Kurikulum Merdeka semakin mendekatkan generasi muda kepada budi perkerti dan karakter yang khas Indonesia.
Oleh
ARFANDA ANUGERAH SIREGAR
·3 menit baca
Saiful Rahman menulis opini berjudul ”Kurikulum Merdeka Merundung” (Kompas.id, 6/10/2023). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merundung berarti ’mengganggu’, ’menyusahkan’, dan ’menimpa’. Secara tersirat dapat disimpulkan dari judul tulisannya bahwa Kurikulum Merdeka mengganggu dan membuat susah.
Namun, secara tersurat, tulisan tersebut menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka telah menghilangkan nilai-nilai filosofis yang terdalam dari pendidikan Indonesia, yakni budi pekerti! Ketiadaan capaian budi pekerti membuat maraknya perundungan (bullying) di tengah siswa. Apakah benar?
Kurikulum Merdeka
Sejak Rencana Pembelajaran 1950 sampai 2013 dan Kurikulum Merdeka, merupakan proses pengembangan terus-menerus. Kurikulum Merdeka tidak banyak berbeda dibandingkan Kurikulum 2013, baik dari struktur kurikulum, kompetensi, maupun capaian. Yang ada penyesuaian kebutuhan dan lingkungan dari peserta didik yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Kedua kurikulum memiliki tujuan sama, yakni mengembangkan peserta didik menjadi inovatif dan kreatif, serta melancarkan proses pendidikan.
Kurikulum Merdeka merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2013 melalui pendekatan yang lebih kontekstual, inklusif, dan berpusat pada siswa. Kurikulum ini menawarkan pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia dengan penekanan pengembangan potensi siswa yang lebih inklusif dan kreatif. Merdeka Belajar adalah kebebasan bagi guru dan siswa dalam menentukan dan melaksanakan sistem pembelajaran yang aktif, efektif, asyik, dan menyenangkan.
Pandangan minor atas setiap kali perubahan kurikulum memang kerap terjadi. Istilah ganti menteri ganti kurikulum seolah bermakna kurikulum diubah total, mulai dari prinsip, materi, model, evaluasi, hingga capaian lulusan (outcome). Padahal, tidak demikian. Setiap kali perubahan kurikulum tidak ada perubahan yang substansial.
Coba saja lihat materi soal yang diujikan baik soal ujian akhir siswa, sejak Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) sampai Ujian Nasional (UN) nyaris tak berubah. Juga ujian masuk perguruan tinggi, sejak zaman Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas (SKALU) hingga Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pun nyaris sama. Hal ini pertanda bahwa tidak ada yang berubah secara substantif, baik konten maupun capaian pembelajaran. Perubahan hanya pada pendekatan dan metode pengajaran agar lebih fleksibel dan sesuai perkembangan zaman.
Kurikulum Merdeka mengimplementasikan nilai-nilai pembentuk karakter bangsa, mulai dari pembenahan sistem pendidikan, metode belajar hingga terbentuk Profil Pelajar Pancasila sebagai ciri khas pelajar Indonesia. Profil Pelajar Pancasila sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara karena pendidikan menghilangkan belenggu kesenjangan dan membentuk karakter calon pemimpin bangsa. Kok, bisa sampai terjajah? Menurut Ki Hadjar Dewatara, itu artinya terjajah intelektualisme. Ki Hadjar Dewantara anti penjajahan intelektualisme. Ki Hadjar Dewantara tidak suka orang yang terlalu intelek, tetapi mengabaikan karakter.
Profil pelajar Pancasila
Profil Pelajar Pancasila merupakan gambaran ideal tentang pelajar Indonesia untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Dalam konsepsi Kemendikbudristek, SDM yang unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila. Karena itu, pengembangan SDM harus bersifat holistik dan tak terfokus kepada kemampuan kognitif saja.
Dengan merujuk kepada Pancasila, Kemendikbudristek memberikan kriteria pelajar yang ideal. Pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Kedua, mandiri. Ketiga, bernalar kritis. Keempat, berkebinekaan global. Kelima, bergotong royong. Keenam, kreatif. Penerbitan Profil Pelajar Pancasila sangat tepat momennya dikaitkan dengan komitmen Mendikbudristek untuk meniadakan tiga masalah akut pendidikan: intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.
Profil Pelajar Pancasila merupakan gambaran ideal tentang pelajar Indonesia untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul.
Berdasarkan paparan di atas, tudingan Saiful yang menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka mengabaikan budi pekerti sehingga mencerabut karakter positif bagi generasi muda bangsa tidak beralasan sama sekali. Justru sebaliknya Kurikulum Merdeka semakin mendekatkan generasi muda bangsa kepada budi pekerti dan karakter yang khas Indonesia.
Lalu, mengapa di tengah implementasi Kurikulum Merdeka masih juga marak perundungan seperti tulisan Saiful? Perlu diingat bahwa implementasi Kurikulum Merdeka masih berusia setahun sejak diluncurkan pada 2022, telah diimplementasikan di 140.000 dari total 399.376 sekolah pada 2023. Tentu waktu sesingkat itu belum bisa menilai keberhasilan sebuah kurikulum.
Apalagi, perubahan metode belajar yang dahulu bersubyek kepada guru menjadi kepada siswa tidak semudah membalik telapak tangan. Kebiasaan guru yang masih menganggap siswa bagai celengan kosong mengutip istilah tokoh pendidikan Paulo Freire sudah berurat berakar, sulit berubah. Minimal diperlukan waktu selama 10-15 tahun melihat keberhasilan kurikulum tersebut.
Masalah maraknya perundungan juga tidak bisa hanya menyalahkan sekolah dan kurikulum. Peran orangtua dan masyarakat jauh lebih penting. Orangtua sekarang cenderung menyerahkan pendidikan anak hanya kepada sekolah. Padahal, Ki Hadjar Dewantara menyatakan, keberhasilan pendidikan harus didukung oleh ”tri pusat pendidikan”, yaitu sekolah, orangtua, dan masyarakat.
Kepedulian orangtua, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dinas pendidikan, dan lembaga penegak hukum mutlak dibutuhkan dalam menanggulangi kekerasan oleh anak. Persoalan perundungan pada anak tidak bisa menyalahkan kurikulum semata. Alangkah lebih baiknya seluruh elemen masyarakat koreksi diri untuk perbaikan yang lebih baik. Semoga.
Arfanda Anugrah Siregar, Direktur Islamic Center Ali Bin Abi Tholib; Fasilitator Sekolah Penggerak; Pendiri SMP IT Ali Bin ABi Tholib dan MA Ali Bin ABi Tholib Deli Serdang; Dosen Politeknik Negeri Medan