Dari Troya Menuju Roma
Indonesia tidak lahir ”ex nihilio”, dari ketiadaan, tetapi dari keringat dan darah para pendahulu.
Wacana elektoral menjelang pemilihan kepala daerah, 27 November 2024, tampaknya ditenggelamkan oleh kisah pembobolan Pusat Data Nasional oleh peretas lepas. Perdebatannya bertumpu pada narasi tentang ”paradigma keamanan digital”.
Khalayak luas menilai pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), krisis gagasan dan komitmen moral dalam mengamankan data nasional. Sambungannya tentu ke ranah diskursus perihal kedaulatan dan ketangguhan kita sebagai bangsa dan negara di era digital. Dengan kata lain, keamanan digital merupakan masalah fundamental.
Selain itu, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi obrolan para peminat ekonomi, dari warung kopi sampai forum diskusi, meski optimisme harus selalu dirawat! Namun, semua itu, suka atau tidak, menimbulkan turbulensi di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024). Bagaimana kita harus bersikap?
Baca juga: Antisipasi Serangan Siber, Perbankan Siapkan Sistem Keamanan Berlapis
Hijrah dari Troya ke Roma
Setelah perang Troya berakhir (sekitar abad ke-13 Sebelum Masehi/SM), pahlawan Troya bernama Aeneas (dalam lidah Latin), berhijrah dari kota Troya menuju rumah tinggal baru di Roma, Italia. Nama Aeneas dalam Yunani adalah Ennaios (dari kata ennos dan demas), artinya ’dewa dalam tubuh manusia’.
Kisah panjang perjalanan sang pahlawan tertuang dalam enam buku pertama wiracarita Aeneid, karya Publius Vergilius Maro (70-19 SM)—yang berisikan keseluruhan 12 buku dalam bentuk puisi heksameter daktilis yang tak kalah hebatnya dari Illiad dan Odyssey karya Homeros (sekitar abad ke-8 SM).
Dikisahkan, Aeneas adalah putra Anchises—bangsawan Troya sekaligus sepupu sulung Raja Priam dari Troya—dari percintaan dengan dewi kasih sayang, Afrodit, saat Anchises tengah menggembala kawanan domba di Gunung Ida. Untuk menutupi jejak genealogis Aeneas, Anchises dibiarkan mati disambar petir. Kehendak Langit pun berlanjut.
Aeneas hijrah ke Barat dan berlabuh di pantai Libya. Di sanalah, ia berjumpa dengan dan dicintai oleh janda Dido, Ratu Kartago (kini, Tunisia). Ternyata, kuasa Olimpus menghendaki nasib yang lain. Aeneas harus berlabuh menuju Sisilia, pulau dengan penduduk terpadat di Laut Mediterania, meski Dido harus mati bunuh diri.
Dikisahkan, Aeneas melakukan napak tilas ke dunia bawah dan Elysium, surga bagi orang-orang yang diberkati para dewa-dewi di Olimpus. Elysium, sejatinya, konsep spiritual warisan peradaban Minoa di Pulau Kreta, dekat Yunani, sekitar 3000-1100 SM. Di sana, Aeneas berjumpa arwah Dido dan Anchises, sang ayah. Sekembali dari dunia bawah, ia bertekad mendirikan kota bagi orang-orang Troya di tanah bangsa Italik.
Setelah berjumpa dengan Latinus, raja orang Latin (penduduk asli), Aeneas lalu menikahi putrinya bernama Lativia. Dari nama istrinya, Aeneas mendirikan kota Lativium yang jadi cikal bakal kota Alba Longa dan Roma di tanah Italia.
Perang pikiran, ideologi, informasi, dan data membentuk watak warfare era digital.
Dalam bahasa Latin, akhiran a pada kata umumnya menunjukkan genus femina, jenis kelamin perempuan. Dengan mengubah nama Lativia menjadi kata netral (akhiran um), Aeneas menemukan nama Lativium untuk kota tempat orang-orang Troya akhirnya menetap dan selanjutnya berkembang sebagai salah satu suku pembentuk bangsa Italia.
Aeneid juga mengisahkan perang bangsa Troya dengan bangsa Latin seperti melawan Turnus dari suku Rutuli, yang gagal meminang Lativia, namun saya kira, itu bagian dari dinamika yang menguatkan pengaruh Aeneas dalam sejarah.
Fase peralihan
Seusai pemilihan presiden (pilpres) Februari 2024, panggung politik terbaca dalam dua kategori kontradiktif: jelas dan gamang. Jelas, dalam pengertian bahwa demokrasi telah berjalan sukses secara prosedural.
Ada harapan, pemerintah baru, dengan paradigma novel, dapat melanjutkan pembangunan yang telah dikerjakan pemerintah Jokowi.
Gamang, dalam konteks adanya gejolak, resistensi, dan ketidakpuasan sebagian orang terhadap pelaksanaan pemilihan dan terhadap masa depan demokrasi.
Setiap orang, tentu saja, berhak memilih di antara dua posisi itu atau membuat posisinya sendiri. Yang jelas, Aeneas pun mencintai Dido meski ia harus pergi meninggalkannya. Itulah konsekuensi sebuah pilihan untuk loyal pada kehendak Langit dan ungkapan cinta platonik yang tak dikotori hasrat ”memiliki”.
Masa peralihan dari rezim lama ke rezim baru biasanya ditandai turbulensi. Dalam demokrasi, itu lumrah sebagai implikasi dari bandul yang terus bergeser. Dalam pemerintahan, selalu ada yang tak sabar untuk pergi, tapi enggan kehilangan kursi. Ada yang enggan pergi karena terhalang horizon berpikir yang pendek dan terlalu nyaman ”memiliki”.
Sejatinya, kunci keberhasilan dalam peralihan kekuasaan adalah reperkusi (repercussion) atau kesinambungan kausalistis sebagai keniscayaan dalam praksis pemerintahan demokratis untuk menjaga stabilitas program, kebijakan, dan pembangunan. Hal-hal baik perlu dipertahankan, hal yang kurang perlu dilengkapi (pemerintahan baru).
Demikianlah dialektika demokrasi menciptakan kemajuan kasatmata. Tentu saja, hal itu mengandaikan adanya konsolidasi elite—di mana sosok penentu politik membangun konsensus di tengah antagonisme yang konkret, walau terkadang kompleks.
Para pemimpin kita pun perlu menapak tilas untuk berjumpa dengan para pendiri Republik ini dalam batin dan pikiran.
Perjalanan ke Elysium
Aeneas berziarah ke dunia bawah (underworld) dan Elysium, bukan hanya melepas rindu pada Dido dan Anchises, melainkan dalam rangka discerning, menemukan gagasan baru dan menjernihkan peziarahan menuju masa depan.
Para pemimpin kita pun perlu menapak tilas untuk berjumpa dengan para pendiri Republik ini dalam batin dan pikiran. Menggali kemurnian batin, gagasan, dan moral para pendahulu adalah tindakan strategis untuk merevitalisasi dasar, motivasi, dan orientasi dalam mengemban amanah rakyat.
Ketika Bung Karno bilang, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jasmerah), ada pesan moral yang dalam dan transhistorik agar siapa pun yang berkuasa mesti selalu berpangkal pada keluhuran sejarah dalam membangun masa kini dan masa depan.
Indonesia tidak lahir ex nihilio, dari ketiadaan, tetapi dari keringat dan darah para pendahulu. Maka, kekuasaan politik bukan perihal ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”, melainkan tentang siapa, kapan, dan bagaimana melayani rakyat dengan berpegang pada sejarah, budaya, Pancasila, dan konstitusi.
Di zaman post-truth, demokrasi menghadapi tantangan yang rumit, baik di lingkungan internal maupun eksternal. Internal, demokrasi berhadapan dengan kemajuan teknologi digital yang paralel dengan menguatnya pengaruh ”masyarakat sipil baru” terhadap pelaksanaan kekuasaan. Eksternal, demokrasi berhadapan dengan ancaman multidimensi dari beragam pelaku.
Dialektika konsep perang tertutup dan terbuka terus dinamis. Perang pikiran, ideologi, informasi, dan data membentuk watak warfare era digital. Maka, keamanan data nasional, termasuk perlindungan data pribadi warga negara, tentu bagian dari komitmen menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Refleksi
Vergilius tidak mencatat dalam 10.000 baris syairnya—ada 60 baris belum terselesaikan hingga ia meninggal—apakah kehancuran Troya atau sebab lain yang mendasari Olimpus menyuruh Aeneas berlabuh ke Barat. Pastinya, para dewa menuntun dan memberkati perjalanannya—ibarat Moses yang menuntun bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir kira-kira 1300-1134 SM.
Kita pun tengah berjalan menuju ”Indonesia Emas” di 2045. Sebagai negara-bangsa yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, kita percaya Langit pasti menuntun dan memberkati setiap usaha mewujudkan ”kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam bingkai ”persatuan Indonesia” dan demokrasi berbasis ”permusyawaratan rakyat” demi terealisasinya perjuangan teleologis ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Indonesia tidak lahir ex nihilio, dari ketiadaan, tetapi dari keringat dan darah para pendahulu.
Pancasila, sebagai ideologi dan dasar negara, merupakan basis fondasional sekaligus abstraksi dari tuntunan dan berkat Langit bagi perjalanan Indonesia.
Kembali kepada cita-cita dasar para pendiri Republik, Founding Fathers, bukanlah gerak mundur dalam grafik Cartesian, melainkan gerak maju dalam konteks ”peziarahan Aeneas menuju dunia bawah (underworld) dan Elysium” untuk menemukan inspirasi dan menjernihkan motivasi dan orientasi dalam menjalankan kekuasaan.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan dwitunggal yang menjadi lensa untuk melihat dunia, Weltanschauung, dan kompas penunjuk arah. Tanpa itu, kekuasaan hanyalah aktivisme adu ambisi dan unjuk keangkuhan.
Boni Hargens, Analis Politik dan Pendiri Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)