Kebijakan sekolah dan guru penggerak perlu didukung. Namun, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan secara masif dan massal kepada guru-guru di luar guru penggerak agar kemampuan mereka meningkat.
Oleh
ODEMUS BEI WITONO
·3 menit baca
Kebijakan sekolah dan guru penggerak yang digagas dan diupayakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu didukung. Mengapa? Karena bukan perkara mudah meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan secara nasional.
Pada tataran praksis, kalau mau jujur, kondisi pendidikan kita sejak republik ini berdiri hingga kini tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Banyak ketimpangan produk pendidikan yang dihasilkan. Hasil paling nyata, yaitu peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia dinilai buruk secara global.
Oleh karena itu, tugas pemerintah bersama masyarakat, dalam hal ini sekolah di seluruh wilayah Indonesia, tidaklah mudah. Peran sekolah dan guru penggerak, termasuk pelatih ahli, sangat diperlukan. Indonesia membutuhkan pemimpin mentor yang mampu menggerakkan sekolah-sekolah di seluruh negeri.
Kehadiran sekolah dan guru penggerak perlu disambut baik oleh aneka komunitas pendidikan. Kumpulan guru penggerak bukanlah kelompok elitis yang menciptakan narasi fragmentasi di dalam masyarakat.
Mereka adalah pemimpin mentor yang melayani komunitas sekolah agar lebih hidup dan bertumbuh. Guru penggerak menjadi ujung tombak pergerakan, model inspiratif yang membantu rekan guru lain untuk berubah meningkatkan pelayanan edukatif.
Guru penggerak merupakan pendidik berkarakter yang mempunyai (1) kemampuan mengembangkan diri dan rekan guru melalui refleksi, berbagi, dan berkolaborasi; (2) kematangan moral, dan kepribadian baik; (3) daya kepemimpinan kuat guna mencapai visi yang berpihak pada murid, dan relevan dengan kebutuhan komunitas di sekolah sekitar.
Kehadiran sekolah dan guru penggerak bukanlah ancaman, melainkan mitra kemajuan bersama. Beberapa guru penggerak yang saya kenal di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang menunjukkan dedikasi pelayanan prima dalam menggerakkan komunitas pendidikan. Mereka berupaya sungguh mengimbaskan kompetensi yang dimiliki untuk menggerakkan rekan guru, para murid, orangtua, dan pemangku kepentingan.
Proses panjang
Menurut saya, kritik Mas Doni terhadap pemerintah (Penggerak Elitis, Kompas.id, 8 Juni 2023) kurang mendasar dan tidak menyentuh substansi apa yang sudah dan sedang diupayakan pemerintah karena untuk menghasilkan guru penggerak membutuhkan proses yang panjang.
Waktu tiga tahun tidak cukup representatif untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Pemerintah perlu diberi kepercayaan memproses guru-guru terpilih untuk menjadi inspirator, dan penggerak bagi para pendidik.
Sekolah dan guru penggerak dalam berbagai analisis lapangan tidak serta merta menghasilkan fragmentasi, elitisme, dan ketidakadilan. Mereka sebaliknya menghadirkan kondisi kondusif bagi kemajuan sekolah, yang membawa perubahan baik.
Sekolah dan guru penggerak dalam berbagai analisis lapangan tidak serta merta menghasilkan fragmentasi, elitisme, dan ketidakadilan.
Adanya sekolah dan guru penggerak bukanlah mempertajam ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan gagasan Plato, adil berarti setiap orang bekerja sungguh-sungguh sesuai kemampuan dan profesi yang diemban.
Guru berbakat yang lolos seleksi menunjukkan mereka memang mempunyai kualitas prima yang jika dilatih dan dibina dapat menjadi guru penggerak andal.
