Menuju Inklusivisme KUA
Ketika KUA menjadi lembaga pemerintah yang hanya melayani umat Islam, hal ini tentu menimbulkan kecemburuan pihak lain.
Baru-baru ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut melontarkan ide progresif terkait transformasi kantor urusan agama sebagai tempat pencatatan pernikahan bagi semua pemeluk agama.
Namun, untuk mewujudkan ide progresif ini, membutuhkan pemahaman dan nalar refleksi yang agak panjang. Sebab, sebagian kelompok Islam tampaknya masih merasa sensitif ketika harus memperbincangkan beda agama yang diletakkan dalam satu atap layanan.
Terlebih lagi Undang-Undang (UU) Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 poin 2 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Bahkan, sebagai turunan dari UU tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur bahwa bagi pihak yang melangsungkan perkawinan selain agama Islam, administrasinya dilakukan di kantor catatan sipil.
Menjadi wajar jika sebagian tokoh Islam, baik di jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun organisasi keislaman lain, cukup keras mengkritisi ide progresif Menteri Agama.
Selain faktor historis sebagaimana diatur dalam UU dan PP di atas, ada beban psikologis dan ideologis bagi non-Muslim jika mencatatkan pernikahannya di kantor urusan agama (KUA). Apalagi, selama ini KUA sangat identik dengan layanan umat Islam.
Oleh karena itu, betapa pentingnya membenahi ekosistem berkeluarga yang dimulai dari proses pencatatan di KUA yang inklusif hingga kelangsungan pernikahan yang dinapasi oleh spirit saling menghargai perbedaan.
Meskipun demikian, ada juga sebagian tokoh Islam yang sangat memahami dan menyepakati gagasan tersebut sebagai salah satu ikhtiar layanan birokrasi keagamaan yang bisa memayungi semua umat beragama di Indonesia.
Sebab, inti dari ide progresif Menteri Agama tersebut lebih menekankan pada pembaruan kerja administratif di lingkungan Kementerian Agama.
Maka, dalam hal pembenahan kerja administratif, sangat diperlukan perubahan yang sangat mendasar yang salah satunya adalah integrasi data dan administrasi di lingkungan Kementerian Agama.
Apalagi, dalam hal pengadministrasian, yang diperlukan adalah nalar efisiensi dan efektivitas yang memudahkan pemberian hak semua pihak tanpa pandang beda agama.
Selain itu, keberadaan KUA yang tersebar di semua kabupaten di Indonesia mempunyai tantangan geografis yang berbeda-beda. Bagi KUA yang berada di daerah yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam, layanan administrasinya dapat mencukupkan untuk umat Islam.
Namun, bagi KUA yang berada di daerah minus umat Islam, tentu KUA tersebut akan mengalami defisit layanan keagamaan yang dapat memengaruhi kinerja birokrasinya. Tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi ketimpangan performa kepegawaian antara KUA dan kantor catatan sipil yang sama-sama ingin mencapai target layanannya.
Petugas kantor catatan sipil menunjukkan akta pernikahan sepasang pengantin seusai pemberkatan di Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Sidorejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Minggu (11/12/2022).
Melampaui diskriminasi
Lepas dari kontroversi yang disampaikan oleh berbagai pihak tersebut, sebenarnya ide progresif Menteri Agama sangat terkait dengan keinginan baiknya untuk menghapus pola diskriminasi dalam layanan keagamaan di dalam masyarakat.
Penting disadari, ketika KUA hanya diidentifikasi sebagai lembaga pemerintah yang hanya melayani umat Islam, ini tentu menimbulkan kecemburuan psikologis dari pihak lain. Meskipun secara historis umat Islam memperoleh ”keistimewaan” layanan keagamaan melalui UU dan PP di atas, bukan berarti aturan tersebut tidak bisa diubah. Apalagi, ide progresif tersebut hanya menyesuaikan layanan administrasi keagamaan yang selaras dengan tantangan zaman.
Di samping itu, ide tersebut sebenarnya juga dimaksudkan untuk mengatasi kecemburuan ideologis di antara sesama umat Islam. Apabila mengacu pada hasil riset Nina Mariani Noor, ”Pencatatan Pernikahan bagi Warga Muslim Minoritas: Hak Atas Administrasi”, ada problem administratif yang dialami oleh kelompok Muslim.
Minoritas seperti Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, misalnya. Selama tahun 2000 hingga 2018, kelompok Ahmadiyah di kabupaten itu tidak bisa mendaftarkan pernikahannya di KUA. Problem administrasi pencatatan itu terjadi akibat adanya Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Ahmadiyah di Jawa Barat.
Hasil riset Nina tersebut tentu hanya mencerminkan sekelumit kegelisahan kelompok agama minoritas yang selama ini mengalami persekusi ideologis dari kalangan mayoritas.
Penting disadari, ketika KUA hanya diidentifikasi sebagai lembaga pemerintah yang hanya melayani umat Islam, ini tentu menimbulkan kecemburuan psikologis dari pihak lain.
Problem serupa bisa jadi akan terjadi di berbagai tempat lain jika pimpinan daerahnya tidak mempunyai nalar inklusivisme yang bisa menghargai perbedaan keyakinan. Apalagi, cara pandang keagamaan yang dianut oleh pimpinan daerahnya beririsan kuat dengan mazhab tertentu yang melegitimasi pembatasan layanan publik bagi kelompok yang berbeda.
Pada titik ini, mengadaptasi konsep syadz dzariah dalam kajian maqashid syariah, ide progresif Menteri Agama sesungguhnya ingin menyadarkan semua pemangku kewenangan di Kementerian Agama, terutama di KUA yang selama ini menjadi ujung tombak layanan keagamaan, agar menghindarkan praktik despotisme kebijakan yang bisa merugikan masyarakat.
Meskipun secara normatif ide progresif itu masih bertolak belakang dengan UU dan PP sebelumnya yang sudah mengatur tentang pencatatan pernikahan, bukan berarti aturan yang ada di dalam UU dan PP lama yang dianggap dapat menimbulkan mafsadat administrasi perlu diikuti selamanya.
Melalui konsep syadz dzariah ini, ide progresif tadi dapat dibaca sebagai cara Menteri Agama untuk mengedepankan kemaslahatan bersama sekaligus mengantisipasi para pemangku kewenangan di KUA agar tak melakukan diskriminasi, serta mencegah ketimpangan performa kepegawaian yang menimbulkan kemungkaran sosial ataupun kemungkaran administrasi.
Menguatkan ekosistem moderasi beragama
Logika ”mengedepankan kemaslahatan dan mencegah kemungkaran administrasi” yang tersirat dalam ide progresif tersebut sesungguhnya mempunyai relevansi yang kuat untuk mengarusutamakan moderasi beragama hingga pada level teknis-administratif.
Sebab, hulu dari manifestasi nilai-nilai moderasi beragama harus diawali dari cara masyarakat berproses dalam melangsungkan pernikahannya.
Apabila pada proses awalnya sudah terjadi malapraktik administrasi dan kepura-puraan layanan, tidak menutup kemungkinan moderasi beragama yang sudah dicanangkan sebagai salah satu topik dan konsep penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 hanya akan jadi lip service.
Oleh karena itu, betapa pentingnya membenahi ekosistem berkeluarga yang dimulai dari proses pencatatan di KUA yang inklusif hingga kelangsungan pernikahan yang dinapasi oleh spirit saling menghargai perbedaan. Cara-cara yang inklusif tersebut tentu akan memengaruhi perjalanan keluarga dalam mendidik generasi yang bervisi moderat dan mewarnai sistem sosial dengan pikiran dan sikap yang arif bijaksana.
Baca juga: Layanan KUA Dirancang untuk Semua Agama
Dengan demikian, menyikapi ide progresif Menteri Agama tentang pemosisian KUA sebagai layanan keagamaan yang inklusif untuk semua agama hendaknya jangan hanya sebatas dengan cara pandang normatif-positivistik.
Perlu cara pandang sistemik dan komprehensif dalam memahami mengapa KUA perlu ditransformasi sebagai ”serambi layanan lintas agama”.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta. Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga.