Generasi Kreatif dan Unggul
Generasi unggul adalah generasi kreatif dan inovatif. Mereka mesti terampil kerja teknis disertai kualitas kepemimpinan dan keterampilan manajerial.
Suatu hari, saya duduk merenung di halaman kompleks Candi Borobudur, Magelang. Sebuah bangunan indah yang sangat menakjubkan sehingga oleh UNESCO dinyatakan sebagai salah satu keajaiban dunia. Pembangunan candi ini membutuhkan waktu sedikitnya 50 tahun pada abad ke-8. Ketika itu pikiran saya pun melayang membayangkan Tembok Besar China yang panjangnya 21.196 kilometer, dibangun secara estafet oleh sembilan dinasti, dimulai sejak 722 SM.
Bangunan serupa yang mengundang kekaguman dunia adalah monumen piramida di Mesir yang didirikan sejak 2600 SM. Setiap piramida membutuhkan waktu sedikitnya 30 tahun untuk menyelesaikannya.
Ketiga bangunan historis yang masih berdiri tegak sampai hari ini tersebut awal mulanya pasti muncul dari sebuah imajinasi dan tekad yang kemudian diwujudkan dalam karya nyata atas kendali penguasa waktu itu. Sebuah karya besar meniscayakan terjadinya kesinambungan imajinasi dan aksi dari generasi ke generasi dalam lintasan sejarah.
Baca juga: Imajinasi Baru Kebangsaan
Imajinasi Indonesia
Berbagai pohon peradaban yang tumbuh dan menjulang tinggi, yang bertahan sampai hari ini, pada mulanya diinisiasi oleh mereka yang punya mimpi dan imajinasi besar. Termasuk warisan dan bangunan agama besar dunia yang ada.
Pemuda Muhammad yang oleh umat Islam diyakini sebagai nabi utusan Tuhan memulai gerakannya dari padang pasir Arabia yang tandus. Dia adalah sosok historis yang perjalanan dan sepak terjang hidupnya terang benderang dalam sorotan sejarah. Berbagai ucapannya bisa dipahami masyarakat, yang kemudian diabadikan dalam tulisan, sehingga terbuka untuk dikritik atau diapresiasi oleh siapa pun sampai hari ini.
Banyak orang terinspirasi oleh ucapan dan tindakannya.
Yang masih segar dalam ingatan kita adalah imajinasi dan ide besar yang kemudian dikenal sebagai ikrar Sumpah Pemuda 1928. Waktu itu imajinasi terwujudnya satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa nasional bernama Indonesia oleh orang tua dan masyarakat dianggap impian di siang bolong yang mustahil terwujud. Ratusan etnik yang hidup terpencar di beberapa pulau di bawah kekuasaan puluhan sultan merupakan tembok besar dan kokoh bagi terwujudnya negara kesatuan Indonesia.
Yang masih segar dalam ingatan kita adalah imajinasi dan ide besar yang kemudian dikenal sebagai ikrar Sumpah Pemuda 1928.
Belum lagi mereka menganut keyakinan agama yang berbeda dan berbicara dengan berbagai bahasa lokal yang beraneka ragam. Ini tantangan yang sangat besar untuk disatukan dalam rumah bangsa yang sama.
Waktu itu yang namanya bangsa Indonesia juga belum ada. Yang ada adalah ratusan suku yang kadang saling berkonflik terhadap yang lain. Bangsa Indonesia adalah sebuah imajinasi dan proyek sejarah politik di masa depan.
Indonesia tidak punya masa lalu, tetapi memiliki aset warisan budaya luhur yang berakar di berbagai masyarakat Nusantara. Cita besar membangun bangsa Indonesia memiliki modal sosial berupa cita-cita dan ingatan kolektif dari para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan yang mendambakan agar penduduk Nusantara ini terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Cita-cita agar alam Nusantara yang indah dan kaya raya ini mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga Nusantara.
Indonesia karya generasi unggul
Tanggal 17 Agustus 1945 menandai lahirnya negara Republik Indonesia, anak kandung dari perjuangan panjang masyarakat Nusantara yang digerakkan oleh generasi muda. Negara Indonesia telah berdiri sejak 77 tahun lalu, tetapi sebagai sebuah bangsa masih dalam proses pembentukan dan konsolidasi yang tak pernah berhenti.
Sekarang semakin berkembang populasi warga negara yang secara etnik semakin ”mengindonesia”, yaitu generasi hibrida hasil perkawinan silang antaretnik di Indonesia. Orangtua mereka bertemu di kampus-kampus papan atas yang melanjutkan hubungannya ke jenjang rumah tangga, atau bertemu di tempat kerja yang bergengsi. Dari sini muncul generasi baru Indonesia bibit unggul yang memiliki peluang untuk studi lanjut, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dari aspek ketatanegaraan, demokrasi yang tumbuh di negeri ini adalah produk masyarakat Indonesia, diperkaya oleh putra-putri bangsa yang studi di luar negeri. Dengan kata lain, generasi unggul dan terpelajar dari dulu sudah menunjukkan peran besar dan historis dalam mengantarkan kemerdekaan dan menata rumah besar Indonesia dengan masyarakatnya yang plural dan religius. Pluralitas dan religiositas adalah semacam DNA bangsa Indonesia.
Baca juga: Mendidik untuk Menuai Generasi Unggul Masa Depan
Pengalaman tiga orde
Dengan sekian banyak aset kultural, kekayaan alam, jumlah penduduk, dan perjalanan panjang membangun kehidupan politik, ekonomi, dan pendidikan, sudah banyak capaian yang diraih bangsa ini. Meski demikian, masih terasa adanya kemiskinan imajinasi dan langkah gereget untuk mengangkat bangsa dalam konteks persaingan global.
Dibandingkan masa awal kemerdekaan, hari ini kita memiliki jumlah ilmuwan, fasilitas belajar, dan peluang berkarya yang jauh lebih banyak. Namun, dibandingkan beberapa negara lain, dengan aset sosial dan ekonomikal yang ada, kita ini jauh ketinggalan larinya.
Kita pernah bereksperimentasi dengan Orde Lama dan Orde Baru, yang keduanya berakhir antiklimaks dan dirayakan oleh para mahasiswa di jalanan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menandai berakhirnya dua rezim itu. Jika sebuah generasi dan orde berlangsung sekitar 25 tahun, sekarang kita sudah mendekati fase akhir Orde Reformasi. Semoga akhir ceritanya tidak mengalami antiklimaks.
Meski demikian, masih terasa adanya kemiskinan imajinasi dan langkah gereget untuk mengangkat bangsa dalam konteks persaingan global.
Terdapat tiga agenda pokok reformasi sebagai antitesis terhadap Orde Baru. Satu, pembatasan masa jabatan presiden paling lama dua periode. Dua, desentralisasi kekuasaan agar pelayanan ke masyarakat lebih pendek, lebih cepat, dan lebih baik, serta masyarakat setempat bisa memilih pemimpin terbaiknya melalui pilkada. Tiga, kebebasan berserikat sehingga dimungkinkan berdirinya multipartai yang lebih dari tiga partai seperti masa Orde Baru.
Di atas semua itu adalah membangun pemerintahan yang bersih, bebas korupsi. Apakah agenda pokok reformasi berlangsung seperti yang diharapkan?
Rasanya tidak. Prestasi nyata reformasi yang mesti diapresiasi adalah masyarakat bebas berserikat dan berbicara (freedom of speech) serta secara tegas masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode. Tujuan mulia di balik agenda desentralisasi kekuasaan ternyata meleset, sementara korupsi malah kian menyebar dengan jumlah fantastis.
Meminjam analisis Yuval Noah Harari, sebuah bangsa dan negara akan mampu bertahan dan berkompetisi di masa depan jika memenuhi tiga syarat utama. Satu, memiliki prestasi sains dan teknologi yang andal untuk mendukung kemajuan ekonomi dalam persaingan global. Dua, pemerintahan yang bersih, efektif, dan berwibawa sehingga secara politik bisa melakukan konsolidasi dan mengarahkan semua aset bangsa yang dimiliki. Tiga, semangat nasionalisme dan pemihakan yang kuat pada kepentingan bangsa dan masyarakatnya.
Menurut Harari, Jepang merupakan salah satu bangsa dan negara yang memenuhi tiga kriteria di atas.
Hari ini kita menyaksikan munculnya generasi baru pascareformasi yang akan mengantarkan Indonesia memasuki 100 tahun kemerdekaan, yang diharapkan menandai abad emas. Untuk ini diperlukan imajinasi dan peta jalan yang visioner dan operasional agar langkah dan prosesnya terjaga dan terukur untuk meraih Indonesia Emas. Saya kira kita memiliki putra-putri bangsa yang hebat berkat pendidikan yang mereka peroleh baik di dalam maupun di luar negeri.
Baca juga: Impian Indonesia Emas
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) fungsinya sangat instrumental dalam memfasilitasi anak-anak cerdas Indonesia untuk meneruskan studi lanjut ke universitas dunia papan atas. Belum lagi lembaga BUMN yang terus melakukan capacity building bagi calon pemimpin perusahaan masa depan.
Hanya saja, pada tataran nasional kita merasakan terjadi defisit narasi besar dan role model yang memberikan arah, stimulasi, dan keteladanan bagi pelajar dan mahasiswa yang memacu mereka untuk berlomba menjadi generasi unggul calon pemimpin bangsa di berbagai lini. Kehadiran teknologi media sosial telah mendorong banjirnya konten di dunia maya yang penuh sensasi dan hoaks.
Sementara itu, para pejabat pemerintahan dan elite politik dikesankan lebih sibuk dengan agenda dan isu perebutan kekuasaan dan sumber ekonomi yang berjangka pendek. Dunia kampus pun dibuat resah oleh kebijakan birokratisasi pemerintah yang menghambat para dosen untuk melakukan riset keilmuan yang berkualitas. Jika birokratisasi kampus berkelanjutan, dikhawatirkan di masa depan kampus tak akan diisi oleh para ilmuwan terbaik bangsa untuk mengantarkan lahirnya generasi unggul.
Menapaki masa depan
Ada keunikan bangsa ini yang mesti kita sadari dan terima, tetapi jangan dijadikan dalih untuk tidak maju, yaitu kondisi geografis yang terdiri dari ratusan pulau, pluralitas etnik, dan jumlah populasi yang besar, tetapi pendidikan tidak merata. Kondisi ini tentu berbeda dari negara daratan dengan penduduk yang secara etnik relatif homogen, misalnya Jepang, Korea, atau Turki.
Siapa pun pemerintahnya sering dibuat sibuk dengan ongkos yang mahal untuk menjaga kerukunan masyarakat sehingga menguras energi yang mestinya bisa disalurkan untuk pembangunan sains dan ekonomi. Kondisi ini merupakan tantangan yang mesti dipecahkan pemimpin bangsa agar kita tidak terjebak dalam perseteruan politik dengan ongkos mahal dan jalan di tempat.
Salah satu agenda pembangunan bangsa ke depan adalah bagaimana mengapitalisasi keberagaman budaya dan penyebaran pulau menjadi sentra-sentra unggulan yang distingtif di bidang pendidikan, ekonomi, dan budaya sesuai dengan potensi wilayahnya. Dengan demikian, kita tak berhenti bicara pada pluralitas etnik, tetapi keunikan dan keunggulan setiap daerah dalam bidang industri yang menciptakan kesejahteraan bagi rakyat daerahnya.
Lembaga pejuang demokrasi hari ini cenderung menutup diri bagi masuknya putra-putri bangsa terbaik.
Program ini sejalan dengan desain awal desentralisasi kekuasaan agar setiap kepala daerah punya agenda dan passion memajukan daerahnya. Sayangnya, mayoritas kepala daerah wakil partai politik tidak memiliki peta jalan dan kualitas kepemimpinan yang andal untuk memajukan daerahnya.
Kita memang sudah sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi. Namun, jangan hanya kebebasan berserikat dan berbicara yang menonjol, tetapi tak produktif bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Lembaga pejuang demokrasi hari ini cenderung menutup diri bagi masuknya putra-putri bangsa terbaik, padahal mereka memiliki legalitas dan akses untuk memasukkan kadernya di lembaga legislatif dan eksekutif yang akan mengendalikan perjalanan bangsa ke depan.
Ke depan perlu dipertimbangkan untuk memperbanyak daerah ”otorita” yang didesain sebagai pusat industri yang kompetitif dalam persaingan global, dengan manajemen yang semi-”otoriter” dengan tetap berpegang pada prinsip akuntabilitas dan meritokrasi.
Di pusat-pusat otorita ini berkumpul ilmuwan dan teknokrat terbaik untuk berkarya. Untuk ini, kita memerlukan ilmuwan-ilmuwan yang tak hanya bangga dengan titel dan keluasan ilmunya, tetapi ujungnya hanya pencari kerja.
Baca juga: Memimpi dan Memimpin Kejayaan
Generasi unggul yang kita perlukan adalah juga ilmuwan yang kreatif dan inovatif. Mereka mesti terampil kerja teknis disertai kualitas kepemimpinan dan keterampilan manajerial. Sarjana yang hanya membanggakan titel dan ilmunya sekarang sudah tergantikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang jauh lebih pintar, akurat, dan murah biayanya untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan.
Negara sudah mengeluarkan anggaran ribuan triliun rupiah untuk menyekolahkan putra-putrinya, tetapi di sana terdapat jarak menganga antara teori dan pesan moral yang diterima di dunia pendidikan dan realitas politik dan budaya kerja yang ada. Sekian banyak sarjana terbaik kampus, begitu menduduki jabatan politik dan birokrasi, perilakunya berubah.
Begitu pun mereka yang sudah menghabiskan waktu dan dana untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi papan atas dunia, ketika pulang mereka tak bisa mengaktualisasikan ilmunya. Seorang ilmuwan unggul dan berintegritas peluang pengabdiannya di jajaran birokrasi pemerintahan sering kali dikalahkan oleh kader partai dengan kualitas yang jauh di bawahnya.
Birokrasi yang memberdayakan
Jadi, kita perlu mendesain ulang peta jalan pembangunan bangsa. Meskipun sudah hidup di zaman kemerdekaan, budaya birokrasi kita belum bekerja optimal memberdayakan masyarakat dengan modal sosial dan modal alam yang mereka miliki. Pemerintah memiliki tenaga kerja dan legalitas untuk membuat kebijakan dan membelanjakan uangnya untuk melayani rakyatnya.
Sayangnya, mental feodal dan mental penguasa masih melekat pada perilaku birokrat kita. Mereka itu pelayan, fasilitator, bukan penguasa, jangan membuat rakyat sudah berpikir pesimistis dan negatif setiap berurusan dengan birokrasi. Situasi ini semakin buruk ketika terjadi intervensi kepentingan politik yang berebut posisi strategis pada jajaran pemerintahan ataupun BUMN.
Jika budaya feodalistis yang menggeser prinsip meritokrasi dan profesionalisme ini masih berlanjut, apa yang telah diajarkan dan dihasilkan lembaga pendidikan untuk membangun manusia unggul akan sulit untuk ikut partisipasi di sektor pemerintahan guna mengaktualisasikan dan mengembangkan ilmunya. Salah satu jalan keluar dari situasi ini, pemerintah mendelegasikan tugas-tugasnya pada dunia kampus dan institusi sosial melalui mekanisme kompetisi sesuai keunggulan masing-masing.
Baca juga: Indonesia Emas 2045
Namun, pihak universitas mesti bisa meyakinkan pemerintah akan kompetensinya. Sementara ini, dana-dana riset yang disalurkan ke lembaga perguruan tinggi terikat tahun anggaran, bukan multiyears, sehingga universitas tak bisa menghasilkan karya besar yang juga berdampak besar bagi pengembangan sains dan ekonomi.
Merayakan seabad kemerdekaan RI pada 2045, saya membayangkan dan berharap kekuatan masyarakat sipil sudah bangkit dan bergairah berpartisipasi membangun bangsa dan negara, mengingatkan ketika mereka dulu berjuang mengantarkan lahirnya negara ini. Selama hubungan pemerintah dan masyarakat berlangsung bagaikan patron-client relationship, beban negara akan sangat berat, sementara masyarakat tak akan tumbuh dewasa dan otonom.
Memasuki seabad kemerdekaan nanti, saya berimajinasi jajaran birokrasi pemerintah diisi oleh tenaga-tenaga profesional yang berintegritas dan punya visi dan komitmen untuk memajukan bangsa ini yang disegani dunia. Waktu itu parpol sebagai lembaga penjaga demokrasi benar-benar mewakili suara dan kepentingan rakyat, sementara masyarakat secara sukarela membantu parpol, agar parpol tidak dibajak dan dimanipulasi para oligark untuk menggerus kekayaan negara.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)