Di Balik Antre Bahagia ”Salt Bread” hingga ”Merchandise” BTS
Ada elemen kesenangan, kebersamaan, ”FOMO”, budaya penggemar dan insting bertahan saat ikut mengantre produk viral.
Sang surya berangsur ke pelukan malam, saat derap langkah manusia menderas menuju kawasan Blok M. Di akhir pekan itu, seperti biasanya, keramaian menjangkiti jantung Jakarta Selatan tersebut.
”Antrean 241! Antrean 241!” suara dari pengeras suara di salah satu kedai dimsum tak jauh dari akses masuk ke Stasiun MRT di dekat Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Kedai 24 jam itu terletak di pertokoan dengan lintasan trotoar di depannya. Berbagi ruang dengan pejalan kaki, orang berderet duduk maupun berdiri di trotoar menunggu giliran mendapat pesanannya.
Para pemburu dimsum itu bukan satu-satunya kerumunan manusia lapar yang dengan sadar dan senang mengantre demi seporsi makanan idaman. Di Blok M, antrean ditemukan di mana-mana. Masuknya pengusaha makanan kekinian yang membetot banyak perhatian lewat media sosial ditambah tabuhan para pemengaruh dan warganet makin meramaikan Blok M.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Di media sosial, berseliweran unggahan viral mengulas gerai makanan terkini yang ramai diburu publik di Blok M. Ada salt bread, roti yang lebih dulu tenar di Korea Selatan dan mengusung kekhasan dengan taburan garam keras ke dalam adonannya. Kemudian, ada kedai donat, gerai ayam goreng khas Amerika, juga penyedia aneka bakmi maupun kopi.
Di akhir pekan atau hari libur, setiap pembeli bisa antre hingga lebih dari 1,5 jam demi beberapa kerat roti dan donat yang dibuat langsung di toko. Rabu (8/5/2024) sore itu, di gerai salt bread hanya tersisa dua varian rasa roti, sedangkan di kedai donat hanya tersisa satu.
Kebangkitan Blok M
Dua tahun terakhir, Blok M memang dihinggapi lagi roh keramaian, tempat berkumpul dan transit atau hub utama di Jakarta. Sebelumnya, kawasan ini pernah nyaris mati dilindas sepi.
Terminal Blok M, yang dulu menjadi lokasi transit berbagai angkutan umum dalam kota dan antarkota di wilayah aglomerasi Jabodetabek, meredup seiring transformasi penataan transportasi publik di Jakarta dengan dikembangkannya layanan bus rapid transit (BRT) atau sistem transit berbasis bus berkapasitas tinggi, yaitu Transjakarta. Mal dan pasar di kawasan itu terseret surut pesonanya.
Baca juga: ”The Nuruls”, antara Stereotipe dan Subkultur
Kemudian, Blok M terdampak pula oleh pembangunan MRT Jakarta. Selama proyek berlangsung, pengguna jalan menghindari area itu semaksimal mungkin. Tak lama setelah MRT selesai, serangan pandemi Covid-19 menyergap yang menyebabkan Blok M melumpuh. Benar-benar senyap.
Seusai penataan infrastruktur dan pandemi, upaya mendatangkan keramaian di Blok M terjadi bertahap. Pusat belanja modern berbenah meskipun sampai sekarang belum semua mal di sana kembali menggeliat.
Mengikuti Pasar Senen di Jakarta Pusat, Blok M dijadikan pusat kue subuh. Konsep warung lesehan yang menyuguhkan aneka lauk dan sayur diboyong pula dan sampai sekarang pusat lesehan di pelataran Blok M Square memiliki penggemar tersendiri.
Para pedagang buku bekas, kaset lawas, piringan hitam, sampai jual beli dan bengkel mobil yang menjadi sasaran penataan di lokasi lain di Jakarta turut ditampung di Blok M.
Baca juga: Banjir Dubai, Kota Paling Maju Pun Tunduk pada Krisis Iklim
Hingga menjelang medio tahun ini, belum semua tempat usaha di Blok M berdenyut kencang. Walakin, kebangkitan Blok M sebagai hub transportasi publik modern diikuti peremajaan tempat usaha di sana telah menunjukkan hasil positif. Sangat positif sejauh ini.
Julukan Little Tokyo di sebagian Melawai, Blok M, berkat banyaknya gerai penyaji makanan dan hiburan khas Jepang otentik yang sempat terkubur pamornya, kini terkerek berkibar lagi.
Kesenangan murni
Tidak dimungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi dan masifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat ikut membantu mempercepat kebangkitan suatu kawasan, termasuk di Blok M.
Namun, hal tersebut tidak menutup kritik tajam terhadap kondisi tersebut. Salah satunya efek kehebohan di dunia maya yang disebut hanya berumur pendek. Begitu ada pemengaruh lain mendengungkan hal berbeda, keramaian yang mengikuti konten viral sebelumnya langsung meredup, bahkan padam.
Kondisi seperti itu dikhawatirkan menciptakan ketergantungan pada viralitas di media sosial yang justru menghambat pembangunan dan mengombang-ambingkan perilaku publik.
Baca juga: Kreativitas dan Humor di Balik ”Dress Shimmer” hingga Kaleng Rengginang
Namun, Dodai Stewart menemukan hal tak terduga kala meliput serangkaian antrean panjang di restoran dan toko ritel di Kota New York, Amerika Serikat. Dalam dua laporannya di The New York Times pada tanggal 24 dan 25 Januari 2023, ia menyebutkan ada kegembiraan murni muncul dan menyelimuti para pengantre saat berburu produk incarannya.
Menjaga rasa senang layaknya keceriaan anak-anak itu akan menjamin suatu produk tidak akan ditinggalkan konsumennya, demikian juga berlaku bagi suatu kawasan.
Di kota-kota besar dunia, antrean untuk membeli tiket nonton teater, konser musik, produk terbaru gawai, atau mendapat tempat duduk di restoran legendaris maupun gerai makanan baru sudah biasa terjadi.
New York termasuk kota yang terbilang berhasil mengelola isu wilayahnya sebagai pusat fashion dan tren makanan kekinian. Tak heran, warga lokal maupun wisatawan terus tersedot menyemut memperebutkan croissant, tempat duduk pertunjukan di Broadway atau di peragaan busana di sana.
Menciptakan tren antrean pembeli itu membangun budaya penggemar. Budaya penggemar ini tentang membuat orang-orang menunggu suatu produk, bukan sebaliknya. (Laura Mulcahy)
Di kota-kota di Indonesia, gejala yang sama sedang melanda. Selain di Blok M, misalnya, pekan ini publik Jakarta pencinta BTS mengharu biru berbaris mengular menunggu kesempatan toko pop-up yang menjual merchandise resmi boyband asal Korea Selatan tersebut dibuka di salah satu mal di kawasan Gandaria.
Budaya penggemar
Dari sisi psikologi, kecenderungan tertarik dan menjadikan diri kita bagian dari keramaian ternyata bagian dari insting alami manusia yang tidak akan hilang.
Dalam artikel berjudul ”Why the long queue? The rise of competitive queuing in Asia” (21 September 2023) di Campaign Asia, pakar perilaku konsumen Ken Hughes membagi pendapatnya tentang fenomena antrean di Asia. Menurut Hughes, manusia cenderung meniru perilaku orang di sekitarnya.
”Ini naluri bertahan hidup yang telah kita lakukan puluhan ribu tahun. Ini disebut penggembalaan manusia (human herding), di mana orang berperilaku sesuai keinginan mereka. Dengan cara yang sama seperti orang di sekitar mereka dengan sangat cepat,” katanya.
Baca juga: Tren Sewa Rumah, Antara Bunga KPR hingga Gaya Hidup Kekinian
Melihat dari sudut pandang ekonomi, semakin langka suatu sumber daya, maka semakin berharga sumber daya tersebut. Sesuai definisi tersebut, orang akan mengantre untuk mendapatkan sesuatu yang langka atau berharga atau keduanya.
Kecenderungan orang memperebutkan sesuatu untuk menambah nilai atau pengalaman dipicu pula oleh membaiknya ekonomi suatu negara dan meningkatnya jumlah kelas menengah.
Sekarang, mengemas produk layaknya barang langka turut menyisipkan elemen mata uang sosial di dalamnya. Dengan media sosial yang sepopuler saat ini, ada nilai sosial yang didapat kala seseorang bisa memiliki sesuatu hal baru terlebih dahulu, lalu membagikan kabar tersebut di akun pribadinya.
Hughes mengamati bahwa elemen ”mata uang sosial” itu berpengaruh lebih besar di Asia.
Menyambung Hughes, Laura Mulcahy yang mendalami strategi pendekatan budaya dalam pemasaran produk di Campaign Asia menyatakan, menciptakan tren antrean pembeli itu bentuk membangun budaya penggemar (fan culture) atau fandom. Budaya penggemar ini tentang membuat orang-orang menunggu suatu produk, bukan sebaliknya.
Para penggemar ini ketika bertemu dalam suatu antrean yang muncul tidak dimaknai sebagai persaingan, tetapi kesenangan. Bahkan, candu seperti tengah bermain gim.
Lihat juga: Antre Panjang dan Bersenang-senanglah di Blok M
Budaya penggemar ini tak jarang diterapkan oleh produsen dengan sengaja menyewa banyak orang agar pura-pura mengantre dan membeli produknya. Mereka berusaha mengeksploitasi psikologi fear of missing out (FOMO) atau ketakutan orang kehilangan suatu momentum.
Akan tetapi, dampak positifnya tidak akan bertahan lama. Pelanggan tidak akan memiliki loyalitas terhadap merek atau produk dengan keunikan dan ketenaran palsu.
Keberlanjutan
Menurut Mulcahy, dalam antrean ada kisah konsumerisme. Namun, di sana juga ada kebersamaan dengan sesama yang terjalin dalam rantai antrean. Berbagi minat, saling menanyakan apakah mereka bisa mengambil foto kita, memuji gaya mereka, sampai menjalin pertemanan.
Di balik fenomena manusia modern yang katanya makin individual, orang mencari cara untuk kembali terhubung lewat berbagai celah, termasuk tren antrean dan budaya penggemar.
Dalam konteks pembangunan perkotaan, tren tersebut bisa digunakan untuk mempercepat proses peremajaan, regenerasi, maupun pengembangan kawasan baru. Tentunya bukan menjual kepopuleran semu, apalagi palsu, tetapi yang unik, menarik, dan berkelanjutan.
Jadi, asal menyukai produknya dan memang mampu membelinya, jangan takut bergabung dalam antrean panjang salt bread, donat, merchandise BTS, atau apa pun itu. Bersosialisasilah dan bersenang-senanglah!
Baca juga: Catatan Urban