Kesejahteraan dosen merupakan bagian penting dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Dosen yang sejahtera akan lebih maksimal menjalankan tugas.
Dosen tergolong profesi khusus. Sebagai pekerja intelektual sudah seharusnya dosen terjamin kesejahteraannya. Ini bukan hanya bentuk penghargaan sebagai pekerja, melainkan terutama penghargaan atas kemampuan intelektualnya.
Kesejahteraan dosen dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, faktanya, kesejahteraan dosen masih jauh dari harapan. Survei Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada kuartal I-2023 mengungkap bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp 3 juta. Bahkan, dosen di perguruan tinggi swasta berpeluang tujuh kali lebih besar menerima gaji bersih kurang dari Rp 2 juta (Kompas.id, 15/7/2024).
Baca juga: Dosen Profesional dan Sejahtera Masih Terkendala
Tak perlu kita membandingkan gaji dosen di Indonesia dengan dosen di Malaysia. Pasti sangat tidak sebanding meski sama-sama sebagai negara dengan anggaran pendidikan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Namun, bandingkan gaji dosen dengan rata-rata upah minimum provinsi pada 2023 yang sebesar Rp 2,9 juta (Kemenaker, 2023). Sungguh ironis.
Lebih ironis lagi, kondisi tersebut terjadi di tengah-tengah uang kuliah mahasiswa dan anggaran pendidikan yang cenderung meningkat setiap tahun. Selain itu, juga gencarnya upaya pemerintah mendorong perguruan tinggi di Tanah Air untuk masuk ranking top dunia (world class university).
Untuk mencapai ranking top dunia, tentu kualitas menjadi prasyarat utama. Namun, bagaimana pendidikan tinggi akan berkualitas jika banyak dosennya sibuk mengambil pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tidak maksimal menjalankan tugas utamanya sebagai dosen.
Baca juga: Nasib Dosen
Bukan itu saja, keterlibatan dosen di proyek-proyek yang berkelindan dengan kekuasaan, misalnya, bisa mengganggu marwah keilmuan dan marwah akademik. Jamak pula, dosen melakukan segala cara, termasuk melanggar etika dan integritas akademik, guna memenuhi angka kredit agar dapat naik pangkat/jabatan. Semua itu demi mengejar kesejahteraan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesejahteraan dosen tidak bisa dipenuhi hanya dari gaji dan tunjangan sertifikasi dosen. Karena itu, pola penggajian dosen perlu dirumuskan kembali. Tidak bisa sistem penggajian dosen, terutama yang berstatus aparatur sipil negara, disamakan dengan ASN pada umumnya. Ini jelas tidak adil bagi dosen.
Pemerintah perlu lebih fokus pada pembangunan manusia dengan mewujudkan pendidikan berkualitas, salah satunya melalui kesejahteraan dosen. Termasuk di sini dukungan bagi dosen untuk melaksanakan fungsi penelitian. Dukungan juga perlu diberikan kepada perguruan tinggi swasta karena mereka juga bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak bangsa.
Tanpa itu semua, para dosen tidak akan bisa menyiapkan generasi penerus menuju Indonesia Emas.