Guru penggerak yang sudah melalui prose pembinaan dan pelatihan jika sudah lulus akan mendapat semacam sertifikat. Sertifikat kelulusan ini bukan semata-mata kertas, tanpa roh simbolik yang menyertai. Secara semantik, tanda kelulusan sebagai pemacu sang guru untuk menjadi penggerak sesungguhnya.
Pembinaan dan pelatihan guru penggerak menjadi stimulus kuat agar guru bersangkutan terlibat aktif dalam memajukan komunitas pendidikan di mana mereka bekerja.
Suatu hal yang tidak masuk akal Mas Doni mengatakan bahwa satu penggerak menghabiskan anggaran Rp 15 miliar. Seandainya seluruh anggaran uji coba Kurikulum Merdeka pada 2021 sebesar Rp 2.86 triliun dihabiskan untuk 18.800 guru penggerak pun per orang anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 152 juta.
Padahal, anggaran Rp 2,86 triliun jika di-breakdown terbagi dalam mata anggaran Sertifikasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Rp 652 miliar; peningkatan kompetensi dan kualifikasi GTK (guru penggerak, dan balai penggerak) Rp 690,4 miliar; pembinaan peserta didik Rp 420 miliar; serta penjaminan mutu advokasi daerah, dan sekolah Rp 921,55 miliar.
Dengan demikian, khusus untuk program guru penggerak, jika diperuntukkan bagi 18.800 orang, per guru penggerak membutuhkan anggaran sekitar Rp 35 juta. Anggaran tersebut masuk akal, wajar, dan dapat diterima secara baik karena di sebuah lembaga pendidikan swasta di Jakarta saja untuk mengadakan program pengaderan calon kepala sekolah membutuhkan anggaran Rp 200 juta per angkatan untuk jangka waktu pembinaan satu semester.
Di Perkumpulan Strada, ada program KKS (Kursus Kepala Sekolah). Kami memilih guru-guru berbakat memimpin, kemudian kami bina dan latih selama enam bulan. Mereka setelah lulus dapat menggerakkan sekolah-sekolah Strada menjadi semakin berkualitas. Dalam lima tahun terakhir, grafik kemajuan sekolah bertumbuh secara signifikan. Saat ini indeks kepuasan pelanggan mencapai angka 8,4 dari 10. Pencapaian indeks yang sangat tinggi bagi persekolahan swasta, seperti Perkumpulan Strada.
Catatan kritis
Selain memberikan tanggapan terhadap Mas Doni, saya juga memberikan catatan kritis terhadap pemerintah agar guru-guru yang sudah ada sekarang (di luar guru penggerak) melalui pelatih ahli dapat dibuatkan aneka pelatihan secara masif dan masal agar kemampuan guru-guru biasa meningkat secara merata, syukur-syukur menjadi setara dengan guru penggerak.
Guru-guru terlatih diharapkan juga mendapatkan kesejahteraan yang lebih layak. Guru-guru swasta, selain mendapat gaji dari pihak yayasan, seyogianya juga mendapat insentif yang ”otomatis” masuk ke dalam struk gaji mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi guru swasta yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional.
Anggaran besar yang digelontorkan pemerintah perlu dikawal dan digunakan secara efektif dan efisien. Anggaran besar hendaklah diserap berdasarkan maksud dan tujuan yang jelas.
Penggunaan anggaran oleh pemerintah perlu diaudit sewaktu-waktu guna mengukur sejauh mana penggunaan dana pembinaan dan pelatihan calon guru penggerak. Dengan demikian, penyelewengan anggaran tidak perlu terjadi.
Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, perlu mendorong agar sekolah-sekolah yang sudah terakreditasi A atau B terdapat minimal satu guru penggerak. Mereka dapat dibekali bukan hanya oleh kampus-kampus universitas, tetapi juga yayasan-yayasan independen yang mampu melatih dan mengembangkan guru-guru secara masal sehingga ”wajah elitis” penggerak hilang bersamaan dengan kemajuan sekolah-sekolah di Indonesia.
Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan