Kurikulum Merdeka untuk Siapa?
Kurikulum Merdeka adalah produk yang belum selesai. Sebab dicoba dulu (2020), naskah akademiknya belakangan (2022).
Belum pernah dalam sejarah pendidikan Indonesia, dilaksanakan survei populasi dengan daya jangkau hingga 267.381 sekolah dan madrasah dalam satu laporan Rapor Pendidikan Indonesia. Rapor pendidikan ini meliputi penilaian literasi, numerasi, keamanan sekolah, penyerapan SMK, dan angka partisipasi sekolah.
Data tersebut ditarik dari Asesmen Nasional, Data Pokok Pendidikan-Education Management Information System (Dapodik-EMIS), Badan Pusat Statistik (BPS), aplikasi pendidik dan tenaga kependidikan (Platform Merdeka Mengajar/PMM, Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah/ARKAS, dan Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian yang Berkelanjutan/SIMPKB), Badan Akreditasi Nasional (BAN), dan Tracer Study untuk SMK.
Hal itu bermuara pada keberhasilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi pusat jaringan untuk menghimpun data pendidikan ke dalam big data dari negara dengan jumlah 3,37 juta guru dan 53,14 juta siswa. Namun, tumbal dari penggalian data pendidikan secara nasional dibayar dengan tidak murah.
Baca juga: Rapor Pendidikan Jangan Sebatas Formalitas
Total anggaran Program Prioritas Merdeka Belajar 2023 sebesar Rp 4,57 triliun. Untuk pengembangan sistem semua platform digital pendidikan Merdeka Belajar pada 2022-2023 berbiaya Rp 969,6 miliar atau hampir Rp 1 triliun (Rapat Kerja Mendikbudristek-Komisi X, 30/8/2022).
Pada anggaran 2024, untuk biaya sistem dari platform saja menelan anggaran Rp 521 miliar, untuk sewa data awan Rp 180 miliar, dan untuk biaya kemitraan platform digital sebesar Rp 37,5 miliar (Rapat Kerja Mendikbudristek-Komisi X, 7/11/2023). Artinya, kita masih harus menanggung sekitar Rp 0,7 triliun pada 2024 hanya untuk merawat berbagai platform pendidikan yang tidak murah ini.
Selain itu, program Sekolah Penggerak (SP) yang dipilih untuk mencoba Kurikulum Merdeka yang dinamai Kurikulum Prototipe mendapatkan dana BOS Kinerja berjenjang dari SD sampai SMA dengan kisaran Rp 150 juta-Rp 200 juta per tahun. Tahun 2021 anggaran SP mencapai Rp 191,1 miliar. Semua biaya ini terlalu mahal jika dipakai hanya untuk membela Kurikulum Merdeka dengan dalih telah berhasil meningkatkan skor literasi anak Indonesia, (5/3/2024).
Demi kurikulum
Kenyataannya, hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa skor matematika, membaca, dan sains Indonesia menurun di bawah rata-rata negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Meskipun dalam perilisan Rapor Pendidikan Indonesia 2024 disampaikan bahwa capaian Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Merdeka (yang mana sama saja) berhasil menaikkan angka capaian, tidak jelas bagaimana kenaikannya dan seperti apa skalanya.
Entah mengapa, hasil Rapor Pendidikan Indonesia 2024 tidak diterbitkan dalam laman resmi raporpendidikan.kemdikbud.go.id. Informasi lebih luas mengenai rapor nasional secara detail juga tidak akan bisa diakses.
Kemendikbudristek berargumen bahwa Rapor Pendidikan Indonesia tidak dipublikasikan secara lengkap karena upaya konsisten agar tidak ada perankingan. Dengan cara rapor tersebut hanya bisa dilihat oleh sekolah, dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota wilayahnya sendiri.
Seturut dengan itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo dalam pertemuan terakhir negara-negara OECD, yang membahas program PISA, menyebut Indonesia mengusulkan agar pemeringkatan dalam hasil PISA dihapuskan (Aditomo, 27/3/2023). Ini seperti mengusulkan agar sebuah perlombaan tidak ada juaranya.
Bagaimanapun negara-negara yang tertarik mengikuti PISA, pada titik tertentu, berlomba-lomba untuk perankingan. Usul tersebut menjadi paradoks ganda; justru perankingan PISA yang dikritik wakil Indonesia, menyelamatkan reputasi kementerian karena rankingnya naik, meskipun skor membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia jeblok.
Belum jelas mengapa skor numerasi dalam Rapor Pendidikan Indonesia 2024 tidak diperlihatkan. Yang jelas, skor matematika siswa Indonesia setara para siswa di Palestina yang sekolahnya porak-poranda (OECD, 2023).
Kemendikbudristek berargumen bahwa Rapor Pendidikan Indonesia tidak dipublikasikan secara lengkap karena upaya konsisten agar tidak ada perankingan.
Dalih menghilangkan perankingan sepertinya tidak berlaku universal dari sisi kebijakan. Dalam kebijakan lain, seperti instalasi PMM kepada seluruh gawai guru, Kemendikbudristek diduga secara aktif menerapkan perankingan untuk menekan dinas pendidikan agar para guru di wilayahnya segera menginstal platform tersebut.
Dinas pendidikan tidak bisa mengelak karena Kemendikbudristek memiliki data pembanding jumlah guru tiap daerah. Artinya, patut diduga Kemendikbudristek melakukan perankingan secara tersembunyi untuk tujuan khusus.
Kondisi ini menyebabkan tekanan struktural dari dinas pendidikan secara berjenjang kepada pengawas dan kepala sekolah dalam praktik imbauan setiap pagi di sekolah. Semua tekanan tersebut bertumpu pada pundak guru dan menjadi beban paling besar bagi mereka.
Jika disimpulkan, intervensi khusus kepada sekolah penggerak dengan penggelontoran sejumlah dana BOS kinerja, survei literasi dalam Rapor Pendidikan Indonesia, dan instalasi PMM secara nasional adalah harga yang terlalu mahal jika dibuat hanya untuk menyelamatkan wajah kurikulum yang tidak merdeka.
Keberhasilan yang gagal
Persoalannya, apa yang disebut sebagai Kurikulum Merdeka tidak jelas kedudukannya. Jika kita definisikan sejak menjadi program Sekolah Penggerak hingga diluncurkan dalam episode Merdeka Belajar 2022, kurikulum ini memiliki ontologis yang paradoks.
Kurikulum Merdeka dianggap terinspirasi dari Kurikulum Darurat. Ketika dicoba di Sekolah Penggerak disebut Kurikulum Prototipe dan ketika disebarkan, disebut Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). Namun, naskah akademiknya bernama kurikulum dalam masa pemulihan pembelajaran, lebih identik menjelaskan Kurikulum Darurat daripada Kurikulum Merdeka.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa penerapan kurikulum ini tidak bersifat paksaan. Namun, pada praktiknya sekolah dirongrong melalui imbauan-imbauan berjenjang dan dijegal dengan cara ditinggalkan berbagai program kementerian karena bertahan dengan kurikulum yang lama.
Pernyataan bahwa Kurikulum Merdeka berasal dari guru juga sangat dipertanyakan. Sebab, sejak awal diterapkan lebih banyak menimbulkan persoalan daripada memudahkan pembelajaran (Kompas, 1/3/2024).
Baca juga: Lipatan dalam Kurikulum Merdeka
Tidak berhenti di situ, kurikulum ini juga merongrong para guru melalui notifikasi PMM yang diinstal melalui gawai pribadi. Meskipun fakta pemaksaan kurikulum ini selalu dibantah, kenyataannya, menurut Presiden Joko Widodo, para guru justru semakin stres (25/10/2023) akibat beban aplikasi. Sebab, semua fitur kegiatan, kesejahteraan, dan karier guru diarahkan pada PMM. Bahwa, penyelesaian menonton video dalam modul mengenai Kurikulum Merdeka adalah pintu masuk yang tidak bisa dilompati. Inilah kekuasaan Kurikulum Merdeka yang bersifat memaksa.
Menurut Michael Young (2019), ada dua kekuasaan dalam kurikulum. Salah satunya adalah kekuasaan untuk memilihkan pengetahuan bagi siswa. Dalam regulasi, kekuasaan kurikulum ini berjenjang. Gobby & Walker (2017) dalam buku berjudul Powers of Curriculum menyebutkan bahwa di antaranya ada kurikulum resmi, kurikulum yang diterapkan guru, kurikulum yang dinegosiasikan dengan siswa, kurikulum yang dikembangkan sesuai keadaan yang sedang terjadi, kurikulum yang tidak sengaja diajarkan, dan kurikulum yang dipelajari siswa, dan kurikulum yang tersembunyi.
Jika tipe kurikulum ini kita sematkan pada Kurikulum Merdeka, Kurikulum Merdeka seharusnya adalah kurikulum resmi (official). Namun menjadi tidak resmi sebab peraturan dengan nomenklatur Kurikulum Merdeka baru uji publik dan belum ada. Persoalannya, kurikulum resmi ini adalah produk yang belum selesai. Sebab dibuat terbalik, dicoba dulu (2020), naskah akademiknya belakangan (2022).
Sementara itu, pembelaan terhadap Kurikulum Merdeka selalu bersifat sampling dari keberhasilan personal guru menerapkan pembelajaran. Ini untuk tidak menyebut bahwa Kurikulum Merdeka menggunakan politik media dengan mencomot keberhasilan satu dua guru yang diamplifikasi seperti iklan pembelajaran.
Menurut Goby & Walker, penerapan kurikulum merupakan bentuk agensi guru, sebagai praktik umum yang terjadi pada kurikulum apa pun. Para guru yang menemukan cara kreatif untuk menerapkan kurikulum selalu ada sepanjang sejarah kurikulum.
Sementara itu, Kurikulum Merdeka juga selalu diklaim sebagai kurikulum yang berpihak kepada anak, dengan asumsi pasti baik dipelajari anak. Padahal, konsep berpusat kepada siswa (student centered) juga merupakan prinsip kurikulum sebelumnya (K13).
Kurikulum Merdeka justru menyebabkan kebingungan masal sejak era 2021-2024 sebab capaian pembelajaran (CP) Kurikulum Merdeka berubah hingga enam kali. Misal tahun 2022-2023, CP berganti dua kali setiap tahun. Lalu bagaimana cara guru merencanakan pembelajaran dalam satu tahun jika di tahun yang sama CP Kurikulum Merdeka terus berubah?
Perubahan-perubahan yang dimaksud disebabkan berbagai faktor, salah satunya karena ada satu jenjang atau mata pelajaran dalam CP tersebut menimbulkan masalah ketika diterapkan di sekolah. Patut diakui, Kurikulum Merdeka bukanlah produk yang selesai ketika diterapkan. Padahal, seharusnya jika partisipasi publik ”yang bermakna” dilakukan sejak awal, revisi dengan jarak pendek semacam ini tidak perlu terjadi.
Setiap kebijakan pendidikan dan perubahan kurikulum harus diawali dari dua pertanyaan. Pertama, siapa yang diuntungkan? Kedua, untuk siapa kurikulum ini?
Kenyataannya, ketidakberesan produk kurikulum resmi dari Kurikulum Merdeka membuat pembelajaran terganggu karena guru sibuk membuka PMM sehingga mengurangi porsi mereka fokus pada mengajar. Di Kabupaten Tolikara, Papua, para guru harus naik ojek dengan biaya Rp 500.000 hanya untuk mengisi PMM di tempat ada sinyal (Kompas, 14/2/2024).
Penulis juga menemukan untuk pengisian PMM saja para guru di Nusa Tenggara Timur meliburkan siswanya. Sementara itu, secara merata, para guru sering kali membawa beban pengisian PMM hingga larut malam di rumah mereka.
Sepertinya, kita perlu kembali pada ceramah Michael Apple tentang Power, Policy, and the realities of Curriculum and teaching (2016). Menurut Apple, setiap kebijakan pendidikan dan perubahan kurikulum harus diawali dari dua pertanyaan. Pertama, siapa yang diuntungkan? Kedua, untuk siapa kurikulum ini?
Inilah paradoksnya. Kemendikbudristek menggenjot Kurikulum Merdeka melalui PMM dengan biaya tidak murah, sementara para guru yang menjadi penggunanya juga masih bekerja lebih keras untuk mengisi trafik PMM. Demi mengejar bukti data penggunaan kurikulum.
Artinya, anggaran pendidikan dihabiskan demi sebuah pembuktian keberhasilan kurikulum, memeras tenaga para penggunanya, tetapi tidak jelas dampaknya pada kemajuan pendidikan Indonesia. Lalu, siapakah mereka yang diuntungkan dari perubahan kurikulum ini?
Iman Zanatul Haeri, Guru, Kabid Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta