Pendidikan yang Tidak Merdeka
Sistem pendidikan kita belum merdeka dari lingkaran setan pendidikan. Kebijakan masih membelenggu praktik pendidikan.
Kebijakan Merdeka Belajar pada kenyataannya tidak bisa memerdekaan praktik pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Praktik pendidikan masih terbelenggu dengan kebijakan atau kondisi yang berimbas pada materi dan proses pembelajaran, dan menghilangkan inti kebebasan penyelenggara pendidikan di dalam merumuskan, mengelola, menyelenggarakan, mengevaluasi, dan memperbaiki materi dan proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, lingkungan, dan masyarakat.
Kebijakan ini dikembangkan untuk memberikan kebebasan kepada para penyelenggara pendidikan, termasuk pendidik atau guru, dalam mengupayakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi dan karakter. Kebijakan ini memungkinkan penyelenggara pendidikan secara cepat dan langsung menyesuaikan implementasi kurikulum dengan kebutuhan peserta didik.
Kebebasan
Kebebasan penyelenggara pendidikan memudahkan untuk mengatasi kompleksitas implementasi kurikulum sehingga lebih spesifik/fokus, sesuai dengan kebutuhan lapangan, melibatkan berbagai pihak kunci, dan dapat langsung dilaksanakan. Sementara kebijakan kementerian biasanya berlaku umum, teoretis, dan sulit untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan lainnya.
Baca juga: Kurikulum Merdeka untuk Siapa?
Peran serta penyelenggara pendidikan atau masyarakat (sekolah swasta) dianggap besar kalau dilihat dari jumlah sekolah, guru, dan peserta didik yang terlibat. Jumlah mereka bisa lebih banyak daripada sekolah pemerintah.
Mereka juga lebih kreatif dengan mengusung nilai dan praktik keagamaan, aspirasi organisasi kemasyarakatan, nilai budaya, sosial, pengembangan kompetensi dan karakter. Dinamika mereka terlihat lebih semarak dibandingkan dengan layanan pendidikan atau sekolah pemerintah.
Dari realitas tersebut ternyata penyelenggara pendidikan atau masyarakat juga bisa berinisiatif dan berupaya mengatasi masalah pendidikan yang tidak diresepkan oleh kementerian. Merekalah yang mengenalkan istilah sekolah terpadu, sekolah berasrama, sekolah alam, dan sekolah formal yang terpadu dengan pesantren, dan istilah lainnya.
Lebih jauh dari itu, mereka juga mungkin bisa melakukan pengembangan dan implementasi kurikulum, yang selama ini dianggap gagal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan kurikulum lainnya. Kegagalannya disebabkan, antara lain, oleh ketidakjelasan konsep dan implementasi kurikulum, struktur kurikulum yang dikeluarkan kementerian, pengukuran kinerja guru sebagai konsekuensi tunjangan profesi, dan rendahnya peran dan kontribusi guru.
Kendala
Konsep dan implementasi Merdeka Belajar, misalnya, tidak menunjukkan hakikat kebebasan sebagaimana namanya yang berkaitan dengan perumusan, penetapan, pelaksanaan, evaluasi dan perbaikan materi, serta proses pembelajaran di tingkat satuan pendidikan untuk merealisasikan target kompetensi dan karakter peserta didik dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Implementasinya kadang-kadang disimpangkan dengan kebijakan, kondisi, atau aturan kementerian, misalnya aturan struktur kurikulum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Di antara keduanya terjadi kontradiksi orientasi dan implementasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
Sebenarnya kebijakan Merdeka Belajar bisa juga dianggap sebagai kurikulum, yaitu arahan bagaimana satuan pendidikan dan guru melakukan tugasnya, dan juga berisi tentang target, materi, proses, dan evaluasi pembelajaran, serta peran guru di dalamnya. Implementasinya berbasis satuan pendidikan, guru, kebutuhan peserta didik, lingkungan, dan lainnya.
Berbeda dengannya, kurikulum terbaru berisi mata pelajaran yang harus diajarkan di satuan pendidikan, dan dalam implementasinya cenderung dilakukan dengan penyampaian mata pelajaran dengan alokasi waktu intrakurikuler dan penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Implementasi kurikulum kemudian diukur menjadi kinerja guru dan berlanjut dengan penerimaan tunjangan profesi bagi guru.
Kurikulum yang berbasis mata pelajaran cenderung menyasar penguasaan mata pelajaran, bukan kompetensi dan karakter, walaupun sudah diupayakan dengan catatan kegiatan intrakurikuler dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pengalaman implementasi Kurikulum Tahun 1947, 1952, 1964, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2013 menunjukkan betapa terjalnya merealisasikan tujuan dan hasil pendidikan yang berkualitas dan berdampak pada pengembangan sumber daya manusia, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, pengembangan lingkungan, sains, dan teknologi.
Pengalaman pribadi pada 1970-an di sekolah dasar dirasakan bahwa apa yang disebut pembelajaran adalah mencatat materi mata pelajaran dari papan tulis, yang disalin oleh teman sekelas yang tulisannya bagus. Kadang-kadang dibacakan dan kemudian ditulis di buku catatan. Dari buku tulis itu diperoleh pengetahuan tentang mata pelajaran.
Di jenjang pendidikan berikutnya ketika buku pelajaran sudah diperoleh, pembelajaran menjadi penguasaan materi pelajaran dengan membaca buku dan menyimak penjelasan dan catatan guru di papan tulis. Pembelajaran model ini masih banyak dilakukan di SD sampai perguruan tinggi hingga kini.
Sekarang lebih canggih dilakukan dengan media presentasi, dalam jaringan, dan zoom. Penilaiannya dilakukan melalui tes pengetahuan mata pelajaran. Kadang-kadang tesnya juga dilakukan dalam jaringan.
Kemajuan implementasi kurikulum terjadi ketika diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum Tahun 2013. Tujuan implementasi kurikulum diarahkan untuk merealisasikan ketercapaian kompetensi dan karakter dengan penetapan dan perumusan target kompetensi, karakter, materi, dan proses pembelajaran di tingkat satuan pendidikan. Kalau diperhatikan, ada kesamaan antara KTSP dan kebijakan Merdeka Belajar dalam orientasi dan praktik pembelajarannya.
Dari implementasi kurikulum tersebut diperoleh informasi bahwa hasil pendidikan tidak jauh dari ketercapaian aspek pengetahuan mata pelajaran, pembelajaran berisi pengajaran mata pelajaran, dan evaluasi pembelajaran dilakukan dengan tes. Hasil dan dampak pendidikannya belum bisa menghasilkan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM); kehidupan bemasyarakat, berbangsa, bernegara; pengembangan lingkungan, budaya, sains, dan teknologi.
Implementasi kurikulum kemudian diukur menjadi kinerja guru dan berlanjut dengan penerimaan tunjangan profesi bagi guru yang sudah memenuhi persyaratan. Logisnya implementasi kurikulum pasti berhasil karena menjadi kinerja guru, dan dengan kinerja itu dibayar tunjangannya. Seharusnya guru semangat, kompeten, berkinerja, dan menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Kinerja guru dan tunjangan profesi dimungkinkan juga menjadi penyebab kegagalan implementasi kurikulum. Kinerja ini diukur dengan mempertimbangkan persyaratan: latar belakang program studi guru, sertifikasi pendidik, mata pelajaran yang diberikan, alokasi waktu pembelajaran, dan struktur kurikulum yang diberlakukan kementerian. Mulai dari awal bertugas sampai purnatugas, guru sudah diikat dengan profil ini, dan kalau bertugas tidak sesuai dengannya, tidak akan dibayar tunjangan profesinya.
Baca juga: Guru, antara Tuntutan dan Kompetensi
Ternyata ke depan profil tersebut tidak dapat memenuhi tantangan implementasi kurikulum. Pergulatan ini terjadi ketika diberlakukan KTSP dan Kurikulum 2013. Kedua kurikulum mensyaratkan capaian kompetensi, materi, dan pembelajaran berbasis tema atau proyek, penilaian otentik, sedangkan guru terikat dengan profil tersebut. Pada akhirnya diketahui, implementasi kurikulum tersebut kurang berhasil.
Pengukuran kinerja dan tunjangan profesi tersebut berakibat pada, pertama, guru terjebak atau tertutup untuk berkiprah di garapan, kompetensi, atau tantangan baru. Kedua, guru tidak dituntut untuk meningkatkan kemampuannya karena dari awal sampai akhir tugas dituntut dengan mata pelajaran, tujuan, materi, dan proses pembelajaran yang sama. Ketiga, materi dan proses pembelajaran tidak lain hanya menyampaikan konten mata pelajaran. Keempat, hasil pembelajaran tidak bisa beranjak dari capaian pengetahuan mata pelajaran.
Akibat buruk tidak hanya terjadi pada peran dan kontribusi guru, tetapi juga berakibat terhadap mahalnya biaya pendidikan. Jumlah guru terus meningkat menjadi 3,37 juta (BPS 2022/2023). Jumlah ini menjadi biaya bagi kementerian dan masyarakat melalui pajak untuk sertifikasi dan tunjangan profesi.
Masyarakat penyelenggara pendidikan swasta dituntut untuk mempekerjakan banyak guru sesuai dengan jumlah mata pelajaran. Karena banyak guru, dibutuhkan dana untuk membayarnya.
Biaya pendidikan ini pada akhirnya dibebankan kepada peserta didik. Mereka yang miskin terpaksa putus sekolah. Tahun 2023, BPS (Juni 2023) menyebutkan angka putus sekolah SD 0,13 persen, SMP 1,06 persen, dan SMA 1,38 persen. Begitu juga sekolah swasta terpaksa tutup karena kesulitan pendanaan.
Alternatif
Untuk mengatasi masalah pendidikan tersebut perlu dicarikan solusi. Terkait dengan tujuan, proses, dan hasil pendidikan, seharusnya disepakati bahwa pendidikan harus bertujuan dan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi dan karakter yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan. Proses pendidikan berupa pembentukan kompetensi dan karakter.
Peran serta dan kontribusi penyelenggara pendidikan atau masyarakat terus ditingkatkan dengan bantuan kajian, pengadaan dan diklat guru, sertifikasi pendidik, peningkatan kualitas layanan, dan lainnya. Karena berhasil dalam inovasi pendidikan, jumlah sekolah, guru, peserta didik, dan lainnya, pengembangan dan implementasi kurikulum sudah seharusnya diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan.
Kinerja guru dan tunjangan profesi perlu disesuaikan dengan tantangan implementasi kurikulum, kompetensi, dan pengembangan SDM. Arah baru kinerja guru dan tunjangan profesi didasarkan, pertama, pada peran dan kontribusi guru di dalam mengatasi tantangan baru.
Mereka harus siap mengajar mata pelajaran lain, mengajar dengan berbasis tema, mengajar dengan berbasis kompetensi dan karakter. Hal yang lebih diperlukan lagi ke depan adalah guru sebagai fasilitator untuk mengelola sumber belajar masyarakat dan lingkungan.
Kementerian harus memerdekakan sistem pendidikan nasional dari lingkaran setan pendidikan yang buruk.
Kedua, guru dituntut selalu belajar dan bekerja sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat. Guru menjadi inspirator perkembangan peserta didik. Ketiga, materi, proses, dan hasil pembelajaran diupayakan pada pencapaian kompetensi dan karakter peserta didik.
Sudah saatnya kementerian menetapkan kebijakan yang sesuai dengan tuntutan implementasi kurikulum, pemberdayaan penyelenggara pendidikan di tingkat satuan pendidikan untuk melakukan implementasi kurikulum yang berkualitas, dan penyempurnaan pengelolaan kinerja guru dan tunjangan profesi, yang mendorong peran dan kontribusi guru. Kementerian harus memerdekakan sistem pendidikan nasional dari lingkaran setan pendidikan yang buruk.
Agus Rachman, Pendiri Masjid dan Pesantren Jati Lemah Sugih