Demokrasi Sakit
Penyakit demokrasi itu bisa didiagnosis dari rendahnya etika-moral pejabat negara/wakil rakyat/penyelenggara pemilu.
Komisi Pemilihan Umum, melalui Peraturan KPU No 2/2024 tertanggal 26 Januari 2024 telah menetapkan jadwal pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024 di 37 provinsi (minus Daerah Istimewa Yogyakarta) dan 508 kabupaten/kota.
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat (AS) tentu memiliki tantangan tersendiri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Terlebih lagi pilkada, demokrasi lokal yang melibatkan banyak sumber daya manusia (KPU, Bawaslu), tokoh elite daerah, dan jutaan penyelenggara hingga ke tempat pemungutan suara (TPS). Ini membuat demokrasi ini kian diuji kemampuannya dalam rangka mewujudkan kesetaraan, kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghargaan atas hak politik warga.
Paus Fransiskus yang akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 3-6 September 2024 telah melemparkan pesan tentang ”demokrasi yang sakit”. Indonesia akan menjadi negara pertama dalam rangkaian kunjungan Paus ke kawasan Asia Pasifik.
Baca juga : Ketidakniscayaan Demokrasi Indonesia
Paus Fransiskus dan demokrasi
Kunjungan Paus memiliki arti penting bagi Indonesia, tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi seluruh umat beragama, termasuk kehidupan demokrasi. Kunjungan Paus Fransiskus sebagai tokoh spiritual dunia tentu akan memperkuat pesan toleransi, persatuan dan perdamaian dunia.
Pesan ”demokrasi sakit” disampaikan oleh Paus di Trieste, Italia utara, Minggu (7/7/2024), untuk memperingati Pekan Sosial Ke-50 Katolik Italia, yang tahun ini mengangkat tema demokrasi dalam krisis. Paus berbicara tentang keadaan demokrasi dan fungsinya. ”Jujur saja. Demokrasi di dunia saat ini sedang sakit,” kata Paus Fransiskus.
”Saya prihatin atas jumlah pemilih yang sedikit,” lanjutnya, seraya menekankan pentingnya menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap orang bebas menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.
”Ketidakpedulian adalah kanker demokrasi, tidak berpartisipasi,” kata Paus. Pernyataan ini mengirimkan pesan sekaligus kritik atas demokrasi di dunia saat ini. Pesan Paus tak lagi melulu soal agama, doktrin, dan keadaban umat manusia, tetapi sudah masuk ke peradaban umat, khususnya sendi kehidupan politik dan demokrasi.
Demokrasi tentu terkait dengan kemanusiaan dan dari pintu inilah Paus melihat bahwa ekses demokrasi yang kurang terkendali akibat bermainnya faktor lain—seperti mesin uang, politik, kepentingan elite, pasar, ekonomi politik global, militer, dan lainnya—memberi dampak buruk bagi sisi kehidupan umat dan masyarakat miskin yang terpinggirkan, bahkan cenderung jadi korban.
Demokrasi Amerika
Menurut hasil jajak pendapat global yang dilakukan CGTN dari China Media Group (CMG), Universitas Renmin China, dan Institut Komunikasi Era Baru Internasional, sebagian besar responden di seluruh dunia memiliki opini negatif terhadap ”demokrasi ala AS”.
Sebanyak 71,1 persen responden percaya bahwa sistem politik AS memiliki kelemahan serius dan sangat berbeda dari konsep inti sistem demokrasi; 70,4 persen responden percaya AS bukanlah ”teladan demokrasi” yang bisa diikuti oleh negara lain. ”Demokrasi ala Amerika” yang berada dalam (situasi) kronis telah menjadi ”demokrasi yang sakit”.
Bahkan, ”demokrasi ala AS” kian membuktikan demokrasi hanya alat untuk melanggengkan dan meneguhkan kekuasaan dan kekuasaan adalah cara cepat terbaik untuk cari uang.
Temuan ini tentu bukan tanpa alasan karena berbagai praktik demokrasi yang diterapkan di negara-negara yang cenderung mengikuti demokrasi Amerika (meski tak secara utuh) justru banyak menghadapi kritik atas praktik dan dampaknya. AS sebagai polisi dan kiblat demokrasi dunia dinilai gagal memberi contoh dalam membawa ke kesetaraan dan keadilan bagi warga negaranya dan warga dunia.
Sebanyak 74,5 persen responden global percaya bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu lebih cenderung menguntungkan kelompok minoritas kaya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat umum.
Hakikat demokrasi adalah kedaulatan dimiliki oleh rakyat. AS, yang sering kali menganggap dirinya sebagai ”mercusuar demokrasi”, lebih menyoroti demokrasi pada segelintir kelompok kaya. Dalam survei ini, lebih dari 80 persen (80,2 persen) responden global percaya sistem pemilu ”satu orang, satu suara” adalah elemen terpenting dari ”demokrasi ala AS”.
Namun, sebaliknya, 72,5 persen responden merasa keinginan rakyat hanya disebutkan pada saat pemilu dan segera dilupakan oleh politisi setelah pemilu. Sebanyak 74,5 persen responden global percaya bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu lebih cenderung menguntungkan kelompok minoritas kaya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat umum.
Sebanyak 68 persen responden percaya, ”demokrasi ala AS” telah menjadi sebuah permainan uang yang hanya bisa dimiliki segelintir orang kaya.
Jelas bahwa demokrasi sebagai sistem berpolitik, pemerintahan, interaksi sosial politik kekuasaan; sedang menghadapi tantangan dinamika dan dampaknya bagi warga negara dan dunia. Pergeseran itu meliputi sistem dan dampak yang ditimbulkan bagi kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, dan penghargaan atas hak-hak manusia dan warga negara.
Kecenderungan domain elite politik kekuasaan yang hanya bermain dalam merebut kekuasaan lewat instrumen politik, aturan main, dan mesin uang, bahkan birokrasi-militer dan mengesampingkan (meninggalkan) pemilih (warga negara) setelah proses tahapan pesta demokrasi selesai, menjadi sumber masalah yang menyebabkan ”demokrasi sakit”.
Persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6/2024). KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (FAK) 25-06-2024
Demokrasi Indonesia
Setelah melewati pemilu serentak (legislatif dan pilpres) yang lalu, masyarakat Indonesia dihadapkan pada tahapan pilkada serentak 27 November 2024. Pilkada kali ini melibatkan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota .
Isu yang selalu menjadi pertanyaan terkait relevansinya dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia adalah soal kepastian hukum, birokrasi bersih, dan kepercayaan terhadap sikap tegas pemerintah.
Jangan sampai proses politik yang terjadi di Indonesia, hingga tahapan pilkada serentak saat ini, relevan dengan pesan Paus, ”demokrasi lokal yang lagi sakit”, menjadi standar untuk penilaian terhadap Indonesia.
Kita masih sangat membutuhkan kerja sama strategis dengan mitra dari dalam dan luar negeri. Kita butuh investasi untuk menggerakkan roda perekonomian. Tetapi, dasar utamanya adalah kepastian hukum dan demokrasi yang fair.
Demokrasi yang fair itu jika kedaulatan rakyat (pemilih) hadir di setiap tahapan. Wakil rakyat, jika membahas rancangan UU, misalnya, harus mengedepankan dan memikirkan kepentingan rakyat, tidak sekadar kepentingan parpol, rekanan, elite, dan kelompok tertentu.
Saat tahapan penjaringan bakal calon kepala daerah juga demikian. Parpol harus terbuka dan mau mendengar masukan dari warga. Selama ini, warga hanya terlibat secara langsung saat pemungutan suara di TPS. Selebihnya, yang terjadi hanya mobilisasi warga di tempat/ruang sosialisasi dan kampanye.
Penyakit demokrasi itu bisa didiagnosis dari rendahnya etika-moral pejabat negara/wakil rakyat/penyelenggara pemilu (seperti terlibat judi daring, narkotika, korupsi).
Bisa jadi, tingkat korupsi, moral sosial politik penyelenggara negara yang kacau, tidak nyambung-nya kualitas tahapan dan sistem pemilu pilkada dengan produk demokrasi berupa wakil rakyat, kepala daerah, bahkan pemimpin negara sekali pun, itu karena sakitnya demokrasi kita.
Penyakit demokrasi itu bisa didiagnosis dari rendahnya etika-moral pejabat negara/wakil rakyat/penyelenggara pemilu (seperti terlibat judi daring, narkotika, korupsi). Di banyak kasus, rakyat dibiarkan dengan masalahnya sendiri tanpa bantuan dari para wakilnya.
Para elite politik sibuk dengan strategi dan komunikasi politiknya dan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan serta masalah rakyat.
Pesan Paus tentang ”demokrasi sakit” benar adanya. Peran tokoh agama idealnya tidak masuk dalam ranah praktis partai politik, tetapi mengawal dan menjaga agar demokrasi: pemilu, pilkada, dan tahapannya berjalan di atas rel yang benar serta mengawalnya agar pemerintah dan wakil rakyat serta calon kepala daerah yang terpilih berada di rel yang benar.
Itulah sebabnya doktrin Islam (Al Ashr) mengingatkan umatnya untuk selalu saling berpesan/mengingatkan pada ”kebenaran dan kesabaran” tak terkecuali dalam demokrasi yang sedang sakit.
Wallahu a’lam.
A Shaifuddin Bintang,Pemerhati Pemilu dan Demokrasi; Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar, 2013-2018