Keterpilihan dan Kapabilitas Calon Gubernur
Informasi tentang kapabilitas calon gubernur sangat diperlukan untuk menghindari bias realitas.
Menjelang dilangsungkannya pemilihan kepala daerah serentak, fokus publik banyak terarah pada sejumlah hasil survei calon pemimpin daerah, khususnya calon gubernur. Sayangnya, survei-survei tersebut jarang sekali yang membahas kapabilitas calon gubernur.
Mungkin, figur yang disukai publik dan kemudian dipilih belum tentu mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin daerah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dengan tidak memasukkan instrumen pertanyaan terkait kapabilitas calon gubernur, sesungguhnya perancang survei secara sadar telah membawa pada kemungkinan kesimpulan yang bias realitas. Pemilih—dan juga responden—dibawa kepada logika yang melompat.
Hasil survei bisa jadi valid, tetapi kurang proper. Dan, apabila ini terjadi, biaya sosialnya akan lebih besar.
Kesukaan dan keterpilihan adalah persepsi atas suatu alternatif. Keduanya dihubungkan oleh persepsi lain, yakni kemanfaatan. Nalarnya semakin bermanfaat, pemilih akan semakin suka, dan karenanya probabilitas calon gubernur dipilih semakin besar.
Dengan membandingkan tingkat kemanfaatan alternatif pilihan, pemilih mempunyai kesempatan menimbang alternatif mana yang lebih disukai, dan baru kemudian memutuskan pilihan. Itulah dasar berpikir teori pilihan ekspektasi rasional (expected utility theory; Von Neumann dan Morgenstern, 1944).
Baca juga: Petahana Masih Jadi Perhatian Pemilih di Pilkada 2024
Teori ini juga mengandaikan pemilih mempunyai informasi yang lengkap atas pilihan yang tersedia. Faktanya, tidak semua pemilih, bahkan hampir semua pemilih, tidak mempunyai informasi lengkap atas pilihan yang disediakan.
Artinya, para pemilih berada pada kondisi pilihan rasional yang terbatasi atau bounded rationality (Herbert Simon, 1947). Oleh karena itu, diperlukan informasi yang semakin lengkap terkait calon gubernur agar pilihan rasional tersebut semakin tidak bias realitas. Perilaku pemilih sangat ditentukan kondisi yang terbatasi tersebut.
Dalam konteks pilihan calon gubernur, pemilih diandaikan memahami bahwa calon gubernur pilihan mereka akan memberi manfaat terbaik dalam menyediakan layanan publik yang dibutuhkan. Kebermanfaatan direpresentasikan kemampuan calon gubernur dalam menyediakan layanan publik.
Oleh karena itu, informasi tentang kapabilitas calon gubernur sangat diperlukan untuk menghindari logika melompat tadi, sekaligus memberi kesempatan pemilih melakukan pilihan yang lebih rasional, dan mengurangi kemungkinan pilihan bias realitas.
Berbeda antarprovinsi
Dengan mendasarkan pada cara berpikir bounded rationality, dan mengacu pada beberapa hasil survei, khususnya survei Litbang Kompas, saya mengelompokkan ke dalam dua kluster provinsi yang banyak diperbincangkan publik.
Pengelompokan ini mendasarkan pada figur-figur calon yang masuk dalam survei atau banyak diperbicangkan publik.
Pertama, kluster Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Jakarta. Kedua, kluster Provinsi Jawa Tengah, Banten, dan Sumatera Utara.
Hasil survei keterpilihan calon pada kluster pertama tidak terlalu mengejutkan, bahkan tidak terlalu menarik diperbincangkan, kecuali Daerah Khusus Jakarta. Di Jawa Timur dan Jawa Barat, calon gubernur yang muncul dan relatif angka keterpilihannya tinggi adalah calon petahana.
Masalah bounded rationality relatif kecil mengingat calon-calon yang muncul adalah calon petahana; Khofifah di Jawa Timur dan Ridwan Kamil di Jawa Barat sudah melakukan tata kelola pemerintahan di wilayah pemilihan pada periode sebelumnya.
Mereka tidak hanya dikenal, tetapi juga sudah punya pengalaman dan ada bukti-bukti apa yang telah mereka kerjakan untuk wilayah pemilihan.
Jika kemudian muncul pesaing, kualifikasinya pasti akan dicarikan yang setara untuk mengimbangi tingkat keterpilihan calon petahana.
Keterkenalan bukanlah faktor fundamental dibandingkan kemanfaatan.
Kondisi agak khusus di Daerah Khusus Jakarta karena dua calon terkuat sama-sama petahana dan keduanya membawa fakta historis pernah bertarung pada forum sama tahun 2017.
Tentang kapabilitas calon, para pemilih sudah sangat mengetahui walaupun tanpa ditanya dalam survei. Demografi pemilih di DKI Jakarta relatif mempunyai kapabilitas kognitif yang baik di antara provinsi lain. Dalam situasi demikian, memori dan nilai-nilai subyektif pemilihnya yang akan sangat menentukan.
Kekeliruan-kekeliruan kecil yang bersifat subyektif akan sangat memengaruhi preferensi pilihan para pemilih.
Pada kluster kedua, hanya di Sumatera Utara yang belum banyak dilakukan survei walau tetap menjadi perbincangan publik, terutama karena calon yang muncul ada nama Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kluster ini menarik karena di Jawa Tengah dan Banten tidak ada calon petahana. Sementara di Sumatera Utara, selain Bobby Nasution, masih ada calon petahana yang kemungkinan bertarung. Di antara tiga provinsi ini, yang pasti paling menarik adalah Jawa Tengah.
Di Banten dan Sumatera Utara, nama calon yang muncul di survei atau menjadi perbincangan publik adalah nama-nama yang sudah dikenal, dan sebagian mempunyai pengalaman mengelola wilayah kabupaten atau kota.
Ilustrasi
Di Jawa Tengah, nama yang muncul di survei dan mendapat urutan atas adalah figur yang dikenal; Kaesang Pangarep, anak Jokowi; Ahmad Luthfi (mantan Kapolda Jawa Tengah); Taj Yasin (mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah); serta beberapa nama lainnya dengan elektabilitas lebih rendah.
Nama-nama yang muncul adalah figur yang dikenal publik saat ini. Elektabilitas hasil survei tersebut mengonfirmasi tingkat keterkenalan figur-figur yang muncul. Semakin terkenal seorang figur, semakin tinggi kesukaan akan figur tersebut apabila tidak ada informasi lain yang lebih lengkap.
Tidak seperti pemilih di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Jakarta yang mungkin tidak perlu bertanya pengalaman para calon; di Jawa Tengah, Banten, dan juga Sumatera Utara kebutuhan informasi terkait pengalaman dan kapabilitas calon dalam mengelola wilayah sangat diperlukan.
Kontribusi lembaga survei
Keterkenalan bukanlah faktor fundamental dibandingkan kemanfaatan. Keterkenalan perlu, tetapi pasti tidak cukup sebagai syarat untuk mendapatkan pemimpin yang dibutuhkan sesuai dengan konteks masyarakatnya.
Dalam pemasaran ada adagium, keterkenalan lebih penting dari kemanfaatan, jika tujuannya sekadar produknya laku. Jika adagium itu benar, pasti itu paradigma yang sudah ketinggalan zaman.
Waktu kita masih cukup sebelum pilkada dilangsungkan. Survei sebagai suatu instrumen untuk membangun kecerdasan publik sangat diperlukan kontribusinya.
Kita berharap survei-survei elektabilitas calon pemimpin wilayah juga menyajikan informasi tentang preferensi pemilih terkait dengan kapabilitas calon-calon yang akan berkontestasi. Ini sangat diperlukan, baik untuk memberikan sinyal-sinyal yang memadai terkait kualitas calon maupun sekaligus meningkatkan kapabilitas kognitif publik pemilih agar mampu memutuskan pilihan mereka secara rasional.
FX Sugiyanto,Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro