Kelas Menengah: dari Zona Nyaman ke Zona Makan
Rumitnya perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, melainkan juga soal kualitas.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Taksi yang saya tumpangi bergerak maju. Namun, tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dari sisi kanan, melanggar lampu lintas. Sopir taksi yang saya tumpangi menginjak pedal rem, membunyikan klakson, berteriak memaki.
Jakarta memang bukan kota yang ramah untuk pengemudi yang sopan. Hujan yang turun sore itu, membuat lalu lintas semakin kacau. Jakarta memang seperti catatan tentang kesemrawutan. Namun, di sanalah kita tahu bahwa kehidupan terus bergerak.
Pagi dimulai dari tukang roti yang berjualan, dari tukang sayur di pasar tumpah pinggir jalan, pelacur yang pulang dari kelab malam, gerobak dorong di depan gedung yang megah. Jakarta memang semrawut. Tapi karena itu ia berwarna. Ia punya jiwa. Saya mencoba menenangkan si pengemudi taksi.
Baca juga: Mengenal Wajah Kelas Menengah Indonesia
Wawan namanya. Menilik dari wajahnya, ia mungkin berasal dari generasi milenial. Anaknya dua: yang paling tua baru masuk SMA, dan satu lagi di kelas enam sekolah dasar. Jika beruntung, ia bisa membawa pulang Rp 6 juta-Rp 7 juta per bulan. Apakah cukup? Jawabannya klasik, ”Ya dicukup-cukupin Pak. Yang pasti, nabung susah.”
Wawan mungkin gambaran dari apa yang dikategorikan Bank Dunia sebagai “kelas menengah” di Indonesia. Apa yang disampaikan Wawan saya kira benar. Laporan harian Kompas (25/2/ 2024) mengonfirmasi episode ini.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia, Bergaji Terbatas dan Banyak Masalah
Perlindungan sosial kelas menengah
Menjadi kelas menengah di Indonesia memang tak mudah. Instrumen perlindungan sosial tak memadai. Data enam bulan terakhir bicara daya beli kelompok menengah bawah yang tergerus.
Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan porsi pengeluaran untuk groceries (bahan makanan) meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran. Hukum Engel mengajarkan: semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya.
Dan sebaliknya. Mudahnya begini: jika pendapatan kita turun, orang akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan. Jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat. Itu sebabnya, kenaikan porsi makanan dalam total belanja, mencerminkan menurunnya daya beli.
Office of Chief Economist Bank Mandiri juga menunjukkan adanya fenomena “mantab” atau makan tabungan pada kelompok menengah bawah. Penjualan mobil mengalami penurunan, sementara penjualan motor naik. Pembelian mobil baru menurun. Orang membeli mobil bekas, atau bahkan pindah ke sepeda motor. Rangkaian data ini seperti datang dengan pesan: daya beli kelas menengah bawah memang tergerus.
Di harian ini saya pernah menyampaikan kekhawatiran saya soal ”Kelas Menengah dan Chilean Paradox” (28/12/2023). Saat itu, saya berharap, saya salah. Sayangnya, data Susenas mendukung kekhawatiran saya.
Tengok angka-angka ini. Tahun 2003, persentase penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori kelas menengah tercatat 5 persen; Aspiring Middle Class/AMC (calon kelas menengah) 42 persen vulnerable (rentan miskin) 35 persen; dan penduduk miskin 17 persen.
Baca juga: Kelas Menengah Sedang dalam Perubahan
Bank Dunia mendefinisikan ”kelas menengah” sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) yang berada dalam kisar- an 3,5-17 kali di atas garis kemiskinan.
Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, maka mereka dengan pengeluaran sekitar Rp 1,9 juta -Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau sekitar Rp 825.0000-Rp 1,9 juta; untuk rentan miskin: kelompok pengeluaran 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan. Kita tentu bisa berdebat soal definisi ini. Namun, saya tidak akan membahas itu. Yang ingin saya bahas: apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi, membawa kita ”naik kelas”?
Pertumbuhan ekonomi memang mendorong meningkatnya persentase kelas menengah. Tahun 2018, kelas menengah meningkat menjadi 23 persen, AMC 47 persen; kelompok rentan (vulnerable) turun menjadi 20 persen dan penduduk miskin turun menjadi 11 persen.
Yang menarik dicatat: pertumbuhan kelas menengah dan penurunan kelompok rentan yang paling cepat, terjadi dalam periode 2003-2014, di mana porsi kelas menengah terhadap total penduduk meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu 11 tahun. Itu sebabnya, kita melihat gaya hidup berubah. Makanan tak lagi sekadar kebutuhan pokok, ia mulai masuk menjadi wisata.
Orang mengunjungi kafe, menikmati kopi sembari duduk di pinggir jendela, untuk melihat dan dilihat (seen and being seen). Orang mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai kelas menengah. Lalu kita bicara tentang impian Indonesia Emas. Sayangnya, perkembangan setelah 2018 tak sepenuhnya cerah.
Tahun 2019, persentase kelas menengah malah turun menjadi 21 persen. Sebaliknya, AMC meningkat menjadi 48 persen. Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17 persen; AMC naik menjadi 49 persen; kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen. Artinya; sejak 2019, sebagian dari kelas menengah “turun kelas” menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan.
Dugaan awal saya: pandemi Covid-19-lah tertuduh utamanya. Namun, tak cukup bukti untuk sepenuhnya menyalahkan pandemi. Benar bahwa pandemi telah memperburuk situasi, namun fenomena “turun kelas” ini sudah terjadi tahun 2019. Sebelum ada Covid-19.
Instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah memang perlu dipikirkan.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya? Mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, seperti dalam tulisan saya bersama Rema Hanna (Harvard University) dan Benjamin Olken (MIT) di harian ini (22-24/4/2020) kami menganjurkan perlunya perluasan perlindungan sosial, bukan hanya untuk kelompok miskin.
Rumitnya perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, namun juga soal kualitas. Kelas menengah akan menuntut birokrasi yang baik, kualitas jasa publik yang baik, kualitas pendidikan yang baik dan kualitas kesehatan yang lebih baik, juga keadilan dan demokrasi. No viral no justice. Dan ini punya dampak ekonomi politik.
”Middle class job”
Kedua, perlindungan sosial saja tak cukup. Kelas menengah bawah perlu mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang memadai. Ekonom Maria Monica Wihardja (ISEAS) dan Wendy Cunningham (2021) dalam risalahnya, “Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia” menunjukkan pekerjaan di sektor formal, pariwisata dan industri manufaktur menawarkan tingkat upah lebih tinggi dibanding sektor pertanian atau sektor jasa yang bernilai tambah rendah.
Studi itu menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur memberikan kontribusi 27 persen pada kenaikan “pekerjaan kelas menengah.” Kontribusi ini terutama berasal dari perusahaan manufaktur berskala besar dan menengah.
Pekerjaan di sektor formal memberikan kontribusi hampir 75 persen dari kenaikan porsi “pekerjaan kelas menengah”. Investasi di sektor pariwisata, industri kreatif, juga punya potensi menciptakan middle class job. Oleh karena itu penting sekali untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal, pariwisata, industri kreatif dan industri manufaktur yang padat karya, seperti garmen, tekstil, sepatu, dan sebagainya.
Sayangnya, ekonomi biaya tinggi menjadi halangan. Kita tahu, industri manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor sangat kompetitif. Mereka tak bisa menentukan harga pasar global (price taker). Akibatnya beban ekonomi biaya tinggi, seperti korupsi, proses izin yang lambat dan mahal, tidak dapat dibebankan kepada konsumen.
Jika dibebankan kepada konsumen, maka konsumen akan memilih produk dari negara lain yang lebih murah. Implikasinya, margin keuntungan mengecil. Tak ada insentif untuk melakukan inovasi atau menambah investasi. Sebaliknya, sektor sumber daya alam (SDA) di mana —untuk beberapa produk— Indonesia adalah produsen utama, mereka dapat menentukan harga (price setter).
Sebagai price setter, beban dari ekonomi biaya tinggi dapat dibebankan kepada konsumen, karena konsumen tak punya banyak pilihan. Akibatnya margin keuntungan bisa relatif besar. Sektor SDA “relatif mampu membiayai ekonomi biaya tinggi”. Itu sebabnya investor meninggalkan sektor manufaktur dan masuk ke SDA, ketika ekonomi biaya tinggi terjadi. Sayangnya SDA ini bersifat padat modal. Tak banyak menciptakan lapangan kerja. Kontribusinya terhadap penciptaan “middle class job” terbatas.
Data BPS menunjukkan, peningkatan penganggur muda justru terjadi di kelompok tamatan SMK.
Ketiga, pasar domestik Indonesia memang besar, namun daya belinya terbatas. Karena itu kita tak bisa hanya fokus pada pasar domestik. Indonesia harus menjadi basis produksi untuk pasar global, seperti Vietnam.
Data Bank Dunia (2022) menunjukkan: rasio Penanaman Modal Asing/ PMA (net inflows) terhadap produk domestik bruto (PDB) Vietnam jauh melampaui Indonesia. Investor yang ingin masuk pasar AS, meninggalkan China dan masuk ke Vietnam untuk menikmati fasilitas pembebasan pajak dari kebijakan Inflation Reduction Act di AS.
Kita perlu mendorong PMA untuk masuk sektor ekspor. Mengapa? Ekspor menghasilkan devisa, sehingga ketika repatriasi keuntungan dilakukan, tidak ada tekanan dalam neraca pembayaran akibat ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch). Jika pertumbuhan ekonomi ingin didorong, tanpa perlu kuatir akan stabilitas rupiah, maka PMA harus di dorong ke sektor ekspor.
Seperti Vietnam, Indonesia harus mengambil manfaat dari relokasi basis produksi dari China dengan terus memperbaiki iklim investasinya. Data menunjukkan porsi PMA/PDB Indonesia menurun dari 2,8 persen dari PDB (2014) menjadi 1,9 persen (2022). Inilah salah satu faktor yang menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi kita “mandek” di kisaran 5 persen sejak 2014.
Keempat, pemerintah memang telah banyak membuat kebijakan untuk mendorong UMKM, namun sifatnya lebih proteksionis, ketimbang peningkatan produktivitas. Penting untuk membuat UMKM memiliki akses pasar, untuk masuk dalam rantai nilai global.
Untuk itu, program pendampingan, pelatihan, penyebaran teknologi secara meluas (difusi teknologi) agar UMKM memahami dan mampu menghasilkan produk yang memenuhi standar internasional, mampu menjamin kontinuitas pasokan menjadi amat penting. Dukungan harus diperluas, bukan hanya sekadar soal kredit. Dengan ini, UMKM mampu menciptakan middle class job.
Kelima, seperti saya tulis di harian ini (8/5/2024), tantangan disrupsi teknologi, dalam jangka pendek, akan menurunkan penyerapan tenaga kerja dan memukul pekerja yang tak memiliki keterampilan. Sebaliknya, pekerja dengan keterampilan yang tinggi akan dapat mengambil manfaat yang berlipat.
Ke depan, profesi perawat, dokter, akuntan akan tetap ada, namun butuh keterampilan baru: penguasaan teknologi. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah penyesuaian kemampuan dan kualitas SDM. New economy, diversifikasi ekspor membutuhkan SDM yang baik. Transformasi untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatih an. Sayangnya, sarana, informasi, dan kapasitas pelatihan pemerintah terbatas.
Data BPS menunjukkan, peningkatan penganggur muda justru terjadi di kelompok tamatan SMK. Mungkin karena apa yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan. Untuk mendorong itu, berikan insentif, potongan pajak berganda, untuk perusahaan agar melakukan pelatihan, on the job training. Langkah ini bisa dimulai dengan proyek percontohan lalu evaluasi hasilnya.
Instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah memang perlu dipikirkan. Mereka tak tergolong miskin, namun guncangan ekonomi dapat mengantar mereka pada kemiskinan. Hidup kelas menengah memang tak mudah. Ia butuh keterampilan untuk menganggap 'diskon' sebagai bentuk kekayaan dan 'belanja hemat' sebagai prestasi.
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia