Ilusi Sukses di Masa Muda yang Menyuburkan Diskriminasi Umur
Di usia muda sudah harus meraih ini itu. Namun, sokongan minim, PHK menghantui. Ah, usia, mengapa begitu membelenggu?
Bryan Johnson menolak menjadi tua. Ia membangun program dengan slogan ”Jangan Mati” (Don’t Die) dan bereksperimen kepada dirinya sendiri.
Pengusaha kaya raya berusia pertengahan 40 tahun itu mengatur makan, berolahraga rutin, pola tidur teratur, mengonsumsi suplemen, dan mejalani program lain dengan biaya Rp 29 miliar per tahun.
Tiga tahun melakukan program Blueprint-nya, Johnson menyatakan dirinya memuda. Dari hasil tes kebugaran dan kesehatan, beberapa fungsi organ tubuhnya bekerja sangat baik setara remaja 18 tahun.
Klaim itu disebut hasil dari eksperimen berbasis sains, tetapi ulasan Time.com menyatakan tidak ada bukti ilmiah resmi yang mendukungnya. Ujung-ujungnya, Johnson menghasilkan berbagai produk terkait dengan gaya hidup barunya, lalu dijual ke khalayak ramai.
Selain Johnson, sederet multimiliarder dunia berlomba menemukan formula penangkal proses penuaan, pencegah penyakit mematikan, pembuat awet muda tanpa takut mati. Di antara mereka, ada Jeff Bezoz, Elon Musk, dan pendiri Google, Larry Page.
Ilusi sesat
Keinginan untuk senantiasa hidup dalam keemasan masa muda mengendap dalam benak manusia sejak dahulu kala. Banyak dongeng diceritakan dari generasi ke generasi tentang air berkhasiat, benda ajaib, obat spesial, atau makhluk gaib yang jika kita menemukan dan menggunakannya, akan kembali muda dan kuat.
Tujuannya agar bisa mengulang kesukesan dan kesenangan saat kondisi tubuh sangat fit. Sebagian lagi ingin mendapat kesempatan kedua untuk berbuat hal berbeda dan mencapai impian terpendam.
Namun, banyak orang meyakini kembali muda melawan hukum alam, sesuatu yang mustahil terjadi. Ada pula yang percaya bakal ada teknologi untuk mencapai itu, tetapi belum akan terwujud dalam waktu dekat.
Baca juga: Jaket! Rata! Gelegar ”Thrifting” Tetap Menyala di Pasar Senen
Meskipun demikian, pemuja masa muda tak surut. Masa muda telanjur diyakini sebagai masa krusial yang menentukan seluruh hidup kita selanjutnya, merana atau bahagia.
Muncullah target pencapaian di usia tertentu. Usia sekian harus lulus sarjana, bekerja mapan, punya rumah, menikah, berkeluarga. Perempuan menikah sebelum usia 30 tahun dan segera punya anak.
Dengan persiapan matang di usia muda, masa tua tak perlu bekerja. Orang di usia 50-60 tahun ke atas seakan hanya ditakdirkan menunggu waktunya berakhir.
Mengikuti tren umum itu, ada tren orangtua menetapkan standar tinggi bagi anak-anak yang mengorbankan keceriaan masa kecil mereka.
Baca juga: Oh Rocket Man, Ini ”Lanyard”-ku, Mana ”Lanyard”-mu
Dunia kerja ikut melihat orang muda sebagai aset utama. Di Indonesia, lowongan pekerjaan hampir selalu memasukkan batas usia pelamar sebagai salah satu syarat utama. Untuk menjadi pekerja di gerai minimarket saja harus di bawah 25 tahun.
Pemilihan 30 pengusaha atau CEO perusahaan top dunia di bawah 30 tahun berlangsung setiap tahun. Seakan menjadi patokan kesuksesan yang pantas diikuti kaum muda lain.
Dunia industri mengkapitalisasi dan menjual mimpi awet muda lewat kampanye produknya.
Di segala sudut ruang urban, misalnya, nyaris tersentuh oleh iklan kosmetik atau perawatan tubuh, suplemen, alat olahraga, produk busana, bahkan paket wisata. Model muda, bahkan belum cukup umur, ditampilkan dan menyesatkan publik bahwa yang sudah berumur bisa menjadi seperti si bintang iklan jika menggunakan produk mereka.
Ironi
Menjadi ironi ketika pemujaan pada usia muda itu tidak disertai sokongan penuh agar kaum muda bisa benar-benar sukses. Di Indonesia belum semua anak usia sekolah dapat ditampung di sekolah negeri yang dibiayai pemerintah. Saat hendak meraih sarjana, uang kuliah tunggal (UKT) kampus negeri makin mahal.
Sebagai perbandingan, sesuai data Badan Pusat Statistik seperti dikutip dari jurnal "Upah Minimum Regional: Sebuah Tinjauan" oleh Nur Feriyanto (1997), di masa awal upah minimum regional/provinsi ditetapkan tahun 1997, UMP di DKI Jakarta sekitar Rp 172.000. Biaya satu semester di kampus negeri di Jabodetabek di tahun yang sama di bawah Rp 300.000. Biaya per semester ini berlaku sama untuk semua mahasiswa.
Tahun 2024 ini, UMP Jakarta Rp 5,067 juta dan patokan UKT kelompok 3 antara Rp 7,5 juta-Rp 12,5 juta per semester. UKT kelompok 3 merujuk pada mahasiswa dengan orangtua non-golongan kurang mampu. Jika penghasilan orangtua lebih tinggi, ada kelompok UKT lebih tinggi lagi yang dibebankan kepada mahasiswa bersangkutan.
Pada 1997, biaya kuliah per semester kurang dari dua bulan UMR. Pada 2024, jika dirata-rata, UKT kelompok 3 juga sekitar dua kali UMP. Namun, bagi orangtua bergaji sedikit di atas UMR saja, anaknya berpeluang dibebani UKT lebih besar.
Di samping itu, biaya hidup dan biaya lain di luar UKT sekarang melonjak dibandingkan dengan 27 tahun lalu. Tidak heran unjuk rasa menentang penetapan UKT yang tak terjangkau warga kebanyakan muncul di berbagai daerah.
Baca juga: Di Balik Antre Bahagia ”Salt Bread” hingga ”Merchandise” BTS
Dengan biaya pendidikan yang begitu besar, standar gaji lulusan S-1 tak jauh-jauh dari UMP. Ditambah lagi, di masa sekarang, status karyawan tetap dengan banyak fasilitas penjamin kesejahteraan adalah barang langka. Selepas terbitnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, perusahaan mudah mengikat pekerjanya dengan kontrak tidak tetap.
Situasi itu diperkeruh dengan munculnya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasannya, kondisi ekonomi di dalam dan luar negeri kurang baik yang berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja,
Data satudata.kemnaker.go.id seperti dikutip dari laporan Kompas.id, ada 23.421 pekerja di PHK pada Januari - Maret 2024. Periode sama tahun 2023, ada 20.393 pekerja di PHK. PHK diprediksi terus terjadi di sisa tahun ini.
Antrean panjang pencari kerja menjadi pemandangan rutin setiap pada bursa lowongan kerja. Pekerja yang habis masa kontraknya dalam usia di atas batasan umur lowongan kerja makin sering terjadi. Hal ini menyulitkannya bersaing memperebutkan posisi sebagai karyawan baru di tempat lain.
Semakin dewasa, hasrat di masa muda bisa berubah dan berkembang. Begitu pula dengan prioritas hidup.
Unik dan berdaya saing
Tuntutan sukses di masa muda tanpa dukungan dari pembuat kebijakan maupun masyarakat menjadi bagian dari bentuk diskriminasi umur.
Dalam artikel ”Is age discrimination a less serious form of discrimination?” yang diterbitkan Cambridge University Press pada 27 Juni 2019 disebutkan, pandangan hukum dan publik Inggris yang melihat diskriminasi umur sekadar masalah minor. Sebuah pandangan yang berlaku umum di negara-negara lain.
Kenyataannya, diskriminasi ini justru menimpa lebih banyak orang. The Conversation mengungkapkan bahwa pada perempuan, diskriminasi ini semakin mengungkung mereka untuk berekspresi dan meraih mimpi-mimpinya.
Menepis ilusi sukses di usia muda yang menyesatkan perlu lebih banyak kebijakan hingga rekayasa sosial yang merekonstruksi ulang pola pikir masyarakat. Hidup tidak selalu bisa dianalogikan bak jenjang anak tangga yang selalu berorientasi naik ke atas menjadi makin baik, makin mapan. Hidup kadang terpaksa kembali menuruni tangga, bak jalan bergelombang, dan kadang berombak besar.
Setiap orang bisa memulai merekonstruksi pola pikirnya dengan berkaca dari orang lain yang mampu bertahan dan bersaing dengan menekuni passion atau hasrat hidupnya yang membuatnya memiliki keunikan, ketrampilan khusus, serta tak terkekang usia.
Baca juga: Perempuan dan Mimpinya
Akan tetapi, mengikuti passion saja tak selalu menjamin meraih hidup impian. Karena, kebutuhan rutin dirinya dan orang yang ia sayangi harus dipenuhi, sudah jamak orang menepikan hasrat pribadi demi menekuni pekerjaan yang lebih stabil penghasilannya.
Hidup bermakna
The Woke Salaryman, dalam salah satu edisi webcomic-nya, menyatakan ada satu pelajaran berharga bagi para pekerja urban. Semakin dewasa, hasrat di masa muda bisa berubah dan berkembang. Begitu pula dengan prioritas hidup.
”Memilih prioritas dibandingkan passion atau sebaliknya, bukan berarti tidak dapat memilih yang lain lagi di masa depan,” ujar tokoh rekaan dalam komik digital tentang keuangan dari Singapura itu.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Memilih jalan praktis demi tuntutan kebutuhan atau tetap menekuni passion pada dasarnya dilatari tujuan sama, yaitu mencari dan menjalani kehidupan yang penuh makna.
Keinginan mencapai hidup bermakna inilah yang berarti seseorang berhasil menjaga nyala hasrat berapi-api layaknya anak muda. Bukan sekadar ilusi semu untuk hidup abadi, ia pun tetap muda secara nyata dengan sendirinya.
Baca juga:Catatan Urban