Kebebasan berpendapat harus jadi pilar utama dalam membangun komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Pedoman bagi pejabat publik bukan bebas bertanggung jawab atau bebas tapi sopan, tetapi mendengarkan dan memahami.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·3 menit baca
Polda Lampung menghentikan penyelidikan kasus Bima Yudho Saputro karena dinilai tidak memenuhi unsur pidana, Selasa (18/4/2023). Sebelumnya, seorang pengacara bernama Gindha Ansori melaporkan Bima atas dugaan ujaran kebencian sebagaimana persangkaan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45 Ayat 2. Buktinya adalah unggahan video tentang kondisi jalan di daerahnya dalam tajuk ”Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-maju”.
Kasus ini menjadi perhatian luas karena Gubernur Lampung dinilai berlebihan menanggapi unggahan video itu. Ketika dikonfirmasi, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi membantah tuduhan telah mengintimidasi Juliman, orangtua Bima, (17/4/2023). Karena itu, dia meminta kepada wartawan agar membuktikan tuduhan itu.
Penghentian penyelidikan secara formal itu hanya sebagian kecil dari model penyelesaian kasus kritik terhadap kebijakan pemerintah. Sebagian lain kritik itu membawa akibat terhadap pribadi, seperti hilangnya pekerjaan, status hukum, menjadi tersangka, hingga wacana perdebatan publik. Pertanyaannya, bagaimana baiknya model komunikasi antara masyarakat dan pemangku kebijakan?
Praktik speak up (angkat bicara) di kalangan anak muda adalah kritik terhadap model komunikasi formal. Praktik komunikasi antara masyarakat dan pemerintah secara formal dapat diidentifikasi melalui media model dengar pendapat, pembuatan call center, surat aduan, serta kanal-kanal lain yang disediakan pemerintah. Diharapkan media tersebut mampu menampung aspirasi masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan publik.
Fakta yang terjadi, saluran komunikasi itu tak jarang berisi pernyataan sopan santun dan jawaban formal yang bisa ditebak. Selain itu, media komunikasi publik yang sangat beragam itu memperkecil efektivitas saluran aduan yang telah disediakan pemerintah.
Saluran komunikasi yang bebas dan melimpah itulah barangkali yang dikehendaki Jurgen Habermas, filsuf Jerman, 40 tahun lalu ketika menerbitkan buku Theory of Communicative Action (1981). Dia mendamba hadirnya masyarakat partisipatif dalam pembangunan pemerintah. Masyarakat ini sekaligus bisa berkomunikasi dengan para pemangku kebijakan secara bebas, adil, dan setara. Ketika dia menulis pada akhir tahun 1970-an, media komunikasi belum berkembang seperti sekarang.
Ketika dambaan itu telah terwujud, nyatanya masyarakat partisipatif hingga kini tidak terwujud karena komunikasi tidak pernah bisa bebas dan setara. Kasus Bima membuktikan kelemahan gagasan itu. Apabila melihat secara kronologis, setelah video itu viral, orangtuanya dipanggil oleh Wakil Bupati Lampung Timur.
Dalam pertemuan itu, melalui gawai wakil bupati, Gubernur Lampung mengambil kesempatan berbicara dengan orangtua Bima. Menurut pengakuan juru bicara keluarga, Bambang Sukoco, ada kata-kata yang kurang bijak dari Gubernur Lampung, yakni ”tidak bisa mendidik anak”.
Reaksi para pejabat pemerintah daerah ini merupakan wujud dari langkah-langkah yang diambil selama ini. Becermin dari kasus itu, tidak sulit untuk menyatakan bahwa pemerintah ternyata tidak memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola komunikasi publik.
Kegagalan komunikasi
Ketidakmampuan mengelola komunikasi publik tersebut terjadi karena empat fakta yang paling mendasar.
Pertama, lepas dari bantahan adanya intimidasi, pemanggilan seorang warga yang tidak memiliki jabatan struktural dalam pemerintahan tentu tidak wajar. Selama ini secara umum praktik komunikasi pemerintah-masyarakat hanya terjadi ketika mengurus catatan sipil, kepolisian, izin usaha, serta catatan adminitratif lain dengan persyaratan dan ketentuan yang telah dijelaskan pemerintah. Aturannya, persyaratan yang kurang secara administratif tidak mendapatkan pelayanan. Jadi, kedatangan seorang warga adalah karena kebutuhan administratif. Pemanggilan secara personal adalah kata lain dari praktik penertiban.
Kedua, ada paradigma bahwa laporan kepolisian dapat dianggap sebagai bentuk pelajaran bagi siapa saja yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Idealnya, tidak setiap kritik kepada pemerintah harus diselesaikan secara legal-formal. Itulah kenapa kasus pemidanaan kepada warga yang dinilai mengkritik pembangunan tidak perlu terjadi. Dalam kasus lain tampak jelas ada campur tangan kekuasaan ketika seorang menteri melaporkan aktivis di lembaga swadaya masyarakat karena dinilai sudah ”mencemarkan nama baik”.
Becermin dari kasus itu, tidak sulit untuk menyatakan bahwa pemerintah ternyata tidak memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola komunikasi publik.
Ketiga, tidak adanya kemampuan mengelola komunikasi publik. Paradigma dasarnya, kebebasan berpendapat haruslah menjadi pilar utama dalam membangun komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kebebasan itu tidak pernah terjadi ketika seorang guru harus kehilangan pekerjaan karena mengkritik gaya komunikasi gubernur yang berbicara dengan pelajar sambil mengenakan jas warna kuning.
Keempat, jalur komunikasi yang bebas hambatan itu mestinya menjadi peluang bagi pemerintah untuk mengembangkan komunikasi publik yang intensif dan ekstensif. Publikasi program-program pro-rakyat, pertanggungjawaban, serta jawaban pemerintah yang persuasif jauh lebih efektif ketika memanfaatkan program terapan (aplikasi) yang sedang tren di jagat maya. Pola komunikasi yang berubah menuntut pemerintah membiasakan diri dengan praktik komunikasi yang baru.
Empat fakta tersebut menunjukkan bahwa kompetensi pemerintah sangat minim dalam mengelola komunikasi publik. Meskipun kasus ini telah meluas, kiranya belum terlambat bagi pejabat publik untuk memperbaiki kompetensi ini. Langkah-langkah seperti pemanggilan, mendatangi rumah, meminta nomor rekening, kartu pelajar, kartu debit, dan ijazah SMA adalah respons yang tidak relevan dalam menjawab kritik yang dilontarkan.
Pendek kata, penting kiranya bagi pejabat publik mengembangkan kemampuan argumentasi, menganalisis sesat pikir, negosiasi, serta persuasi. Jangan sampai salah pedoman. Sebab, pedoman bagi pejabat publik bukan ”bebas bertanggung jawab” atau ”bebas tapi sopan”, tetapi ”mendengarkan dan memahami”.