Kucing, di Mana-mana Ada Kucing
Di antara satwa peliharaan yang terawat baik, banyak kucing berkeliaran tak terurus. Kucing memang menggemaskan. Namun, ledakan populasi selalu membawa dampak.
Maksud hati melewatkan pagi dengan duduk sembari menyeruput kopi di taman kecil di halaman rumah. Apa daya, kesenangan itu diusik bau tak sedap. Duh, ”hadiah” dari si meong kucing yang mana lagikah ini?
Bukan kejutan lagi bagi penghuni kompleks mendapati kotoran ataupun urine kucing di sekitar rumahnya. Ulah si jingga, si belang telon, si bulu lebat montok, si coklat dengan luka di telinga, atau yang bermata biru dengan sebagian bulu di badannya mengelupas. Entahlah. Terlalu banyak tersangkanya.
Kucing, ya, di mana-mana sekarang memang banyak kucing.
Di permukiman, sulit membedakan si pus yang berkeliaran itu benar-benar liar atau peliharaan seseorang yang sudah bosan. Kucing berbulu bagus tetapi lusuh dengan kalung kotor di leher kian sering mondar-mandir tak jelas siapa tuannya. Kucing-kucing itu makan dari belas kasihan penghuni kompleks yang menyediakan makanan khusus setiap harinya. Juga di depan rumah mereka.
Sebagian orang sebenarnya sangat menerima keberadaan kucing di sekitarnya. Banyak yang terbiasa membawa makanan kucing dan meletakkannya di perumahan, stasiun, pasar, dan jalan-jalan. Sering pula terlihat para dermawan tersebut mengelus-elus kucing yang lahap makan. Terkadang, ada yang mengajaknya berbicara barang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Baca juga: Belanja dan Belanja, tetapi Kulkas Tak Juga Penuh
Sebagian lagi ada orang yang mendedikasikan diri merawat satu atau beberapa ekor kucing sekaligus di rumahnya. Ada pula yang penuh belas kasih luar biasa menampung dan merawat puluhan sampai ratusan kucing liar, yang dibuang maupun korban siksaan manusia. Tak terhitung biaya yang dikeluarkan.
Bicara sebagian orang yang tega menyiksa binatang itu memang bisa membuat naik darah. Ada yang menembak, menyiram air panas, menendang, dan melukai kucing atau hewan liar lainnya. Alasannya, kesal atau sekadar iseng.
Ada lagi yang mulanya mengikuti tren memelihara hewan, termasuk kucing. Awalnya disayang, dirawat maksimal. Hingga datang waktunya bosan, tak sanggup memelihara, tak bisa merawat anak-anak hewan yang dilahirkan, dan lainnya.
Baca juga: Batman dan Hewan-hewan Metropolitan
Dampaknya, ada yang kemudian membiarkan mantan kesayangannya itu berkeliaran di luar rumah. Banyak pula yang membuangnya ke pasar, pinggir sungai, tempat sampah, atau dibawa dengan kendaraan bermotor lantas dibuang di jalan.
Di luar kucing eks peliharaan itu, kucing liar sedari dulu memang sudah banyak. Di perkotaan, kucing bisa hidup di mana saja karena makanan berlimpah. Makanan sisa ataupun dari para dermawan dan banyak tempat berlindung membuat populasinya menggelembung cepat. Apalagi produktivitas tinggi, yaitu tiap kelahiran bisa 3-4 ekor dengan jeda berkembang biak 4-5 bulan saja.
Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta mencatat, populasi kucing tahun 2021 sekitar 2,8 juta ekor atau setara 25 persen populasi penduduk Ibu Kota. Populasinya dalam dua tahun terakhir diyakini jauh lebih banyak. Kondisi serupa terjadi di sekitar Jakarta dan kota lain di Indonesia.
Isu kesehatan dan sosial
Populasi berlimpah tak hanya dialami kucing. Di perkotaan seperti Jakarta masih ada tikus, bermacam serangga, dan lainnya. Memelihara satwa peliharaan seperti sebuah budaya atau gaya hidup baru. Interaksi manusia dan hewan-hewan itu sudah sulit benar-benar dipisahkan.
Kotoran, urine, hingga bangkai binatang mudah dijumpai di ruang publik. Susah memastikan apa yang dikonsumsi manusia terbebas dari kontaminasi berbagai penyakit yang dibawa satwa di sekitar kita. Belum risiko digigit atau terluka.
Saat musim hujan dan banjir atau genangan bermunculan, kasus leptospirosis biasa menjangkiti warga terdampak. Penyakit disebabkan bakteri ini ditularkan lewat urine hewan pengerat seperti tikus dan hewan ternak yang masuk ke tubuh manusia melalui mulut, hidung, selaput lendir, atau lewat kulit lecet. Leptospiroris beberapa kali dilaporkan memicu kematian warga korban banjir di Jakarta.
Laporan Cornell Feline Health Center tentang kucing di antaranya menyebutkan kucing dapat menularkan rabies, kurap, skabies, dan penyakit cakar kucing. Hewan ini bagian dari kelompok binatang yang bisa menyebarkan toksoplasma.
Baca juga: Legenda Urban Membantu Manusia Bertahan Hidup
Kucing bisa memakan tikus, burung, atau hewan lain ataupun makanan lain yang tercemari feses hewan yang terkontaminasi toksoplasma. Parasit itu akan terus ada di feses kucing selama dua pekan. Parasit toksoplasma dewasa mampu bertahan tanah, air, pasir, taman, atau tempat lain dan mencemari lingkungan selama berbulan-bulan.
Selain penyakit dan pencemaran lingkungan, pengelolaan buruk terhadap semua hewan peliharaan dan bukan yang bebas ada di perkotaan rawan memicu konflik sosial.
Pertikaian antartetangga akibat ulah kucing peliharaan yang buang kotoran sembarangan sering terjadi. Protes karena gonggongan anjing atau bau hewan peliharaan yang kurang terurus juga terjadi. Tak jarang saling tuduh saat peliharaan mati, sakit mendadak, atau tiba-tiba hilang.
Baca juga: Meraba-raba Kota Global Jakarta
Demi mengendalikan populasi sekaligus menekan isu lingkungan dan sosial, berbagai cara dilakukan. Intervensi pemerintah setempat dan lembaga swadaya masyarakat juga gerakan spontan publik bermunculan. Beberapa di antaranya lewat program Trap Neuter Release (TNR) dan vaksinasi massal. TNR bertujuan mensterilisasi sebanyak mungkin kucing dan anjing peliharaan dan liar.
Namun, sejauh ini, program TNR dinilai bagai deret hitung di tengah penambahan populasi yang bagai deret ukur. Perlu gerakan sterilisasi yang lebih masif diiringi vaksinasi lebih luas untuk memastikan jutaan kucing Jakarta tak terus bertambah.
Penanganan sampah antimenumpuk dan antitercecer secara logis dinilai pada akhirnya bakal membuat hewan liar lain, seperti kucing, kehilangan sumber makanan berlebih.
Kota yang bergelut dengan isu hewan di kawasannya juga dialami kawasan urban lain di dunia. Kota Paris selama ini didapuk menjadi kota surga tikus, cerita Ratatouille si koki super legenda turut terilhami oleh populasi raksasa hewan pengerat itu di sana.
Dikutip dari CNN.com, menolak cara pemusnahan massal, pendekatan berbeda mengendalikan tikus dipromosikan Anne Souyris, Wakil Wali Kota Paris yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan publik, didukung kelompok perlindungan hak hewan setempat (PAZ). Pendekatan tersebut bisa dianggap aneh, yakni hidup berdampingan dengan tikus. Namun, ini bukan berarti tikus hidup di rumah atau apartemen, melainkan memastikan hewan itu tidak menderita dan manusia tidak terganggu.
Caranya, Souyris ingin agar tikus-tikus kembali hidup di got dalam tanah Paris. Agar itu terjadi, tumpukan sampah dan apa pun yang mengundang tikus naik ke permukaan harus dibenahi. Dengan kata lain, kota perlu menata sistem pembuangan limbah dengan lebih baik dan merata agar tidak terus mengundang masalah, termasuk merajalelanya tikus.
Baca juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
Belum dapat dipastikan kesuksesan pendekatan Souyris karena program tersebut masih jadi perdebatan di sana.
Meskipun demikian, penanganan sampah antimenumpuk dan antitercecer secara logis dinilai bakal membuat hewan liar lain, seperti kucing, kehilangan sumber makanan berlebih. Dengan sendirinya, kekurangan pakan dapat menyebabkan hewan-hewan itu mencari tempat lain dan produktivitas anak-beranak pun tertekan.
Di samping itu, kota perlu mengimbangi dengan aturan ketat pemeliharaan hewan di tempat tinggal. Penelantaran, penyiksaan, sampai kewajiban vaksinasi ada payung hukumnya. Kontrol sosial antarwarga, dewan kota, juga lembaga swadaya masyarakat terkait pun diharapkan dikelola dengan tepat agar kian berdampak kuat.
Kucing berkeliaran di mana-mana telah menjadi isu perkotaan yang tidak boleh dianggap ringan. Menafikannya sekarang bisa berarti menunggu lahirnya ”monster” masalah di kelak kemudian hari. Meow…meow…rawrrr!
Baca juga: Catatan Urban