Dampak Tambahan Pemutihan Kebun Sawit di Kawasan Hutan
Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang berdampak pada penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
Oleh
GUNAWAN
·3 menit baca
Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dinilai membawa implikasi negatif, berupa ketidakjelasan upaya deforestasi karena deforestasi harus dibuktikan secara saintifik, bukan secara politik dan legal dengan melegalkan lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Selain itu, juga berimplikasi memperburuk citra ISPO/Indonesian Sustainable Palm Oil (Andi Irawan, Kompas.id, 9 Agustus 2023).
Meski demikian, secara legal, pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
Ketidakpastian
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) ditujukan untuk memidanakan kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.
Tindak pidana tersebut kemudian dapat mendapatkan pengampunan berdasarkan perubahan Pasal 110 UU P3H melalui penambahan Pasal 110A dan Pasal 110B dalam Pasal 37 UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yaitu dari awalnya mengatur ketentuan peralihan tindak pidana perusakan hutan menjadi mengatur penyelesaian persyaratan perizinan usaha kehutanan dan sanksi administrasi dengan asas ultimum remedium. Asas ini mengedepankan pengenaan sanksi administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan.
Guna melaksanakan pengaturan sebagaimana tersebut di atas dibentuklah aturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (PP No 21/2021).
Kemudian karena UU Cipta Kerja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat, lantas diganti dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU (UU Penetapan Perpu Cipta Kerja).
Subyek hukum yang diatur di UU Cipta Kerja dan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Namun, subyek hukum PP No 24/2021 adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Perbedaan pengaturan antara undang-undang dan aturan pelaksana muncul kembali dalam soal jangka waktu.
Ketidakpastian hukum muncul ketika subyek hukum yang diatur di level undang-undang adalah yang memiliki perizinan usaha kehutanan, sedangkan pada aturan pelaksananya justru mengatur subyek hukum yang tidak memiliki perizinan usaha kehutanan.
Perbedaan pengaturan antara undang-undang dan aturan pelaksana muncul kembali dalam soal jangka waktu. Berdasarkan PP No 24/2021 yang berlandaskan UU Cipta Kerja, perkebunan sawit di kawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan dalam jangka waktu tiga tahun. Namun kemudian, Pasal 37 UU Cipta Kerja diganti dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, di mana batas waktu penyelesaian persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan tidak lagi tiga tahun, tetapi paling lambat 2 November 2023.
Kelompok masyarakat
Di UU P3H disebutkan bahwa tidak termasuk kelompok yang terstruktur, yaitu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Karena kelompok masyarakat sebagaimana tersebut di atas tidak dikategorikan dalam kelompok yang terstruktur, maka PP No 24/2021 seharusnya tidak perlu memberikan pengaturan meskipun tidak dalam rangka membebankan persyaratan perizinan berusaha kehutanan.
Sebelumnya, upaya penyelesaian tanah masyarakat di kawasan hutan diatur melalui Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres PPTKH). Berbeda dengan UU P3H yang bersifat represif terhadap kelompok yang terstruktur, Perpres PPTKH memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Mekanisme di dalam PPTKH adalah salah satu mekanisme guna mendapatkan tanah obyek reforma agraria.
Seharusnya, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di UU Cipta Kerja dan aturan pelaksananya. Penyesuaian Perpres PPTKH terhadap aturan pelaksana Cipta Kerja justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat.
Pembaruan hukum
Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan, perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna yang akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan, tetapi percepatan penganekaragaman produk olahan sawit.