Komisi Pemilihan Umum semestinya tidak menyia-nyiakan kewenangannya untuk menyusun daerah pemilihan dan alokasi kursi Pemilu DPR dan DPRD.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kewenangan yang telah dikembalikan oleh Mahkamah Konstitusi itu hendaknya dijadikan KPU sebagai momentum untuk menata daerah pemilihan Pemilu DPR dan DPRD menjadi lebih proporsional, setara, dan sesuai prinsip integrasi ataupun kohesivitas wilayah.
Mahkamah Konstitusi mengembalikan kewenangan ini pada KPU 2022-2027 karena kini alokasi kursi dan peta dapil menjadi lampiran Undang-Undang Pemilu yang menjadi bagian dari pembahasan bersama DPR dengan pemerintah sehingga berpotensi konflik kepentingan. Kewenangan ini pernah dimiliki KPU pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Pada Pemilu 2019, penataan dapil menimbulkan ketimpangan harga suara signifikan. Contoh, 1 kursi di Jawa Timur XI yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep minimal harus mendapat 212.081 suara, sementara di dapil Kalimantan Utara, harga satu kursi 37.616 suara. Analisis Perludem, yang mengajukan uji materi ke MK, hanya 17 provinsi yang memiliki keberimbangan antara jumlah penduduk dan jumlah alokasi kursi DPR. Sebanyak 12 provinsi kelebihan representasi dan 5 provinsi kurang representasi.
Kini sudah terbentuk empat daerah otonom baru, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Keempat DOB ini menyelenggarakan pemilu terpisah sehingga penataan alokasi 575 kursi DPR di 80 dapil untuk Pemilu 2024 tak terhindarkan lagi.
Mengacu pada tahapan pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan dapil pada 14 Oktober 2022 hingga 9 Februari 2023. Dengan begitu, KPU perlu memanfaatkan waktu yang tersisa satu bulan ini dengan sebaik-baiknya.
Catatan penting adalah mengingat penataan dapil dan alokasi kursi sangat strategis untuk pemenangan pemilu, semua partai politik peserta pemilu bahkan puluhan ribu bakal calon anggota DPR dan DPRD yang akan bertarung di Pemilu 2024 akan berupaya semaksimal mungkin guna menitipkan kepentingan-kepentingannya pada KPU.
Kepentingan parpol lama, yang kini sudah duduk di parlemen, tentu berbeda dengan parpol baru yang belum memiliki kursi di parlemen. Anggota DPR dan DPRD yang mencalonkan diri kembali dan sudah membina dapilnya masing-masing selama lima tahun ini tentu berharap adanya status quo ketimbang para bakal caleg baru yang belum membina konstituen di dapil. Di sinilah ujian bagi KPU, mampukah mengatasi lobi-lobi yang gencar dilakukan.
Belum lama ini, profesionalisme dan integritas KPU 2022-2027 sempat diragukan sejumlah pihak terkait dugaan adanya rekayasa dokumen verifikasi faktual parpol calon peserta pemilu. Dalam penataan dapil dan alokasi kursi ini hendaknya KPU membuktikan diri benar-benar independen, profesional, dan tidak gentar terhadap tekanan atau intervensi mana pun demi terwujudnya pemilu yang jujur dan adil.