Derai Pohon-pohon Kesedihan
Para leluhur Nusantara dan orang-orang tradisional percaya bahwa mitos hutan larangan telah menyelamatkan hutan.
Pernahkah kau mendengar pohon-pohon bersedih? Sebatang pohon ara ratu (Ficus albipilaMiq) yang tumbuh cukup jauh dari jalur pedestrian di Kebun Raya Bogor meneteskan air mata saat tubuhnya disayat-sayat. Pada batangnya yang indah tertulis nama-nama manusia, seperti Adnan, DR, Dul, Dongkal, dan Fikri. Pada bagian lain dari batangnya yang berpiuh ada nama Robi (tanda jantung) Regita. Tepat di atas tulisan itu terdapat simbol berupa rumah yang tampak dari depan. Lebih ke atas lagi, samar-samar terdapat pula torehan kata Ilahi yang besar.
Entah kenapa sahabat kami—Diah, Thomas, dan Ari, ketiganya kebetulan praktisi dan konsultan psikologi (spiritual)—sejak awal menjadwalkan kunjungan ke Kebun Raya Bogor. Thomas, bahkan, dikenal sebagai penekun Sukyo Mahikari, ilmu yang menggunakan cahaya Ilahi dalam diri untuk merevitalisasi semangat, pikiran, tubuh, dan memelihara jiwa. Para praktisinya percaya bahwa cahaya mewakili kebijaksanaan, cinta, dan kehendak Ilahi.
Ketika aku menghentikan buggy car di tepi jalur pedestrian, Thomas bergegas berjalan menuju pohon tinggi besar dengan batang bawahnya berpiuh-piuh pipih. Aku tertarik menyusul melihat keindahan pohon yang tampak unik dibanding pohon-pohon lainnya.
Sejurus kemudian mulai tampak sayatan-sayatan benda tajam. Entahlah mungkin batu atau pisau atau cutter, yang melukai batang pohon. Bahkan kata-kata seperti Ilahi tadi tampaknya sudah lama disayatkan. Pohon yang kemudian kami tahu bernama ara ratu itu berusaha menyembuhkan diri. Perlahan-lahan ia tutup huruf-huruf yang pernah secara kasar ditorehkan pada tubuhnya.
Thomas geleng-geleng kepala. Sebagai seorang ahli transpersonal pychology, ia seolah bisa mendengar pohon itu bersedih. Memang setelah itu tiba-tiba gerimis turun. Suara gemuruh dari kali yang tak jauh dari lokasi kami, ditingkahi gemeritik dedaunan yang ditimpa titik-titik gerimis. Itukah kabar sedih yang kami terima hari ini?
Ficus albipila yang kami kunjungi masih muda. Mungkin usianya belum 100 tahun. Beberapa meter dari situ terdapat pohon yang sama, yang ditanam bersisian dengan pohon meranti tembaga (Shorea leprosula Miq). Menurut catatan, kedua pohon itu ditanam tahun 1866, berarti usianya kini sudah mencapai 158 tahun!
Terbukti, kan, bahwa usia pohon jauh melampaui usia rata-rata manusia? Kedua pohon itu kini dikenal sebagai pohon jodoh. Ia berbeda jenis: ara ratu dan meranti tembaga, tetapi bisa hidup ”bersama” tanpa saling menyakiti selama ratusan tahun. Bagaimana dengan manusia?
Pohon-pohon jauh lebih bersahabat dan sabar menghadapi hantaman zaman dibanding manusia. Ia tidak pernah ingin abadi dengan merusak keberadaan makhluk lain. Tugasnya melindungi dan memberi kepada segenap makhluk.
Ingat-ingat lagi kisah Siddharta Gautama yang bersemedi di bawah pohon bodhi, yang kemudian melahirkan istilah bodhisatwa. Istilah ini mengacu kepada keinginan yang tulus untuk memperoleh pencerahan dengan mendedikasikan diri kepada semua makhluk yang menderita. Lantaran itulah salah satu doa (mantra) terpenting dalam ajaran Buddha berbunyi: sabbe satta bhavantu sukhitatta (semoga semua makhluk berbahagia).
Pada sebatang pohon ara di tengah hutan, Lubdaka mendaraskan doa sepanjang malam bulan mati (Tilem Kepitu) untuk memperoleh keselamatan hidup dan menebus segala dosa sebagai pemburu yang telah membunuh banyak binatang. Ia memperoleh pencerahan dari Dewa Siwa, yang bersemedi tepat di bawah pohon ara itu dan masuk surga karena ketabahannya sepanjang malam. Sampai kini Tilem Kepitu diperingati sebagai hari suci Siwa Ratri, hari pemujaan terhadap Dewa Siwa, untuk menebus segala dosa.
Umat yang melakukan malam penebusan dosa di berbagai tempat suci biasanya mengucapkan mantra: Om namah Shivaya, hamba mohon perlindungan, tuntunan, dan keselamatan dari Dewa Siwa.
Baca juga: Sihir Jimat Harimau dan Pemburu yang Diburu
”Kalau bisa hiduplah sebagai pohon pule,” kata Bapak saat usiaku 9 tahun.
”Kan itu tanda kuburan? Takut,” kataku spontan.
”Banyak orang keliru,” lanjut Bapak. ”Pohon pule tumbuh di tempat angker karena ia melindungi diri, sekaligus menjadi tempat berlindung burung, musang, dan ular.”
”Kenapa harus jadi pohon pule?” aku penasaran.
”Selain menjadi pelindung, pule juga menjadi penyembuh alami. Ia menyiapkan seluruh kulitnya sebagai obat.…”
”Obat apa? Obat takut bisakah, Pak?” aku tambah penasaran.
”Pule menyediakan kulitnya untuk menumbuhkan kulit makhluk lain….”
Sesaat aku diam. Bapak benar-benar membuatku berpikir. Bagaimana mungkin sebatang pohon menumbuhkan kulitnya untuk mengganti kulit makhluk lainnya.
”Jadi, kulit pule dipindahkan ke kulit makhluk lain, gitu?”
”Tidak juga semacam itu. Babakan kulit pule setelah diolah bisa menyembuhkan luka dan mengganti kulit yang hilang karena luka,” tegas Bapak. Maksud Bapak, babakan itu tak lain dari kupasan kulit pule.
Selain itu, lanjut Bapak, ekstrak kulit pule bisa diminum untuk menyembuhkan demam, menurunkan tekanan darah, serta menyembuhkan vertigo dan malaria. Jadi, jangan heran jika di Bali kau menemukan hampir seluruh kulit pohon pule dikelupas.
”Kalau terus dikelupas, bukankah pohon pule bisa mati?” tanyaku.
”Hanya pohon sekelas pule yang mau berkorban tanpa pamrih. Nanti perlahan ia akan menyembuhkan dirinya sendiri.”
”Tapi, kan, pohon bisa sedih, Bapak?”
”Kesedihan yang layak dijalani karena berguna buat makhluk lain,” tutup Bapak.
Kesedihan sebatang pule berbeda dengan pohon river redgum (Eucalyptus camaldulensis) di Kebun Raya Royal Melbourne, Australia, yang telah berusia 400 tahun lebih. Sampai tahun 2015 kondisi pohon ini semakin kritis karena mengalami tindakan vandalistis. Sebagian jaringan kulit pada batangnya dikelupas secara brutal oleh pelaku aksi vandalisme. Padahal, pohon river redgum menjadi saksi ”bisu” pemisahan wilayah Victoria dari Negara Bagian New South Wales (NSW) tahun 1850. Oleh sebab itulah, pohon tua ini sering disebut sebagai ”separation tree”.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan para pengurus Kebun Raya Royal Melbourne, mereka tetap gagal menyambung dan menumbuhkan jaringan kulitnya. Direktur Kebun Raya Royal Melbourne Tim Entwisle mengatakan, stafnya sudah mendapati pohon tersebut sekarat. ”Pohon ini berbunga dan berbuah banyak, itu pertanda yang tidak baik,” kata Profesor Entwisle kepada media.
Ketika mendapati perilaku pohon semacam itu, tambahnya, pertanda bahwa pohon tersebut sedang berusaha menghasilkan benih lebih banyak. ”Karena dia tahu dia akan segera mati,” ujar Entwisle.
Pernyataan itu mengingatkanku pada sebatang pohon jambu jamaika milik tetangga di Bintaro. Mungkin kareka percaya pada logika ”menyayat-nyayat” batang pohon bisa mendorongnya cepat berbuah, dengan semena-mena tetangga itu melakukannya. Benar, jambu jamaika itu memberi hasil sampai 2-3 kali berbuah sangat lebat. Para juru sapu perumahan kami biasanya berebut mendapat jambu jamaika yang merah kehitaman itu.
Tahukah kau nasib pohon itu kini? Setelah berbuah terakhir kali, kira-kira dua tahun lalu, daun-daunnya mulai rontok, rantingnya mengering, dan kini seluruh batangnya keropos. Setelah memberi buah selama bertahun-tahun, pohon itu kini seperti berdiri di atas padang pasir. Tubuhnya ringkih, kering, mudah patah, dan (mungkin) sebentar lagi lapuk dan mati.
Pohon butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan luka sayatan. Pohon pule, kata Bapak, baru bisa diambil kembali kulitnya setelah 10 tahun dibiarkan melakukan masa ”hibernasi”. Pada masa itu pohon mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk membuat kulit baru, selapis demi selapis sampai pada kulit pelindung di bagian luarnya.
”Luka pohon kaktus ini tak bisa sembuh,” kata Thomas.
Kami bersama-sama mengunjungi Taman Meksiko di bagian timur Kebun Raya Bogor. Di dalamnya terdapat koleksi lengkap pohon kaktus dari berbagai jenis. Alangkah sayangnya, sebagian besar batang dan daun kaktus disayat-sayat para pengunjungnya. Mereka ingin membuat semacam ”legasi” atau semacam kata-kata ”nostalgia” untuk membuktikan bahwa mereka pernah datang ke tempat itu dan eksis.
Coba saja lihat, ada nama-nama orang seperti Emi Padang, Sailan, Eja, Dilca, Addin, Marsya, Alex, dan Wiany. Pada batang pohon lainnya terdapat tulisan Oxalist, Rizal, Aam (gambar jantung) Tia, Perdi (gambar jantung) Tati, dan Yudha. Nama-nama ini bisa diperpanjang pada pohon kaktus lainnya lagi, seperti Adel, Oki, Zulfana, Lidya, Ayah, dan Adit.
Apakah tindakan ini keren? Dalam sejarahnya vandalisme adalah tindakan perusakan benda-benda seni, seperti patung di kota Roma pada zaman Romawi Kuno sekitar tahun 455 M. Bangsa Vandal yang menyerbu Roma dianggap paling bertanggung jawab terhadap perusakan benda-benda seni. Penyair Britania Raya John Dryden tahun 1694 menulis bahwa bangsa Vandal dan Goth adalah bangsa utara yang kasar. Istilah vandalisme baru muncul tahun 1794 oleh Uskup Blois bernama Henri Gregoire ketika terjadi perusakan benda-benda seni dalam Revolusi Perancis.
Perusakan itu tak sekadar mencorat-coret, tetapi juga mengamputasi dan bahkan menghancurkan benda-benda seni. Belakangan istilah vandalisme menjadi populer di wilayah-wilayah downtown sebuah kota, di mana terdapat coretan-coretan yang mirip grafiti. Coretan-coretan itu tak sekadar menulis nama-nama pencoret, tetapi banyak yang berisi pernyataan atau protes sebagai ekspresi ketidakpuasan.
Celakanya di Indonesia, baik dinding-dinding kota maupun pohon-pohon mengalami tindak vandalistis saat-saat perhelatan seperti pilpres, pileg, atau pilkada. Para anggota tim kampanye capres dan cawapres atas nama demokrasi menempelkan dan bahkan memaku spanduk dan baliko kampanye di dinding kota dan pohon. Di beberapa daerah ditemukan aksi vandalisme yang merugikan pertumbuhan pohon-pohon.
Pertanyaannya sederhana, apakah kita sedang melanjutkan aksi perusakan yang berabad-abad lalu telah dilakukan oleh bangsa Vandal? Jika jawabannya ”ya”, bisa dipastikan umat manusia tidak pernah mengalami ”kemajuan”, apalagi ”penyempurnaan” dalam perilaku sehari-harinya. Tindak kekerasan yang merugikan telah menjadi ”tindakan” yang dianggap wajar apabila memiliki konteks kebernegaraan.
Demokrasi telah menjadi kata sakti untuk membenarkan sebuah pelanggaran. Apa bedanya para calon penyelenggara negara itu dengan anak-anak muda ”genit” yang menorehkan nama-nama mereka di pohon kaktus?
Baca juga: Robohnya Lumbung Padi Kami
Aku mendengar pohon-pohon di Kebun Raya Bogor berkeluh kesah. Mengapa mereka tidak seperti pohon kayu putih tua di Desa Tua, Marga, Tabanan. Pohon indah dan artistik itu secara relatif dihormati sebagai pohon yang bermartabat. Tak jarang orang-orang melakukan meditasi di bawahnya. Mungkin meniru ritual yang dijalankan Siddharta Gautama di bawah pohon bodhi. Tentu saja tidak sekadar meniru. Di bawah pohon kayu putih, istilah lokal untuk pohon ara ratu, itu terdapat sebuah pura untuk memuja Tuhan.
Jika begitu halnya, menjadi relevan dan masuk akal, mengapa pohon-pohon tua dan besar bisa tumbuh lestari di tempat-tempat yang dikeramatkan, termasuk kuburan. Ajaran leluhur tentang hutan larangan dan pohon-pohon keramat, tak lain adalah local genius untuk melestarikan pohon. Para leluhur Nusantara dan orang-orang tradisional, sampai hari ini percaya bahwa mitos hutan larangan telah menyelamatkan hutan dari keganasan pembegalan.
Sayangnya, ajaran mulia itu hanya dipahami sebagai mitos an sich, mitos yang hanya berisi dongengan anak kecil sebelum tidur. Kata lainnya, omong kosong belaka, hanya dikarang untuk membuat rasa takut. Mitos cuma dipahami sebagai tahayul belaka.
Terbukti, peraturan dan pengawasan seketat apa pun selalu berhasil dibobol oleh para pengunjung di Kebun Raya Bogor. Jika penjagaan dan penyadaran tak mampu berbuat banyak, rasanya sudah saatnya membangun mitos-mitos baru untuk menyelamatkan pohon-pohon. Penyelamatan itu sudah harus menjadi gerakan bersama dengan kesadaran bahwa pohon selalu memberi dan melindungi manusia. Pohon tak pernah minta lebih kecuali tanah untuk bertumbuh dan berbiak.
Aku mendengar deraian kesedihan bersahut-sahutan di bawah kanopi hutan Kebun Raya Bogor. Samar-samar kudengar baris-baris puisi penyair Frans Nadjira mengalir: //…Pohon kesayangan burung-burung terbakar/Halilintar siang mengalirkan apinya/sampai ke akar/ Telur-telur!/Telur-telur meletus/Gugur jadi cairan mengental/ke dalam racikan api…//
Kepada siapakah pohon-pohon mencari perlindungan? Halilintar siang itu benar-benar telah menghancurkan benih-benih yang tumbuh pada setiap cabang pohon. Bahkan sampai burung-burung pun bisa merasa kehilangan. Mengapa manusia tidak?
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, sastrawan, sutradara, kurator Bentara Budaya, pengajar Creative Writing London School of Public Relations (LSPR) Jakarta