Menjaga Republik
Penciptaan keadaan darurat palsu dan manipulasi undang-undang demi politik dinasti tanda kemunduran reformasi politik.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 akan berlangsung beberapa bulan lagi, tetapi panggung politik anak bangsa hari ini telah dihantam guncangan kegaduhan politik menyesakkan.
Episentrum kegaduhan adalah pengajuan Gibran Rakabuming Raka—putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih berusia 36 tahun—sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang diusung Partai Golkar.
Ruang politik menjadi gaduh ketika Gibran sebagai kader PDI Perjuangan (PDI-P) tiba-tiba diusung sebagai cawapres oleh partai lawan, Partai Golkar. Politik kutu loncat.
Kegaduhan kian meruyak ketika pencalonan Gibran yang terkesan dipaksakan dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, yang juga terkesan dipaksakan dan kontroversial.
Keputusan MK ini memungkinkan Gibran yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai wapres karena sudah berpengalaman sebagai Wali Kota Solo.
Berbagai tokoh publik dan elemen masyarakat lain menduga ada dimensi ”kolusi” di balik penetapan Gibran, dilandasi kepentingan sesaat ”dinasti politik” Jokowi, dengan memanipulasi aturan hukum. Mereka mengungkapkan rasa keprihatinan dan penolakan atas pencalonan cacat moral ini sebagai artikulasi ”suara publik” yang menjadi jiwa res publica.
Akan tetapi, Jokowi mengabaikan suara publik, menciptakan ”jurang” antara suara publik dan hasrat individu, yang membawa pada kondisi darurat—state of emergency.
Mereka mengungkapkan rasa keprihatinan dan penolakan atas pencalonan cacat moral ini sebagai artikulasi ”suara publik” yang menjadi jiwa res publica.
Darurat palsu
Darurat adalah situasi berbahaya dan serius yang terjadi tiba-tiba atau tak diperkirakan dan memerlukan tindakan segera. ”Darurat republik” adalah situasi berbahaya dan serius ketika prinsip res publica sebagai basis ideologi bernegara terancam, dan perlu tindakan segera.
Ketika nilai-nilai kebaikan atau keutamaan publik—kejujuran, kepercayaan, rasa tanggung jawab, keikhlasan, dan rela berkorban demi bangsa—digantikan dengan keculasan, kemunafikan, kecurangan, egosentris, dan khianat, maka tak ada lagi makna res publica.
Keadaan darurat biasanya dinyatakan oleh negara ketika ada potensi kekacauan sipil sehingga cara-cara kekerasan dan pemaksaan dapat dilakukan secara ”sah”, misalnya oleh kekuatan militer, meskipun cara itu melampaui aturan hukum yang ada. Misalnya, pada fenomena terorisme atau pandemi Covid-19 (Armitage, 2020).
Keadaan darurat adalah ketika aneka tindakan ”luar biasa” terpaksa dilakukan otoritas tertentu untuk menghindari keadaan lebih buruk meskipun ironisnya dengan cara ”melanggar” aturan hukum (Agamben, 2003).
Hanya saja, di era hipermodernitas kini, apa pun bisa diberi label ”darurat”, dengan menarasikan adanya ancaman terhadap negara. Narasi ini menggiring pada kondisi psikis meningkatnya perasaan mendesak dan paranoia sehingga menuntut pengendalian segera, baik ancaman perang, pandemi, bencana, gerakan sosial, radikalisme, maupun teror.
Melalui cara-cara populis, negara kemudian menentukan ”musuh bersama”, bagi pembenaran atas kekerasan dan pemaksaan oleh negara (Bhisai, 2020).
Ilustrasi
Akan tetapi, keadaan darurat bisa berupa keadaan ”darurat palsu”, yakni negara menyatakan keadaan darurat karena ada ancaman terhadap negara, padahal semuanya tak pernah terbukti.
Misalnya, seakan-akan ada ancaman ”senjata pemusnah massal” yang dikembangkan Irak terhadap kedaulatan dan supremasi Amerika Serikat (AS), sebagai alasan Presiden AS George Bush menyerang Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein. Padahal, keberadaan senjata itu tak pernah terbukti.
Keadaan darurat palsu banyak digelar pemerintah, yang memungkinkan negara melakukan tindak eksesif secara ”sah” meskipun melampaui hukum. Misalnya, seakan-akan ada keadaan darurat—dengan alasan tak cukup anggaran atau efek pandemi Covid-19—sehingga mendorong perubahan undang-undang, yang memungkinkan jabatan presiden tiga periode. Digagalkan tekanan publik, rezim lalu membangun lagi wacana penundaan pilpres, yang juga gagal.
Pembiaran rezim atas pencalonan cacat moral Gibran adalah langkah terakhir rezim melanjutkan kekuasaan.
Penciptaan keadaan darurat palsu dan manipulasi undang-undang demi politik dinasti adalah tanda kemunduran reformasi politik karena semuanya digunakan untuk melindungi kepentingan individu, kelompok, dinasti keluarga, atau rezim, bukan kepentingan rakyat.
Gerakan sosial sebagai corong suara publik kini dipersempit ruang geraknya melalui revisi undang-undang. Alih-alih mendengarkan suara publik sebagai acuan kebijakan publik, negara justru memata-matai gerak-gerik warga negara yang mengancam rezim (Dibley dan Ford, 2019).
Gerakan sosial sebagai corong suara publik kini dipersempit ruang geraknya melalui revisi undang-undang.
Arus pendek politik
Prinsip republik adalah prinsip nondominasi, ketika semua keputusan politik harus dikontestasikan melalui deliberasi publik. Dan, pemerintah harus melacak suara publik sebagai acuan bagi kebijakan, keputusan, atau tindakan.
Untuk itu, wakil rakyat harus berintegritas, memiliki kapabilitas, amanah, dan akuntabel, agar tak mudah dikendalikan eksekutif. Di pihak lain, eksekutif harus fokus melaksanakan tugas publik memajukan bangsa. Sementara, yudikatif bertugas menjamin terciptanya keadilan bagi semua warga negara (Honohan, 2002).
Akan tetapi, kondisi darurat palsu dan hubungan kolusif-nepotis antarlembaga yang secara sistematis diciptakan oleh rezim penyelenggara negara telah merusak keseimbangan dan akuntabilitas ketiga lembaga negara, yang membawa pada darurat republik.
Prinsip res publica sebagai basis ideologi dalam menjalankan roda pemerintahan kini terancam oleh aneka hasrat seketika individu, dinasti keluarga, kelompok atau rezim, yang menandai senja kala Republik.
Darurat republik adalah ketika kepentingan individu, kelompok, atau dinasti keluarga mengalahkan kepentingan publik. Kebaikan bersama (common good) sebagai nilai dasar res publica kini digantikan hasrat kekuasaan individu, kelompok, dinasti keluarga, atau rezim, dengan mengorbankan tujuan membangun anak bangsa.
Keutamaan publik berupa jiwa kebangsaan, kejuangan, kebersamaan, dan persatuan diganti jiwa aji mumpung, egosentris, kolusif, nepotis, dan manipulatif. Darurat republik adalah ketika rezim kekuasaan membangun semacam hubungan ”arus pendek” (short-circuit), yaitu hubungan ”jalan pintas” di antara ketiga lembaga negara tanpa melalui forum diskusi publik atau deliberasi (Stiegler, 2013).
Hubungan arus pendek ini demi melindungi kepentingan sektoral individu, dinasti keluarga, kelompok, atau rezim, dengan menegasi prinsip kontestasi rasional-deliberatif sebagai jiwa res publica. Arus pendek dapat memuaskan dahaga berkuasa seketika, tetapi dapat membawa ”korsleting” tatanan bangsa di masa depan.
Ilustrasi
Darurat republik adalah ketika prinsip check and balance—sebagai dasar dalam menjaga keterujian dan keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tak eksesif—kini tak berfungsi lagi.
Yang dirayakan rezim adalah prinsip uncheck and unbalance, berupa kolusi sistematis dan struktural di antara tiga lembaga negara, dengan eksekutif sebagai konduktornya (Schwarz dan Huq, 2007). Kini, lembaga legislatif cenderung menjadi ”tukang stempel” dan lembaga yudikatif ”tukang ketok palu” demi kepentingan eksekutif.
Darurat republik adalah ketika partisipasi publik dalam politik—yang diartikulasikan tak hanya melalui suara elektoral, tetapi juga wacana deliberasi publik berlandaskan akal sehat—kini dibungkam oleh arus besar nepotisme dan kartel politik, berlandaskan dorongan hasrat berkuasa dan akal tak sehat (Mietzner, 2020).
Matinya akal sehat mengubah hasrat dicintai, dihormati, dan dibanggakan anak bangsa melalui amanah kekuasaan, menjadi hasrat memiliki kekuasaan demi ego kekuasaan (Lacan, 1986).
Republik memerlukan partisipasi publik dalam deliberasi, yaitu diskusi dan refleksi publik dalam memutuskan suatu kebijakan. Prinsip permusyawaratan sebagai nilai inti Pancasila adalah forum untuk diskusi dan refleksi itu.
Pemilihan langsung justru membuka ruang bagi tirani mayoritas yang memiliki suara terbanyak, menjadi pemimpin.
Namun, sistem pemilihan langsung menghancurkan prinsip permusyawaratan itu. Memang DPR/MPR di era Orde Baru tak lebih dari ”tukang stempel” dari kebijakan Soeharto. Namun, yang salah bukan DPR/MPR sebagai lembaga, melainkan manusia politiknya, yang rela dikendalikan Soeharto.
Selain itu, pemilihan langsung sesungguhnya ”ancaman” terhadap prinsip res publica karena ia lebih merayakan nilai-nilai individu atau pribadi calon pemimpin ketimbang nilai-nilai publik. Pemilihan langsung justru membuka ruang bagi tirani mayoritas yang memiliki suara terbanyak, menjadi pemimpin.
Proses ini menegasi prinsip dasar res publica, yaitu prinsip deliberasi atau permusyawaratan, yaitu diskusi, pertimbangan, dan penilaian publik terhadap calon pemimpin publik (Pettit, 2002).
Gerak-gerik untuk menciptakan ”politik dinasti”—melalui mekanisme hubungan ”arus pendek” di antara lembaga-lembaga tinggi negara demi hasrat berkuasa instan, dengan mengabaikan suara publik—sesungguhnya penistaan terhadap prinsip res publica itu sendiri.
Baca juga : Jimly Sebut Ada Indikasi Hakim Konstitusi Langgar Etik
Yasraf A Piliang Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB
Yasraf Amir Piliang