Kemenangan ini hendaknya dikaji secara makro: di luar janji politik dan dibandingkan politik dan pemilu masa lalu.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Indonesia baru melewati dengan damai suatu ujian: pemilihan umum. Menurut perhitungan sementara, hasilnya tidak diragukan lagi: Prabowo-Gibran akan menang. Hemat kami, kemenangan ini hendaknya dikaji secara makro: di luar janji politiknya, dan dibandingkan kehidupan politik dan pemilihan umum masa lalu, apa makna pilpres ini?
Zaman ideologi, terutama ideologi radikal sudah lewat. Pertama, teori konflik kelas berikut gagasan revolusi di dalam menanggapi konflik sosial telah menghilang dari ranah politik, ditelan begitu saja oleh sejarah; tidak lagi dijadikan acuan politik, positif maupun negatif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kedua, teori kebenaran religius mutlak telah juga menghilang dari wacana politik. Itu adalah akibat dari keputusan-keputusan yang melarang gerakan islamis seperti Hizbut Tahrir dan FPI (2017 dan 2021).
Akibat hilangnya pula konsep-konsep radikal seperti revolusi sosial dan Negara Islam/khilafah itu, spektrum ideologi politik partai menyempit secara drastis. Perbedaan-perbedaan antara partai bersifat nuansa saja: antara yang menganjurkan agamaisasi lunak kehidupan sehari-hari di ujung yang satu dan yang menganjurkan nasionalisme lunak di ujung yang lain. Semua berada di dalam kerangka sistem ekonomi pasar (market economy), alias sistem kapitalistis yang tidak lagi dipertanyakan keabsahannya, baik atas nama hukum sejarah maupun atas nama hukum agama.
Alhasil, hampir semua partai secara potensial dapat bekerja sama dan berkoalisi di bawah naungan tunggal Pancasila.
Namun, pelemahan ideologi di atas berarti pelemahan relatif dari posisi partai, sebagai institusi, dibandingkan posisi tokoh-tokoh yang turut dalam partai. Partai-partai itu tidak lagi menawarkan pandangan hidup, program jelas, apalagi ideologi terstruktur di luar ide-ide umum. Maka, kini bukan lagi partai yang mewarnai politikus dengan warna ideologis khasnya seperti dulu, melainkan sosok politikus karismatik tertentu yang membentuk dan menggiring partai ke arah yang diinginkannya.
Klientele politik hadir bukan lagi di seputar program/ideologi, melainkan di seputar tokoh terpilih. Namun, tokoh politik yang dipilih berdasarkan prestasi riil (misalnya Jokowi) atau janji prestasi mendatang.
Ganjar lebih tampak sebagai pejabat suatu partai di bawah pimpinan Megawati daripada sebagai tokoh politik berkepribadian jelas. Maka, meskipun diimbuhi ketokohan Mahfud, ia tetap gagal merebut mayoritas suara pemilu. Anies lebih tegas penampilannya. Tetapi, Prabowo-lah yang telah sejak dini tampil paling tegas, energik. Bukan sekadar sebagai petugas Partai Gerindra, tetapi sebaliknya, dengan partai itu sebagai wahana diri dan gagasannya. Diimbuhi citra Jokowi melalui Gibran, Prabowo pamornya kian baik dalam pemilihan presiden.
Kini di dalam suasana serba pragmatis dan interpersonal, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah karisma Jokowi kelak, diejawantahkan oleh Gibran, akan senantiasa mengiringi dan menaungi Prabowo. Mungkin saja, karena hubungan mereka bersifat ”bebas”, non-ideologis dan berdiri di luar kerunyaman kehidupan partai.
Kalau begitu, kemungkinan cukup besar gandengan politik Prabowo-Gibran akan cukup kekal dan produktif. Tetapi bisa juga gagal. Tak sedikit kendalanya: bagaimana sikap Gibran? Bisakah Prabowo bekerja keras ”ala Jokowi”?
Ada faktor politik, ada juga faktor hukum. Di situ menarik. Sudah ada gejala bahwa pertarungan politik, dalam mengkritik sosok politikus penguasa, akan kian bersifat prosedural-hukum kelak. Sudah ada gejalanya.
Kritikan melalui hukum telah sejak tiga bulan kian mencuat ke permukaan. Lebih daripada kritikan atas isi kebijakan itu sendiri, kritikan dari sudut hukum agaknya bakal kian dibawa ke permukaan dan meramaikan kehidupan politik.
Penguasa bisa saja nanti menganggap itu sebagai serangan atas diri pribadi. Bisa juga, bila cukup bijak, melihat itu sebagai proses pembelajaran, bagi diri dan bagi demokrasi Indonesia. ”Tepo seliro lan sumeleh”, kata orang Jawa.