Pengembangan produk pangan fungsional berbasis minyak sawit, seperti minyak makan merah, punya masa depan yang baik. Selain menguntungkan petani dan memenuhi kebutuhan masyarakat, minyak itu juga untuk mengatasi tengkes.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·5 menit baca
Indonesian Palm Oil Stakeholders Forum atau IPOS Forum berlangsung untuk ketujuh kali selama 2 hari pada 20-21 Oktober 2022 di Medan. Bahasannya terkait dengan kondisi petani sawit yang sangat terpukul akibat krisis minyak goreng di awal April 2022. Petani swadaya sangat dirugikan ketika harga tandan buah segar terjun bebas, sementara biaya produksi makin mahal.
Forum yang mengangkat tema ”Korporatisasi untuk Kemandirian Petani Melalui Kemitraan yang Sehat” tersebut sangat terkait dengan rencana pemerintah yang hendak mengembangkan koperasi untuk industri minyak makan merah sebagai alternatif di tengah makin mahalnya harga minyak goreng sawit. Diharapkan dengan harga minyak makan merah yang lebih murah karena teknologinya lebih sederhana, ketersediaan minyak goreng bisa tercukupi secara berkelanjutan.
Lantas, bagaimana masa depan dan manfaatnya bagi petani sawit swadaya dan masyarakat luas ketika pengembangan produk minyak makan merah ditargetkan rampung pada Januari 2023?
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah berusia 111 tahun menjadi permenungan bagi kita di tengah ketidakmampuan Indonesia mengendalikan harga minyak goreng baru-baru ini. Apakah agroindustri ini telah berdampak meningkatkan kesejahteraan petani swadaya yang sudah menjadikan negeri ini penghasil minyak sawit terbesar di dunia? Sumbangan devisa yang didatangkan sangat besar dari produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional yang mencatatkan angka 46,5 juta ton pada 2021 dan sebagian besar digunakan untuk pangan.
Kelangkaan minyak goreng murah di tengah masyarakat mendorong pemerintah menetaskan kebijakan pelarangan ekspor CPO yang membuat petani sawit swadaya menjerit dan menderita kerugian. Kebijakan dilematis ini sulit diterima akal sehat sebab peningkatan jumlah ekspor CPO tentu sangat membanggakan di tengah ketatnya persaingan ekspor produk pertanian. Meski makna pelarangan itu secara implisit untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO, karena dilakukan secara sepihak dan terkesan buru-buru tanpa mempersiapkan industri hilirnya secara baik, produk kebijakan ini merugikan pelaku usaha tani di bidang persawitan.
Dari perspektif nilai tambah, prestasi peningkatan ekspor CPO sesungguhnya bak pedang bermata dua. Harga CPO global sewaktu-waktu dapat menurun karena dipicu pasokan yang meningkat dari sejumlah negara pesaing yang belakangan ini sedang mengembangkan perkebunan kelapa sawit, seperti India dan China. Di sisi lain, kita belum memiliki industri hilir yang andal untuk mendiversifikasi produk pangan baru. Pemerintah harus dapat menata dan mengantisipasinya dengan bermain di sektor hilir agar CPO yang melimpah itu memberi nilai tambah signifikan kepada petani.
Pemerintah harus dapat menata dan mengantisipasinya dengan bermain di sektor hilir agar CPO yang melimpah itu memberi nilai tambah signifikan kepada petani.
Tingkat kegunaan yang luas, hampir 80 persen minyak sawit diaplikasikan untuk pangan, sisanya untuk nonpangan menjadi harta karun bagi petani sawit. Produk yang dihasilkan bisa berupa minyak makan merah, minyak goreng, salad dressing, shortening, margarin, cocoa butter substitute (CBS), food emulsifier, dan berbagai formulasi pangan lainnya. Aneka produk ini dinilai sebagai sumber pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan, bahkan kini dipahami tiada hari tanpa pengunaan produk olahan minyak sawit.
Kandungan gizi minyak sawit lebih lengkap dibandingkan dengan minyak sayur, seperti kedelai dan jagung. Minyak nabati yang satu ini memiliki dua jenis asam lemak yang paling dominan, yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh) dan asam oleat, C18:1 (tidak jenuh). Kedua asam lemak ini membuat minyak sawit menjadi unik karena tidak dimiliki oleh minyak nabati lainnya. Keunikan ini menjadikan minyak sawit tidak mudah mengalami kerusakan oksidatif.
Prospek pengembangan
Pengembangan produk pangan fungsional berbasis minyak sawit, seperti minyak makan merah, memiliki masa depan yang baik. Dengan semakin populernya penggunaan senyawa alami untuk bahan industri pangan dan farmasi, prospek pengembangan minyak makan merah dan berbagai produk turunan minyak sawit semakin terbuka.
Pengelolaan minyak makan merah yang dikembangkan di tingkat koperasi akan dapat mempercepat penyerapan tandan buah segar (TBS) petani. Selama ini, penentuan harga TBS kurang melibatkan kelompok petani swadaya. Maka, ke depan, petani sawit dapat menjual TBS langsung ke koperasi dengan harga bersaing untuk diolah menjadi produk minyak makan merah. Hal ini akan memberi nilai tambah yang baik kepada petani.
Keunggulan minyak makan merah dibandingkan dengan minyak goreng kemasan atau curah adalah kandungan karotennya. Minyak sawit merah merupakan satu-satunya minyak makan yang kaya dengan karoten (pro-vitamin A sebanyak 400-500 ppm), sekaligus sarat dengan vitamin E (500 ppm). Di sisi lain, pengolahan CPO menjadi minyak goreng sawit (refined bleached deodorized palm olein) terjadi proses perusakan karoten karena sengaja dihilangkan agar warnanya lebih jerih seperti keinginan konsumen.
Minyak sawit merah merupakan satu-satunya minyak makan yang kaya dengan karoten (pro-vitamin A sebanyak 400-500 ppm), sekaligus sarat dengan vitamin E (500 ppm).
Pengolahan minyak goreng dilakukan melalui purifikasi secara rafinasi dengan tiga tahapan, yaitu degumming, bleaching, dan deodorisasi. Proses ini menggunakan suhu yang tinggi dengan bleaching earth 1-2 persen menyebabkan karoten terdegradasi dan hilang. Kandungan karoten pada minyak goreng menjadi sangat rendah. Minyak goreng komersial hanya mengandung karoten sekitar 3,0 ppm dan berwarna kuning pucat.
Pemanfaatan minyak sawit menjadi produk minyak makan merah sebagai sumber provitamin A sangat diharapkan untuk mengatasi salah satu masalah gizi di Indonesia, yakni defisiensi vitamin A. Kekurangan vitamin A menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan, terutama bagi anak balita dan anak-anak. Saat ini kebutuhan vitamin A di Indonesia sebagain besar masih dipenuhi dari produk impor.
Dari perspektif gizi, minyak makan merah memberi nilai tambah yang amat besar karena dapat berfungsi ganda. Selain sebagai sumber antioksidan yang andal untuk mencegah penuaan dini, penyakit jantung koroner, dan kanker, produk ini diharapkan dapat menggantikan kapsul vitamin A yang selama ini digunakan untuk mengatasi defisiensi vitamin A di Indonesia.
Kebijakan WHO untuk meningkatkan ketersediaan vitamin A pada makanan sehari-hari menjadi keunggulan produk minyak makan merah. Strategi pemanfaatan karoten minyak sawit ini perlu dikembangkan lebih lanjut, baik melalui pengembangan produk yang masih dapat mempertahankan kandungan karotennya agar tetap tinggi maupun melalui pengembangan proses aplikasinya pada berbagai produk pangan.
Mengingat Indonesia adalah negara produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia, pengembangan inovatif berbagai produk turunan CPO patut dilakukan secara lebih serius. Industri minyak makan merah dapat diintegrasikan dengan koperasi yang berada di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh badan usaha milik desa. Hal ini, selain berguna menyerap secara cepat TBS petani swadaya, juga dapat memenuhi kebutuhan minyak goreng yang lebih murah bagi masyarakat dan bisa membantu mengatasi tengkes (stunting) bagi anak negeri.
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan, Pengurus Pusat PATPI, dan Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional