Korupsi dan Kedewasaan Berpolitik
Kedewasaan berpolitik para elite perlu dirumuskan kembali, yaitu kedewasaan berpolitik yang berbudi luhur dan berasaskan Pancasila. Dengan demikian, elektabilitas akan segaris dengan kinerja, bukan karena uang.
”Mengapa harus menjalani korupsi? Justru karena hidup hampir selesai aku harus menikmati kekayaan dunia”.
Pembaca novel berjudul Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer tentu tidak asing dengan penggalan perang batin seorang birokrat bernama Bakir untuk memanipulasi pengadaan barang. Bahkan, keluarga sebagai benteng moral pun tidak sanggup membendung syahwat korupsi. Akibatnya, integritas yang selama ini dibangun menjadi sia-sia dan berakhir di balik jeruji besi.
Namun, potret pahit kehidupan seorang Bakir ternyata bukan hanya ada di dunia cerita dan khayalan. Setidaknya hal tersebut terlihat dari geliat KPK dalam menetapkan tersangka dan operasi tangkap tangan (OTT) tindak pidana korupsi pejabat pemerintahan dalam beberapa pekan terakhir.
Setelah berhasil mengamankan Bupati nonaktif Kapuas beserta istrinya yang anggota DPR, KPK secara maraton berhasil melakukan OTT terhadap Bupati nonaktif Kepulauan Meranti, pejabat Kementerian Perhubungan, dan yang terbaru Wali Kota Bandung. Terlepas apresiasi kepada KPK, fenomena tersebut menyiratkan setidaknya dua hal penting.
Baca juga: Indonesia dan Korupsi
Pertama, dengan banyaknya kasus korupsi, suka tidak suka menjadi sebuah pertanda bahwa umur jabatannya akan segera berakhir dan pesta demokrasi 2024 akan segera dimulai. Bupati nonaktif Kapuas dan istri serta bupati nonaktif Kepulauan Meranti mempunyai motif korupsi yang relatif sama, yakni sebagai ”amunisi” pemilu.
Hal yang selalu menjadi kambing hitam adalah ongkos politik yang mahal untuk memenangi kontestasi di pemilu. Maka, tidak heran mereka yang mempunyai keuntungan elektoral sebagai pemegang kekuasaan atau petahana (incumbent) berusaha memaksimalkan posisi untuk kepentingan pribadi dan dinasti politik.
Bahkan, ICW (2023) menyebutkan bahwa modus korupsi untuk biaya politik adalah hal yang selalu berulang dan ”lumrah” jelang pemilu. Tentu hal tersebut tidak bisa dibenarkan meskipun klientelisme berpadu dengan populisme akut tengah menjangkiti demokrasi kita.
Kedua, jika dalam novel, istri Bakir menjadi sosok yang berusaha menangkal virus koruptif suaminya, dalam realitas keluarga justru terlibat dalam lingkaran setan korupsi. Fenomena ini merupakan contoh kesekian kalinya yang mengindikasikan bahwa dinasti politik memang sangat beracun. Meskipun tidak selalu terkait dengan korupsi, nalar mengarahkan bahwa dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Ia merupakan benih munculnya kekuasaan absolut. Tentu kutipan Lord Acton sangat mengena, di mana power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Dinamika tersebut menjadi sebuah anomali demokrasi kontemporer Indonesia yang ternyata mampu bertahan di tengah pusaran kemunduran demokrasi global. Indeks Demokrasi yang terbaru pada 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-52 dari 167 negara yang dikaji; naik dari sebelumnya yang berada di peringkat ke-64. Di saat negara-negara lain sedang mengalami kemunduran demokrasi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang justru sedang menikmati adanya progres positif, setidaknya jika dilihat dari kenaikan indeks tersebut.
Namun, jika disandingkan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), justru menunjukkan hal yang berbeda dan bertolak belakang. IPK Indonesia yang terbaru menunjukkan penurunan pada tahun 2022 dengan skor 34, di mana skor sebelumnya adalah 38. Penurunan ini menjadikan Indonesia terlempar ke peringkat 110 dari 180 negara yang dikaji dan bahkan jauh di bawah sejumlah negara Asia Tenggara lainnya.
Jika sudah begitu, maka jalan tercepat untuk ’memagari’ pendukung dan swing voters-nya adalah dengan politik uang ataupun memanfaatkan birokrasi untuk korupsi dan kampanye terselubung.
Untuk melihat anomali tersebut secara lebih dalam, agaknya kita perlu kembali melihat lima indikator utama Indeks Demokrasi di mana proses elektoral di Indonesia justru menyumbangkan skor tertinggi (7,92), sedangkan kultur politik memiliki skor yang paling rendah (4,38). Dengan kata lain, proses elektoral, termasuk di dalamnya adalah pemilu, berhasil dijalankan secara reguler. Namun, kultur politik yang justru merusak masih menghantui proses demokratisasi di Indonesia.
Walaupun jumlah rerata pemilih dalam pemilu baik level nasional maupun daerah selalu tinggi, riset dari Setiawan dan Tomsa (2022) menunjukkan bahwa terlihat ada gejala pembelian suara (vote buying) dan peralihan dari competitive election menjadi personalistic election di Indonesia. Artinya, pemilu saat ini bukan lagi persoalan adu tawaran gagasan ide ataupun ideologi partai, melainkan lebih ke persona individu calon.
Jika sudah begitu, maka jalan tercepat untuk ”memagari” pendukung dan swing voters-nya adalah dengan politik uang ataupun memanfaatkan birokrasi untuk korupsi dan kampanye terselubung. Catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2023 menyebutkan bahwa ada aliran dana Rp 1 triliun yang disinyalir dari hasil kejahatan dan mengalir ke anggota partai politik. Agak susah untuk tidak menghubungkan temuan tersebut dengan kultur politik dan demokrasi elektoral kita yang masih belum stabil dan dewasa.
Perbaikan
Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mereduksi dampak negatif dari politik elektoral di Indonesia. Pertama, mengutip hasil riset Dan Slater (2023), salah satu kunci sukses ketahanan demokrasi Indonesia saat ini adalah ”ibu” dari demokrasi itu sendiri, yakni peran serta masyarakat dalam pemerintahan. Mantan pejabat Ditjen Pajak yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK merupakan salah satu kasus yang muncul justru dari diskusi dan tekanan masyarakat di media sosial.
Memang peran serta masyarakat tersebut agak sedikit terhalang dengan aturan lainnya semisal pasal pencemaran nama baik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ambil contoh terbaru adalah kisruh seorang pemuda yang mengkritik pembangunan daerah asalnya di Lampung melalui media sosial, yang pada akhirnya berujung ke ranah hukum. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat adalah bagian penting dalam pemerintahan sehingga perlu diperkuat fungsi pengawasan publiknya.
Baca juga: Biaya Politik Tinggi Pemicu Korupsi
Terakhir, kedewasaan berpolitik para elite perlu dirumuskan kembali. Teringat pesan dari James Freeman Clarke, teolog dan penulis dari Amerika, lebih dari satu abad yang lalu. Ia berpendapat bahwa ”a politican thinks of the next election, a statesman thinks of the next generation” (seorang politisi selalu berpikir tentang pemilu yang akan datang, sedangkan seorang negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang).
Untuk itu, perlu kiranya partai politik dan pejabat publik mampu menjadi contoh kedewasaan berpolitik yang berbudi luhur dan berasaskan Pancasila. Akhir masa jabatan menjadi pertaruhan dengan menyempurnakan dan melaksanakan janji-janji politiknya. Dengan demikian, elektabilitas akan segaris dengan kinerja, bukan karena uang.
Rizqi Bachtiar, Dosen FISIP Universitas Brawijaya; Kandidat Doktor Ilmu Politik, University of Leeds, Inggris
Twitter: riezqiano