Memaksakan Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka belum pantas menjadi kurikulum nasional. Perlu evaluasi secara kritis dan komprehensif terlebih dulu.
Keampuhan Kurikulum Merdeka sebagai alternatif kurikulum belumlah teruji. Banyak dimensi akademik dan non-akademik yang menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka yang muncul dari pengembangan prototipe kurikulum di masa pandemi Covid-19 belum pantas dijadikan kurikulum nasional.
Kurikulum Merdeka perlu dievaluasi secara kritis dan komprehensif oleh lembaga independen untuk menilai sejauh mana kurikulum ini efektif. Masih banyak kelemahan mendasar, baik dari sisi akademik berupa fundamen teori kurikulum yang dipergunakan, kerangka kurikulum yang menjadi dasar visi pendidikan masa depan, dan keterkaitannya dengan struktur kurikulum yang diimplementasikan, maupun kesiapan para guru sebagai pelaksana kurikulum.
Dari sisi non-akademik, proses implementasi dan mitigasi terhadap kurikulum ini tidak digarap serius secara egaliter sehingga implementasi kurikulum ini menjadi berjarak terhadap para pendidik dan pengelola pendidikan. Kesan transformasi top down yang menjadi kritik dari banyak proses perubahan kurikulum justru semakin nyata.
Baca juga: Jalan Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional yang Baru
Ada sepuluh catatan kritis yang menjadi dasar alasan mengapa memaksakan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional hanya akan membawa kegaduhan dalam transformasi pendidikan.
Pertama, karena sebagai sebuah kurikulum yang menentukan nasib semua anak Indonesia, kajian-kajian ilmiah di kalangan akademisi yang dilakukan secara terbuka tidak dilakukan. Dalam persiapan pembuatan draf Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) pun naskah kajian akademik hanya dibuka secara terbatas sehingga publik dan akademisi tidak bisa memperoleh argumentasi mengapa Kurikulum Merdeka akan segera dipaksakan secara nasional.
Terlebih, dalam proses diskusi terbatas pun tidak ada naskah yang menunjukkan bagaimana kerangka kurikulum didesain, apa dasar filosofisnya, serta urgensi dan relevansinya dengan transformasi pendidikan masa depan. Hal ini seharusnya dikomunikasikan ke publik, kalau perlu dibahas secara akademik di kalangan akademisi. Namun, dinamika intelektual seperti ini tidak terjadi.
Kedua, dari sisi teori kurikulum, Kurikulum Merdeka menegaskan kembali apa yang sudah dimulai dalam Kurikulum 2013, yaitu filsafat pendidikan yang berpusat pada pemelajar. Konsepsi ini pun perlu dikritisi karena Kurikulum 2013 tampaknya gagal mengimplementasikan landasan filosofis ini selama 20 tahun, sementara selama ini filsafat pendidikan berkembang pesat dan Indonesia mengalami tantangan sosial, budaya, ekonomi, yang melaju cepat, sehingga filosofi pendidikan berpusat pada anak pun perlu ditinjau ulang.
Ironisnya, konsep ini di Kurikulum Merdeka dilepaskan dari berbagai dimensi lain dalam konstruksi sistem kurikulum, seperti sistem evaluasi dan penilaian yang koheren dan ketat. Hal ini hanya akan melahirkan anak-anak manja yang sekadar mau mempelajari apa yang disukainya semata. Kurikulum Merdeka melahirkan anak-anak yang seolah-olah mau belajar, tetapi sesungguhnya tidak belajar apa-apa.
Kurikulum Merdeka, menurut terminologi Andy Hargreaves (2021), terjebak dalam mitos pembelajaran menyenangkan dengan andalan utamanya Pembelajaran Proyek Profil Pelajar Pancasila. Hargreaves menyatakan bahwa pembelajaran menyenangkan hanyalah mitos karena belajar melibatkan disiplin, ketekunan, kerja keras, dan komitmen. Sesuatu yang menyenangkan tidak selalu terkait dengan pembelajaran yang mendalam.
Ironisnya, konsep ini di Kurikulum Merdeka dilepaskan dari berbagai dimensi lain dalam konstruksi sistem kurikulum.
Pembelajaran mendalam ini tidak terjadi di Kurikulum Merdeka. Di dalam prinsip belajar Kurikulum Merdeka, sebagaimana dalam draf Permendikbudristek, sangat abai terhadap hasil belajar. Dalam prinsip pembelajaran disebutkan bahwa kurikulum ”memprioritaskan terjadinya kemajuan belajar peserta didik di atas cakupan dan ketuntasan muatan kurikulum yang disampaikan”.
Artinya, tidak ada disiplin dalam mencapai sebuah hasil belajar karena dibebaskan begitu saja. Tidak tuntas belajar tidak apa-apa. Lalu, apa makna belajar apabila demikian? Hal ini diperparah dengan penekanan disiplin positif yang dangkal, longgarnya sistem penilaian, dan evaluasi secara obyektif.
Ketiga, dari sisi kerangka kurikulum, Kurikulum Merdeka tidak mampu menjelaskan di mana keterkaitan antara tujuan pendidikan nasional dengan konstruksi isi materi keilmuan, perilaku, sikap, dan bagaimana kaitannya tujuan pendidikan itu dihela dalam berbagai mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan kokurikuler. Dengan demikian, Kurikulum Merdeka hanya berisi rentetan materi belajar (yang ini pun struktur dan alur berpikir logisnya pun masih dipertanyakan) yang wajib dipelajari tanpa ada visi besar bagaimana keterkaitan semua itu dengan tujuan pendidikan nasional.
Apalagi ada kesalahan fundamental dalam konsep capaian pembelajaran (CP) yang ditentukan dari pusat. Capaian pembelajaran ini adalah domain kompetensi guru, bukan pemerintah. Pemerintah itu fokusnya di standar isi, bukan CP.
Literasi membaca
Keempat, terlepas dari berbagai macam kondisi pandemi yang dihadapi, Kurikulum Merdeka ternyata tidak mampu menaikkan skor PISA yang menjadi tanda kualitas pendidikan yang diperbandingkan antarbangsa. Skor PISA 2022 Indonesia jeblok. Bahkan, skor literasi terjun bebas ke dalam jurang, mundur 20 tahun.
Konsepsi transisi pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD) yang menyenangkan pun perlu dipertanyakan karena Kurikulum Merdeka justru menghilangkan standar kemampuan baca dan numerasi awal yang seharusnya dipelajari anak-anak sejak masuk SD. Akibatnya, banyak anak sampai kelas III bahkan sampai SMP kelas VII ada yang tidak bisa membaca. Ini sebuah sistem yang mendegradasi kecerdasan anak-anak Indonesia.
Kelima, lemahnya literasi membaca ini dipertegas dengan konsep pembelajaran terdiferensiasi yang secara konseptual tidak mampu dipahami para instruktur, apalagi para guru. Konsep ini apabila tidak disertai asesmen awal tentang anak-anak berkebutuhan khusus, akan menjadikan anak-anak semakin tertinggal dalam proses belajar karena anak akan selalu naik kelas.
Baca juga: Membandingkan Realitas PISA 2022 dan Interpretasi Pemerintah
Kurikulum Merdeka mengutamakan promosi daripada retensi, atau tinggal kelas. Maka, ada konsep fase sehingga anak tidak ada tinggal kelas, semua naik, hanya fasenya yang beda. Perbedaan tahapan belajar ini diintervensi dengan pembelajaran terdiferensiasi.
Faktanya, guru tetap memakai pola ajar lama karena tidak paham bagaimana diferensiasi diterapkan. Akibatnya, anak-anak yang lambat belajar banyak masuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus karena tidak terdeteksi sejak awal kemampuannya.
Keenam, kalau yang menjadi dasar pemilihan Kurikulum Merdeka adalah argumentasi bahwa selama masa pandemi kurikulum ini efektif mengatasi learning loss, maka perlu dilihat datanya. Faktanya, selama masa pandemi yang mengatasi learning loss adalah Kurikulum Darurat, yaitu Kurikulum 2013 yang disederhanakan.
Saat itu cikal bakal Kurikulum Merdeka adalah Kurikulum Prototipe yang diterapkan di sekolah penggerak. Sekolah penggerak ini mengandalkan seleksi pada kualitas kepala sekolah sehingga prasyarat perubahan sudah dipatok untuk kepala sekolah dengan kriteria tertentu.
Bukti bahwa Kurikulum Merdeka itu efektif untuk semua level kompetensi kepala sekolah tidak ada. Karena itu, dalam proses transformasi, Kurikulum Merdeka hanya bisa dilaksanakan oleh kepala sekolah yang memang dari awal sudah baik, yang tanpa ada program Sekolah Penggerak pun, sekolah itu sudah akan maju.
Ketujuh, proses implementasi Kurikulum Merdeka sesungguhnya tidak terjadi dalam alam kemerdekaan dan kebebasan, sebab semua sekolah diminta mendaftarkan diri dengan berbagai macam pilihan. Namun, faktanya, banyak tekanan dan desakan, baik kepada pemda maupun sekolah, untuk memilih Kurikulum Merdeka meskipun tanpa persiapan.
Sekolah yang tidak memperoleh pelatihan guru tentang Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) pun terpaksa pontang-panting belajar sendiri yang belum tentu dapat memahaminya dengan baik. Yang mengherankan, ada sekolah yang sama sekali belum pernah memperoleh pelatihan Kurikulum Merdeka, dalam asesmennya masuk dalam kategori mandiri berbagi.
Jadi, Kurikulum Merdeka ini hanya melegitimasi sekolah-sekolah yang sudah baik saja, yang telah melaksanakan indikator dalam Kurikulum Merdeka. Sementara, sekolah lain silakan pilih dan berlatihlah sendiri, pemerintah tidak ikut campur tangan. Pemaksaan dan manipulasi seperti ini merupakan kecacatan proses implementasi Kurikulum Merdeka. Hal ini kalau dipaksakan akan melahirkan berbagai macam ketimpangan kualitas pendidikan.
Kedelapan, kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka yang dibarengi dengan proses kebijakan rapor pendidikan dengan model insentif seperti BOS Kinerja, membuat sekolah yang bagus semakin bagus, yang buruk akan semakin hancur karena tidak ada dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, terutama pada pendidikan dasar wajib belajar. Akibatnya, disparitas kualitas pendidikan antarsekolah dan antardaerah akan semakin besar. Sekolah bersaing untuk kuota BOS Kinerja dan ini menjadi kultur yang tidak sehat dalam transformasi pendidikan.
Sekolah yang tidak memperoleh pelatihan guru tentang Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) pun terpaksa pontang-panting belajar sendiri.
Kesembilan, Implementasi Kurikulum Merdeka yang dipasangkan dengan aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang dipaksakan secara terstruktur, sistematis, dan masif secara faktual menghabiskan waktu guru, mengabaikan layanan guru kepada siswa, guru sibuk dengan pelatihan dan pengembangan diri, tetapi siswa terabaikan.
Aplikasi PMM yang dipaksakan mendemoralisasi kinerja guru, mempermiskin kekayaan komunikasi manusiawi dalam pengembangan profesional guru, tidak memercayai setiap orang yang menjadi guru, dan memperbudak guru dengan gawai dan teknologi bukan demi kepentingannya sendiri dan para siswa, tetapi demi kepentingan pembuat kebijakan. Penjajahan teknologi menjadi dampak dari aplikasi PMM yang dipaksakan.
Kesepuluh, pemaksaan nomenklatur Kurikulum Merdeka, yang secara substansi kurikulum masih sangat rapuh dan masih perlu evaluasi menyeluruh menjadi kurikulum nasional sesungguhnya mencerminkan egoisme kelompok kepentingan di Kemendikbudristek. Alih-alih peduli kepada visi transformasi pendidikan di masa depan, mereka justru mengibarkan bendera sejarah bagi kelompoknya sendiri. Level kepemimpinan pendidikan saat ini sangat dangkal dan mengutamakan legasi dan pengingat diri, tanpa memikirkan kebaikan masa depan bangsa.
Sepuluh catatan kritis ini sudah cukup menjadi daya dorong bagi publik untuk menyimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka belum pantas menjadi kurikulum nasional. Pemaksaan hal ini hanya akan semakin menegaskan bahwa kepentingan diri dan kelompok kepentingan di Kemendikbudristeklah yang menjadi alasan perubahan kurikulum nasional yang prematur dan tanpa visi transformasi demi pencerdasan kehidupan bangsa.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong