Berkat Mobil Pakubuwono X
Mengapa para penyokong kolonial sedemikian kuat di Pulau Bangka pascakolonial?
Seorang guru di Pulau Bangka menulis tentang Batin Tikal dari Sungaiselan sebagai tokoh sejarah. Batin Tikal dari Sungaiselan ini diseret mobil tentara Belanda pada 25 Februari 1851. Dua kakinya terikat di mobil, sedangkan kepala hingga punggungnya menyentuh tanah. Dia diseret bolak-balik Sungaiselan-Pangkalpinang-Sungaiselan, tapi tak terluka. Padahal pada tahun 1851 mobil belum ada.
Mobil pertama di Hindia Belanda adalah Benz milik Pakubuwono X, yang dikirim dari pabrik di Jerman dan tiba di keraton sang raja Jawa pada 1894.
Kulul Sari, guru itu, juga menulis kisah Batin Tikal yang lain. Dalam tulisannya di situs Okezone pada 12 Juni, 13 Juni, dan 17 Juni 2020, ia menjelaskan leluhurnya bernama asli Batin Tikal, yang diangkat pemerintah kolonial Belanda menjadi batin di Kampung Gudang, Pulau Bangka. Rangkaian tulisan tersebut dimuat ulang sejumlah media.
Batin Tikal leluhur Kulul memiliki sejumlah anak kandung. Putranya Tarjuddin diangkat Belanda jadi gindo atau kepala kampung di Gasing, Mata Mera, Palembang. Anaknya yang lain tinggal di Sungaiselan. Seorang anaknya menetap di Kampung Gudang. Di hari tua, ia dan istrinya tinggal di rumah Tarjuddin sampai ajal menjemput. Sanak saudara di Gasing mendatangi Kampung Gudang untuk menyampaikan kabar kematian Batin Tikal kepada anaknya. Saat mereka tiba di rumah sang anak, Batin Tikal dan istri tengah salat Ashar. Karena terlalu lama menunggu, mereka akhirnya mengintip dan mengetahui sajadah sudah tergantung di tempatnya. Suami istri itu menghilang secara gaib. Demikianlah kisah Kulul tentang leluhurnya.
Kulul adalah guru SMPN 1 Simpang Rimba di Bangka Selatan dan tinggal di Kampung Gudang. Ia juga mengetuai Lembaga Adat Melayu Bangka Selatan (LAM Bangsel). Ia lulusan IAIN Raden Fatah di Palembang.
Baca juga: Membasmi Dusta Pascakolonial
Pada 19 Februari 2024, Kulul diundang menghadiri acara peresmian Rumah Sakit Angkatan Darat Batin Tikal di Pangkalpinang, Pulau Bangka, yang diselenggarakan di Jakarta. Rumah sakit itu dibangun untuk mengenang Sheikh Ahmad atau Ahmad, pelanjut nasab Sheikh Yusuf Al Makassari, pejuang terbesar antikolonial Belanda di Bangka Belitung yang dijuluki Batin Tikal. Namun, Batin Tikal yang diklaim Kulul sebagai leluhurnya tentu bukan Batin Tikal yang bernama asli Sheikh Ahmad atau Ahmad. Ketika Kampung Gudang didirikan Belanda dan Batin Tikal leluhur Kulul menjabat batin di situ, Batin Tikal sang pejuang antikolonial telah dihukum buang Belanda seumur hidup ke Manado, Sulawesi Utara.
Kulul hadir dalam peresmian rumah sakit sebagai keturunan Batin Tikal dari Kampung Gudang, kaki tangan pemerintah kolonial. Bersama Kulul, hadir Sani Timpang, yang mengaku keturunan Batin Tikal dari Kampung Gudang menurut versinya dan bukan bernama asli Sheikh Ahmad atau Ahmad.
Menurut kisah yang beredar, rambut Batin Tikal di Kampung Gudang adalah seikat rambut Sheikh Ahmad yang dipotong oleh Mayor Becking, komandan operasi militer Belanda di Pulau Bangka, setelah ia ditangkap di Sungaiselan saat berunding dengan Tumenggung Kertanegara yang mewakili Gubernur Jenderal Belanda Jan Jacob Rochussen. Rambut Sheikh Ahmad dihadiahkan Belanda kepada Batin Tikal leluhur Kulul di Kampung Gudang sebagai trofi kemenangan. Berdasarkan ilmu hukum dan sejarah, penjajah memberi hadiah istimewa dan kedudukan kepada orang kepercayaannya, bukan kepada musuh besarnya.
Penggandaan sosok Batin Tikal yang bernama asli Sheikh Ahmad atau Ahmad bertujuan menghancurkan kebenaran sejarah dan memenangi strategi kolonial di Pulau Bangka setelah Indonesia merdeka. Hal serupa dialami Raja Haji Fisabilillah dari Riau. Dalam kitab Tuhfat Al-Nafis, Raja Ali Haji mengungkap bahwa setelah kakeknya gugur dalam perang melawan VOC di Malaka banyak orang mengaku sebagai Raja Haji dan keturunannya. Para pelaku ingin mengeruk keuntungan ekonomi, sosial, dan politik dari kejahatan tersebut.
Baca juga: Darah Perlawanan
Mengapa para penyokong kolonial sedemikian kuat di Pulau Bangka pascakolonial? Sikap tersebut memiliki akar sejarah, hukum, dan budaya.
Pada 10 Desember 1946 terbit Surat Keputusan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No 8, yang menjadi landasan hukum pembentukan Dewan Bangka Sementara (Voorlopige Bangka Raad) dan tercantum dalam Staatsblad No 38 Tahun 1946. Setelah itu terbit Surat Keputusan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No 7 pada 12 Juli 1947, yang tercantum dalam Staatsblad No 123 Tahun 1947, untuk menetapkan pembentukan Dewan Bangka/Bangka Raad.
Para anggota Dewan Bangka dilantik pada 11 November 1947. Ketuanya Masyarif Datuk Bendahara Lelo. Salah satu anggotanya, Romawi Latif. Dewan Bangka bersumpah setia kepada Ratu Belanda Wilhemina, bukan kepada Republik Indonesia.
Strategi Dewan Bangka dan NICA berakibat fatal. Komandan TKR Bangka Belitung Kolonel F.F.J. Manusama dan komandan batalyonnya, Mayor Muhidin, gugur. Para pejuang terpenting ditangkap dan dipenjarakan. Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan, pihak RI hanya diwakili satu orang, yaitu Kapten Tameka.
Romawi Latif adalah tokoh penting Lembaga Adat Melayu Bangka Belitung (LAM Babel), bergelar Pemangku Adat Negeri Serumpun Sebalai. Saat Belanda mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, dia dan Dewan Bangka secara hukum berada di pihak musuh negara RI. LAM Babel menaungi LAM Bangsel. Jika ada pengurus lembaga adat ini yang mendistorsi sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ia hanya melanjutkan sikap para pendahulunya.
Tak heran Bung Karno menyatakan revolusi belum selesai. Para tersangka korupsi tata niaga timah Rp 300 triliun (2015-2022), yang ditetapkan Kejaksaan Agung RI adalah musuh-musuh revolusi.
Linda Christanty
Sastrawan dan pegiat budaya