Kelas Menengah dan ”Chilean Paradox”
Instrumen perlindungan sosial untuk kelas menengah bawah perlu dipikirkan. Guncangan ekonomi akan membawa mereka menjadi kelompok miskin.
”Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Seno Gumira Ajidarma menulis itu dalam karyanya, ”Menjadi Tua di Jakarta”.
Kita boleh saja tak setuju dengan Seno atau menganggapnya berlebihan, tetapi kalimat itu mengingatkan saya pada kelas menengah bawah perkotaan yang praktis tak banyak memiliki pilihan. Perjuangan di tengah kemacetan, rutinitas kerja, dan ketakutan terlambat ke kantor adalah keseharian yang harus dijalani.
Mereka mungkin tak punya kemewahan untuk memilih kerja atau cara hidup yang lain. Amartya Sen menyebutnya: ruang kapabilitas mereka terbatas. Tak memiliki kebebasan (freedom to achieve) untuk gaya hidup yang lain.
Kelas menengah bawah memang tidak punya banyak pilihan. Instrumen perlindungan sosial juga tidak memadai. Mereka tidak berhak akan bantuan sosial karena mereka bukan termasuk kelompok miskin. Mereka belum tentu memiliki akses untuk beasiswa Bidik Misi karena tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM).
Mereka harus membayar BPJS-nya sendiri karena bukan bagian dari penerima bantuan iuran. Fokus kebijakan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia, praktis pada kelompok miskin. Kelas menengah nyaris terabaikan. Bagaimana kelas menengah bawah ini menghadapi guncangan ekonomi?
Kelas menengah bawah memang tidak punya banyak pilihan. Instrumen perlindungan sosial juga tidak memadai. Mereka tidak berhak akan bantuan sosial karena mereka bukan termasuk kelompok miskin.
Kelas menengah terabaikan
Ekonomi Indonesia memang tumbuh sekitar 5 persen pada 2023, termasuk salah satu yang paling baik di G20.
Namun, tantangan tahun 2024 tak mudah. Memang ada ruang The Fed akan menurunkan bunga pada paruh kedua 2024. Namun, kita harus tetap berhati-hati. Pasar keuangan masih akan bergejolak. Probabilitas resesi ekonomi di Amerika Serikat yang menurun akan mendorong aktivitas ekonomi. Permintaan uang untuk transaksi meningkat. Permintaan terhadap obligasi T-bills akan menurun.
Di sisi lain, defisit anggaran Pemerintah AS diperkirakan meningkat dari 5,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2022 menjadi 7,7 persen dari PDB pada 2023 dan akan semakin membengkak lagi tahun 2024. Implikasinya penawaran obligasi akan meningkat. Maka, ada risiko ada kelebihan penawaran obligasi. Harga obligasi akan turun dan imbal hasil (yield) akan meningkat.
Jika ini terjadi, The Fed harus menunda penurunan bunga dan imbal hasil di emerging markets (EM), termasuk Indonesia juga akan meningkat. Itu sebabnya, siklus pengetatan moneter di AS harus dibaca dengan hati-hati.
Selain itu, jika konflik Hamas-Israel meluas, bukan tidak mungkin harga minyak juga akan naik. Jika itu terjadi, beban subsidi akan meningkat. Namun, saya melihat, karena defisit APBN per 12 Desember 2023 baru 0,17 persen dari PDB, mungkin sekali defisit APBN 2023 akan jauh lebih rendah dari target.
Heryunanto
Mengingat 2024 tahun pemilu, kecil kemungkinan pemerintah menaikkan harga BBM. Jika harga minyak naik karena konflik Palestina, ada ruang bagi pemerintah untuk menyerapnya sebagai tambahan beban subsidi BBM mengingat defisit APBN yang kecil di 2023.
Dampak dari tekanan ekonomi global dan lambatnya belanja pemerintah mulai terlihat pada konsumsi rumah tangga, khususnya kelompok menengah bawah. Konsisten dengan ini, Indeks Kepercayaan Konsumen untuk kelompok pengeluaran di bawah Rp 3 juta terus menurun dan kelompok pengeluaran Rp 4 juta ke atas cenderung meningkat.
Satu hal yang harus diperhatikan secara serius adalah dampak El Nino terhadap kenaikan harga pangan. Porsi terbesar dari konsumsi orang miskin dan kelas menengah bawah adalah pangan, khususnya beras. Kenaikan harga beras akan memukul kelompok rentan.
