Polemik Sistem Proporsional Tertutup
Apakah sistem proporsional tertutup lebih baik? Jika masalahnya politik uang, sistem tertutup hanya akan memindahkan politik uang dari area publik di masa kampanye menjadi transaksi internal antar-elite partai.
Polemik terkait sistem pemilu representasi proporsional kembali mengemuka. Pasalnya adalah pernyataan Ketua KPU yang menyebut kemungkinan Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Pernyataan tersebut mengundang perdebatan hangat dalam beberapa hari terakhir. Baik yang pro maupun kontra mengatakan bahwa pilihan mereka adalah baik buat demokrasi Indonesia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Mereka yang kontra dengan sistem proporsional tertutup berkata bahwa demokrasi akan ”dibajak” oleh partai politik jika sistem ini diterapkan. Ini karena nama caleg tak lagi ada di surat suara dan pemilih hanya akan memilih logo partai. Kosekuensinya, kampanye-kampanye caleg dalam bentuk pemasangan baliho, spanduk, dan pembagian kaos mungkin tak lagi menjadi berguna.
Sementara yang pro dengan dengan sistem proporsional tertutup beralasan bahwa sistem ini bisa mendorong pemilu berbiaya lebih rendah. Anggapan ini dinyatakan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menganggap bahwa dari sisi penyelenggaraan, kebutuhan Pemilu 2024 paling tidak ada di angka Rp 31 triliun.
Baca juga: Antara Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup
Kondisi dan tujuan
Pilihan terkait sistem pemilu hampir selalu berangkat dari kondisi sosiologis dan politik suatu bangsa, desain sistem elektoral pendahulu, dan tujuan yang ingin dicapai. Yang penting dicatat, pilihan sistem pemilu tidak ada kaitannya dengan maju-tidaknya demokrasi suatu negara. Ini karena baik sistem proporsional terbuka atau tertutup—bahkan sistem distrik sekalipun—sama-sama harus dianggap demokratis sejauh ketiganya dijalankan dengan basis dan logika kompetisi elektoral yang sehat.
Oleh karena itu, ini adalah soal pilihan. Ketika Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009, alasan dasarnya adalah karena kita menginginkan masyarakat lebih mengenal caleg di dapil masing-masing.
Dengan sistem terbuka, kemungkinan kedekatan caleg dengan pemilih memang lebih tinggi karena caleg memiliki insentif turun menyapa masyarakat agar namanya dipilih di bilik suara. Dengan cara ini, pemilih diharapkan betul-betul menjatuhkan pilihan kepada caleg yang kapabel dan paling layak mewakili aspirasi mereka di dapil masing-masing.
Meski demikian, sejak 2009 itu pula politik uang kian merajalela. Sistem kampanye dengan nomor urut terbuka di setiap pemilu legislatif menciptakan model ”politik pasar”, yakni keterpilihan caleg amat bergantung dari negosiasi ”harga” yang dilakukan antara caleg dan pemilih. Tiga kali penyelenggaraan pemilu dengan sistem ini menciptakan model interaksi yang semakin terpola; baik caleg dan pemilih tahu bahwa politik uang—dengan segala variasinya—adalah kunci keterpilihan. Ini membuat politik Indonesia kontemporer kian berbiaya tinggi.
Dari sisi akademik, kenyataan ini telah membuat Indonesia masuk dalam referensi klasik di Asia soal hubungan antara desain sistem elektoral dan kesulitan memperkuat partai politik (party building). Indonesia mengonfirmasi studi-studi pendahulu di Amerika Latin yang menyatakan bahwa model representasi proporsional terbuka yang dipadukan dengan sistem multipartai akan menciptakan politik yang lebih terfokus pada kandidat (candidate-centered) dan bukan partai (party-centered). Kampanye bukan menjadi ajang promosi partai politik, melainkan personalisasi keunikan caleg. Akibatnya, aspek personal dan primordial seperti nama keluarga, agama, dan suku menjadi lebih penting dalam politik ketimbang nilai-nilai dan orientasi partai.
Sejak 2009 itu pula politik uang kian merajalela. Sistem kampanye dengan nomor urut terbuka di setiap pemilu legislatif menciptakan model ”politik pasar ”.
Selain itu, model proporsional terbuka juga menciptakan perang terbuka antarcaleg yang berasal dari partai yang sama. Alih-alih bekerja sama memperkuat basis sosial dan organisasi partai, caleg cenderung menutup diri dari kolega sesama partai. Ini karena caleg sadar bahwa pesaing utama mereka bukan berasal dari partai politik lain, melainkan dari internal partainya sendiri. Kenyataan ini menciptakan hubungan yang rumit antarcaleg sesama partai di masa kampanye yang pada ujungnya kembali mempersulit penguatan partai politik.
Rekomendasi
Apakah sistem proporsional tertutup adalah solusi dari persoalan-persoalan tersebut? Jawabannya mungkin tidak terlalu gamblang.
Terkait dengan persoalan politik uang, sistem tertutup sangat mungkin hanya memindahkan politik uang dari area publik di masa kampanye menjadi transaksi internal antar-elite partai. Caleg akan berebut dukungan internal untuk didudukkan sebagai calon prioritas jika partai mendapat suara yang cukup untuk konversi kursi. Hal ini bisa terjadi manakala tidak ada mekanisme yang fair dan jelas di internal partai terkait bagaimana dan apa saja indikator menempatkan caleg sebagai calon prioritas.
Oleh karena itu, perlu ada aturan main terkait ini. Sayangnya, Undang-Undang Pemilu kita hampir dipastikan sulit mengatur persoalan mekanisme ini. Alasannya, aturan main ini merupakan ranah internal dari partai politik.
Pelajaran dari banyak negara terkait mekanisme seleksi kandidat memang amat bergantung dari kesediaan partai politik membuat aturan main yang fair yang bisa diterima semua caleg. Hanya di negara, antara lain, Jerman, Finlandia, dan Norwegia, undang-undang secara jelas mengatur rekrutmen dan seleksi kandidat (Hazan & Rahan, 2006: 109). Sementara di kebanyakan negara demokrasi tidak ada aturan baku yang disepakati bersama.
Akan tetapi, setiap negara dapat dibedakan dari segi seberapa inklusif mekanisme partai menyeleksi caleg mereka. Semakin sedikit kader atau organisasi partai yang dilibatkan dalam proses seleksi, proses seleksi caleg menjadi kian eksklusif. Begitu pula sebaliknya.
Jika ke depan kita tetap memilih sistem proporsional terbuka, perlu ada intervensi lebih terkait penggunaan uang dalam kampanye.
Rahat dan Hazan (2001; 2006) membuat spektrum soal ini; apakah seleksi caleg ditentukan oleh suara seluruh konstituen, perwakilan partai di daerah (semacam DPD partai di Indonesia), agensi independen yang ditunjuk partai, elite-elite partai terpilih, atau prerogatif ketua umum saja. Ini adalah pilihan-pilihan yang tersedia. Dan apa pun mekanisme yang dipilih, seyogianya harus dianggap fair dan bisa diterima para caleg agar meminimalkan potensi prevalensi politik uang.
Jika ke depan kita tetap memilih sistem proporsional terbuka, perlu ada intervensi lebih terkait penggunaan uang dalam kampanye. Menaikkan sumbangan negara bagi partai politik adalah rekomendasi yang sudah banyak dikaji, termasuk oleh KPK dan Kemendagri.
Meski demikina, diskursus ini tampaknya sudah tenggelam dan tak terlalu berhasil menarik minat politisi untuk ditindaklanjuti secara serius. Untuk itu diperlukan penguatan sanksi dan pencegahan jangka pendek yang realistis bisa dikerjakan untuk Pemilu 2024 nanti. Di sini Bawaslu, terutama yang ada di daerah, memainkan peranan penting.
Baca juga: Evaluasi Sistem Elektoral Dibutuhkan
Terkait kencenderungan kampanye bernuansa primordial, mungkin ada baiknya KPU mempertimbangkan menghilangkan segala atribusi di luar nama sah caleg di surat suara dan alat peraga kampanye. Hal ini berarti menghilangkan gelar akademik, gelar agama, dan gelar adat dari nama asli para kandidat. Dengan demikian, begitu surat suara dibuka, semua caleg akan terlihat sama di mata pemilih.
Tentu sulit membayangkan perubahan besar terjadi dalam masa ketika tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan seperti sekarang ini. Tetapi, setiap perubahan kecil dalam desain sistem elektoral perlu didorong agar kualitas pemilu kita menjadi semakin baik.
Noory Okthariza, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta