ini di kalangan peserta didik kerap kali terjadi saling mengumpat, saling mengolok, atau kita kenal dengan istilah perundungan. Apa pun bentuknya, ketika ada satu pihak atau saling mem-bully berarti di situlah kemerdekaan anak terenggut.
Akhirnya, kita berharap pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek bisa lebih bijak dalam menentukan kebijakan, jangan sekadar meninggalkan sejibun kebijakan baru yang menimbulkan polemik dan kegelisahan di akar rumput, guru, siswa, yang sesungguhnya tersandera dalam label Kurikulum Merdeka. Semoga.
Muh Fajaruddin Atsnan, Dosen UIN Antasari Banjarmasin