Untuk itu, dibutuhkan perlindungan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai dan bantuan pangan. Pemerintah juga harus memastikan pasokan pangan tersedia agar kenaikan harga bisa diatasi. Implikasinya, alokasi APBN untuk perlindungan sosial harus ditingkatkan.
Tekanan pada kelompok menengah bawah ini mengingatkan saya pada kasus September 2023 bersama mantan Presiden Chile Michelle Bachelet saat saya mengajar untuk Harvard Ministerial Forum di Harvard University.
Bachelet berbagi soal pengalaman reformasi ekonomi di Chile. Kinerja ekonomi Chile amat mengesankan.
Pendapatan per kapitanya tertinggi di Amerika Latin, pertumbuhan ekonominya tercepat di Amerika Latin, dan tingkat kemiskinan menurun dari 53 persen (1987) menjadi 6 persen (2017)—lebih baik dibandingkan Indonesia. Chile memiliki Indeks Pembangunan Manusia terbaik di Amerika Latin. Pendeknya, kinerja ekonomi yang cemerlang.
Dampak dari tekanan ekonomi global dan lambatnya belanja pemerintah mulai terlihat pada konsumsi rumah tangga, khususnya kelompok menengah bawah.
Ironisnya, pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. Ekonom Sebastian Edwards menyebutnya ”The Chilean Paradox”. Mengapa? Salah satu penjelasannya adalah terabaikannya kelas menengah.
Orang memang mengakui kemajuan telah terjadi, tetapi tidak secepat yang diharapkan. Ada kesenjangan antara ekspektasi dan realitas. Orang tak cukup sabar untuk itu. Isu ini saya kira amat relevan untuk Indonesia ke depan.
Lebih dari 12 tahun lalu saya pernah menulis: pertumbuhan ekonomi akan mendorong munculnya kelas konsumen baru yang membawa implikasi ekonomi dan politik. Kelas konsumen baru yang cerewet dan kritis, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Saya masih ingat, lebih dari 40 tahun lalu, saya melompat naik ke bus kota nomor 35 yang penuh. Bergelantungan, dengan kaki separuh di luar, pergi atau pulang dari sekolah. Saat itu, kami ”sudah cukup senang” jika bus ada. Tak pernah mengeluh soal pendingin (AC) atau tempat duduk yang tak tersedia.
Aspirasi meningkat, mulai ada keinginan orang agar bus lebih nyaman. Muncullah patas AC. Orang mulai bisa menikmati bus berpendingin. Aspirasi kelas menengah berlanjut. Saat ini, bus sudah relatif tersedia, sudah berpendingin, dan jadwal sudah relatif baik, tetapi ada soal baru: kekhawatiran pelecehan seksual. Pemerintah merespons dengan bus khusus perempuan.
Heryunanto
Ilustrasi sederhana ini menunjukkan bagaimana aspirasi kelas menengah terus meningkat. Orang tak lagi bicara mengenai ”kebutuhan”, tetapi ”keinginan”. Perbaikan kualitas jasa publik sedikit banyak didorong kelas menengah yang ”cerewet”. Itu sebabnya, saya menyebut kelas menengah sebagai pengeluh profesional (professional complainer).
Dan itu baik. Dengan kondisi ini, pemerintah tidak bisa lagi hanya fokus pada akses, tetapi juga kualitas. Pelayanan jasa publik yang buruk akan menjadi isu politik. Lihat bagaimana media sosial dipenuhi kecerewetan kelas menengah baru ini dalam soal pelayanan jasa publik, kemacetan, korupsi, keadilan, atau isu sosial politik lainnya. Itu sebabnya, perlindungan sosial tak bisa lagi fokus pada kelompok miskin saja.
Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can (2023) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia dalam risalah yang diterbitkan dalam White Paper LPEM FEB UI (2023) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi 2019-2022 memang meningkatkan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) bagi 20 persen kelompok terbawah dan kenaikan amat tajam bagi 10 persen kelompok teratas, tetapi nyaris mengabaikan kelompok pendapatan kelas menengah (persentil 40-80 persen).
Pengeluaran kelompok persentil 40-60 persen memang masih tumbuh secara positif, tetapi jauh lebih rendah pertumbuhannya dibandingkan kelompok 20 persen terbawah. Lebih jauh lagi kelompok persentil 60-80 persen mengalami pertumbuhan negatif. Artinya, kelas menengah praktis tak menikmati manfaat pertumbuhan ekonomi dalam periode 2019-2022. Studi Dartanto dan Can (2023) ini mengonfirmasi kekhawatiran saya mengenai risiko ”Chilean Paradox” di Indonesia di masa depan.
Jika kelompok persentil 40-80 persen terabaikan dan jumlahnya semakin besar, ia punya implikasi sosial politik ke depan. Itu sebabnya, tulisan saya bersama Rema Hanna (Harvard University) dan Benjamin Olken (MIT) di harian ini (22-24/4/2020) menganjurkan untuk perluasan perlindungan sosial, bukan hanya untuk kelompok miskin.
Rumitnya perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, melainkan juga soal kualitas.
Pembiayaan fiskal
Rumitnya perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, melainkan juga soal kualitas. Kelas menengah akan menuntut birokrasi yang baik, kualitas jasa publik yang baik, kualitas pendidikan yang baik, dan kualitas kesehatan yang lebih baik, juga keadilan dan demokrasi.
Implikasinya: desain kebijakan fiskal ke depan harus bersifat inklusif. Bagaimana membiayainya? Ini pertanyaan yang amat krusial. Tak dapat dimungkiri, rasio pajak terhadap PDB kita, yang berkisar 9-10 persen, tergolong sangat rendah. Bahkan, jika yang dihitung adalah pendapatan negara terhadap PDB (yang meliputi pajak, cukai, dan penerimaan negara bukan pajak/PNBP), angkanya diperkirakan 11-12,4 persen pada 2024.
Karena itu, baik rasio pajak/PDB maupun pendapatan negara/PDB (yang mencakup cukai, PNBP, termasuk royalti) harus dinaikkan. Namun, bukankah menaikkan pajak akan memberatkan?
Apa yang bisa dilakukan? Di harian ini (11/8/2021), saya pernah menulis pentingnya reformasi administrasi perpajakan. Risalah saya bersama Mayara Felix, Rema Hanna, dan Ben Olken di American Economic Review (2021) menunjukkan elasticity of taxable income (ETI) atau sensitivitas pendapatan kena pajak terhadap perubahan tarif pajak adalah 0,579.
Dengan ETI 0,579 memang ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak melalui kenaikan tarif pajak. Namun, itu bukan tanpa dampak. Perhitungan kami menunjukkan, untuk setiap rupiah kenaikan penerimaan pajak, ada tambahan beban bagi wajib pajak (marginal excess burden) sebesar 0,49.
Ini adalah biaya yang harus ditanggung perekonomian sebagai akibat dari kebijakan ini. Karena itu, kami mengusulkan reformasi dalam administrasi perpajakan. Misalnya, dengan memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, seperti yang mulai diterapkan Direktorat Jenderal Pajak.
Heryunanto
Baca juga: Beban Generasi ”Sandwich” dan Peluang Bonus Demografi
Jika dipindahkan ke KPP Madya, dengan jumlah anggota staf yang lebih banyak, beban pajak tidak hanya ”ditanggung” oleh beberapa perusahaan yang besar, seperti yang mungkin terjadi pada kantor pajak reguler, akibat terbatasnya sumber daya. Akibatnya, perusahaan tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak. Kita akan lihat hasilnya ke depan.
Selain itu, tax expenditure/PDB (insentif pajak) sudah relatif besar (1,65 persen dari PDB) tahun 2022. Pertanyaannya, efektifkah? Mengapa begitu banyak insentif pajak diberikan, tetapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi relatif terbatas? Perlu juga dipikirkan pengurangan tax expenditure untuk sektor tak ramah lingkungan.
Cara lain adalah mulai mengurangi pengecualian dalam pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan langkah-langkah ini, rasio penerimaan pajak akan meningkat, bahkan mungkin tanpa perlu menaikkan tarifnya. Alasannya, basis pajak membesar. Instrumen lain yang bisa digunakan adalah jajaki pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, yang diimbangi dengan akses carbon credit agar ekonomi bisa lebih hijau. Tentunya ini harus dilakukan secara bertahap sehingga perusahaan mampu melakukan penyesuaian.
Instrumen perlindungan sosial untuk kelas menengah bawah perlu dipikirkan. Mereka tak tergolong miskin, tetapi guncangan ekonomi akan membawa mereka menjadi kelompok miskin. Kalimat Seno Gumira Ajidarma mengingatkan saya akan kelas menengah bawah perkotaan yang praktis tak sepenuhnya bebas dalam pilihan.
Itu sebabnya, Sen menulis: seandainya kita memiliki alasan untuk lebih kaya, maka itu alasan agar kekayaan membuka kesempatan untuk menjadi lebih bebas. Selamat Tahun Baru 2024!
Muhamad Chatib Basri,Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia