Diskusi soal pemilu membelah publik dalam perspektif yang terbatas, standar demokrasi di pemilu dipersempit kepada pilihan-pilihan kelembagaan—proporsional terbuka atau tertutup secara hitam putih. Hampir tidak ada narasi alternatif yang keluar dari dikotomi tersebut. Setidaknya mendorong perspektif dari bawah untuk menyoal representasi politik warga negara di pemilu.
Pemilu tidak hanya momen prosedural, tetapi juga pintu masuk untuk memperkuat posisi warga negara dalam berinteraksi dengan elite dan partai terpilih. Misalnya, jika mekanisme proporsional terbuka atau tertutup diterapkan, apa dampak perubahan sistem pemilu bagi warga negara? Bagaimana dua mekanisme tersebut benar-benar mengakomodasi kepentingan warga negara dan menjamin bahwa kepentingan tersebut tidak akan dibelotkan oleh elite maupun partai politik? Atau sejauh mana kontrol warga terhadap partai politik atau elite dimungkinkan jika salah satu dari kedua sistem itu diterapkan?
Persoalan-persoalan tersebut jauh lebih krusial dibandingkan sekadar mempersoalkan sistem pemilu sembari membayangkan perubahan politik yang lebih mendasar di tataran warga negara.
Baca juga: Gaduh Sistem Pemilu di Tahun Politik
Keluar dari klaim
Isu utama dalam diskusi sistem pemilu adalah klaim demokratis atas sistem proporsional terbuka atau tertutup. Setiap kelompok—pendukung proporsional terbuka dan tertutup—saling mengklaim sistem pemilu yang diusungnya sebagai paling demokratis. Sebaliknya, menyalahkan sistem pemilu lain sebagai tidak demokratis. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan sistem pemilu tetap terbuka, sejak awal klaim soal sistem yang lebih demokratis tersebut bermasalah.
Pertama, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup keduanya adalah sistem demokratis yang digunakan di sejumlah negara demokrasi dunia. Indonesia punya pengalaman menggunakan keduanya di pemilu—Pemilu 1999 melalui proporsional tertutup dan Pemilu 2004 melalui proporsional terbuka. Dengan demikian, baik sistem proporsional tertutup untuk memilih calon atau partai politik pada dasarnya sama-sama demokratis.
Kedua, terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang menyertai kedua sistem pemilu tersebut, diskusi publik yang dominan pada kelembagaan di pemilu menjadikan demokratisasi terkesan dipersempit pada urusan-urusan teknis prosedural. Namun, diskusi publik abai pada persoalan lebih mendasar seperti relasi warga dan negara (elite atau partai) yang menjadi bagian penting dari politik representasi.
Baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup keduanya adalah sistem demokratis yang digunakan di sejumlah negara demokrasi dunia.
Pengabaian tersebut tecermin dari perspektif massal yang melihat solusi terhadap meluasnya praktik politik uang, klientelisme politik, de-ideologisasi, dan sentralisasi partai dengan hanya mengubah sistem pemilu. Padahal sederet persoalan tersebut bisa terjadi dalam sistem tertutup maupun terbuka.
Misal, soal politik uang yang sering dikhawatirkan akan terjadi di level calon saat sistem proporsional terbuka diterapkan, juga punya kemungkinan sama untuk terjadi di level partai dalam sistem proporsional tertutup. Demikian juga dengan de-ideologisasi dan sentralisasi partai yang bisa menjadi masalah pada sistem proporsional mana pun jika partai politik atau elite hanya melokalisasi kekuasaan secara terbatas untuk memenangi pemilu. Sebaliknya, tidak memiliki kehendak politik yang kuat untuk memperbaiki relasi dengan warga.
Perspektif kelembagaan di satu sisi memang menyediakan instrumen teknis di pemilu. Namun, tanpa mendorong penguatan relasi antarelite atau partai politik dan warga negara, membuat masalah prosedur representasi politik tidak memiliki akar yang kuat di level warga. Kalaupun ada, relasi elite atau partai dan warga negara dibicarakan sebatas ikatan politik momentual, seperti dalam pemilu, reses, dan praktik-praktik filantropi politik.
Demikian juga klaim demokratisasi yang disimplifikasi pada perubahan teknis kelembagaan. Dalam konteks itu, klaim demokratis dan tidak demokratis tidak sekadar didasarkan pada pilihan soal proporsional terbuka atau tertutup, tetapi kepada penguatan politik representasi yang berpihak kepada kepentingan warga negara.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Berbasis warga
Melampaui perspektif hitam-putih soal pilihan sistem pemilu, politik representasi harus punya akar yang kuat di level warga, selain juga prosedur kelembagaan yang memadai. Kombinasi keduanya menghasilkan perubahan sistem pemilu yang memperkuat posisi warga negara sebagai subyek politik yang mengartikulasi kepentingannya tidak sebatas pemilu, tetapi juga dalam praktik sehari-hari. Apalagi sejumlah institusi formal yang ada sering kali mengeksklusi warga negara, baik karena dikooptasi oleh elite, pengaturan birokrasinya yang rumit atau dinaturalisasi sebagai agenda politik elektoral.
Berbagai studi, misalnya, mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan tidak selalu menjamin penyelesaian masalah-masalah warga negara secara tuntas. Meskipun perubahan tata aturan dan regulasi lembaga-lembaga formal yang memfasilitasi demokrasi juga bekerja sangat baik, perbaikan-perbaikan tersebut tidak berlangsung merata (khususnya di lembaga-lembaga representasi dan tata kelola pemerintahan) sehingga lembaga-lembaga demokrasi juga sering disalahgunakan (Hirariej dan Stokke, 2018:18-19).
Atau misalnya sejak Pemilu 2014 dan 2019, di tengah pujian terhadap berbagai perubahan institusional, regresi dan stagnasi demokrasi yang terjadi melalui manipulasi aturan dan lembaga negara untuk merepresi kritik dari warga negara, melemahkan lawan politik di pemilu (Power dan Warbuton, 2021). Termasuk praktik-praktik institusional yang turut memperkuat kekuasaan oligarki (Hadoz dan Robison, 2004).
Keterbatasan desain prosedural mengharuskan perubahan sistem pemilu diterjemahkan secara konkret dalam hubungan antara elite atau partai dengan warga negara. Tujuannya agar akses warga negara untuk bernegosiasi dengan elite atau partai politik tetap terjalin meskipun pemilu telah usai. Kasus penting dari representasi politik seperti ini bisa dirujuk pada kasus Argentina dan India, ketika hubungan warga negara dan elite atau partai terpilih menghasilkan akses politik yang lebih luas setelah pemilu.
Di Argentina, kantor Partai Peronis di tingkat desa (unidad basicas) menyediakan susu gratis hingga piknik bagi warga kampung kumuh (Auyero, 2000). Atau di India warga bisa bertemu dengan para politisi partai (neta) yang mereka pilih di gedung-gedung pertokoan atau gudang kekuasaan (satta ki dukuan) dan menyampaikan keluhan dan meminta bantuan untuk mengatasi persoalan sehari-hari. Mulai dari masalah kepolisian, sengketa tanah, mengajukan pinjaman untuk jaminan masuk sekolah atau anggaran untuk meningkatkan kebutuhan sehari-hari (Berenshcot dan Bagchi, 2020:463).
Berkaca kepada kasus di Argentina dan India, maka soal penting dari politik representasi kita adalah kegagalan membangun relasi politik antar negara dan warganya. Kegagalan tersebut tidak saja paralel denga tingginya ketidak-percayaan warga terhadap institusi politik dan partai yang diberitakan banyak survei, tetapi juga mencerminkan jarak yang renggang antara warga negara dan pemilu. Ruang renggang tersebut kemudian diisi oleh praktik-praktik klientelistik personal dan sentralisasi partai.
Baca juga: Parpol dan Sistem Pemilu
Pada beberapa alasan, soal-soal tersebut dianggap bisa diatasi melalui sistem proporsional tertutup yang menjanjikan penguatan ideologi partai. Atau oleh sistem proporsional terbuka yang membuka ruang partisipasi warga dan kompetisi antarelite. Namun terlepas dari dua solusi prosedural tersebut, harus ada jaminan bahwa ideologisasi partai juga tidak hanya memperkuat elite politik yang memiliki akses terdekat ke pimpinan partai. Selain juga jebakan kontestasi terbuka antara elite yang rentan menciptakan praktik klientelistik dapat dihindari, jika kontrol politik dari warga negara terhadap elite partai juga diperkuat.
Persoalan-persoalan tersebut tidak hanya dicarikan solusinya pada perubahan institusi, tetapi juga ditopang oleh desain pemilu yang berakar pada kekuatan politik warga. Selama desain pemilu proporsional tertutup atau terbuka tidak memiliki akar politik yang kuat di level warga, selama itu pula kita akan terus menyederhanakan masalah-masalah politik representasi sebagai persoalan teknis. Dalam jangka panjang, kita juga akan selalu gagal menemukan akar dari defisit demokrasi meskipun selalu berusaha mengubah desain pemilu dari masa ke masa.
Ardiman Kelihu, Peneliti di Research Center for Politics and Government, Fisipol UGM
Instagram: ardimankelihu