Kerja sama bidang pertahanan bisa mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari sekadar berkembangnya hubungan pemasok dan pembeli hingga kerja sama koproduksi, alih teknologi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Inovasi dalam sistem pertahanan, termasuk alat utama sistem persenjataan atau alutsista, terus mengalami kemajuan. Ini dipacu era baru Revolusi Industri 4.0.
Di dunia ini juga muncul ancaman baru dan perang baru.
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan pameran pertahanan Indo Defence 2022 di Jakarta, Rabu (2/11/22), mengatakan, sepatutnya Indonesia mengadopsi sebanyak mungkin teknologi baru di bidang pertahanan. Apalagi, tren dunia menunjukkan anggaran pertahanan sejumlah negara naik drastis. Digarisbawahi oleh Presiden, perlunya kerja sama dengan industri pertahanan dari berbagai negara.
Kerja sama bidang pertahanan bisa mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari sekadar berkembangnya hubungan pemasok dan pembeli hingga kerja sama koproduksi, alih teknologi. Dalam kategori pemasok dan pembeli, misalnya, Perancis setuju menjual jet Rafale ke Indonesia. Kerja sama koproduksi tampak pada pembuatan kapal selam antara Indonesia dan Korea (Selatan).
Kerja sama tentu saja mencakup semua aspek yang dapat membantu memperkuat pertahanan Indonesia. Untuk pembangunan industri pertahanan dalam negeri, kita sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012.
Kita yakin PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, dan PT Pindad terus melakukan langkah yang diperlukan untuk memajukan industri pertahanan meskipun capaian paling monumental baru tampak pada kemampuan membangun kapal selam kelas Chang Bogo oleh PT PAL.
Kita sadari, membangun kerja sama dalam industri pertahanan tak mudah. Banyak hal harus diselaraskan oleh pihak yang bekerja sama sehingga kekisruhan—jika bisa disebut begitu—seperti dialami dalam proyek KFX/IFX tidak perlu terjadi.
Di sisi lain, karena teknologi paling maju tersedia, alutsista harus dibuat semodern mungkin. Apabila tidak, akan mudah ditaklukkan lawan dengan alutsista yang lebih mutakhir.
Masalahnya, teknologi yang sensitif untuk alutsista lazimnya tidak akan dilepas oleh negara pengembang yang sudah mengeluarkan dana miliaran dollar untuk litbang demi tujuan itu. Amerika Serikat, misalnya, tak menjual jet keunggulan udara F-22 Raptor, bahkan kepada sekutu paling dekat pun. Pada jet ini ada teknologi paling dirahasiakan untuk membuat pesawat tempur tidak kasat radar.
Hal lain yang juga patut dipertimbangkan Indonesia dalam pengembangan industri pertahanan adalah kurs rupiah dibandingkan dollar AS. Dengan kurs sekarang, teknologi ataupun harga sistem dan teknologi umumnya jadi tampak sangat mahal. Jet tempur mutakhir yang harga tipikalnya 100 juta dollar AS, dalam rupiah setara dengan Rp 1,5 triliun. Bagi negara yang masih bergelut dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, dilema ”Pedang Versus Bajak” akan terus hidup.
Hal terakhir yang patut digarisbawahi adalah memurnikan bisnis perdagangan alutsista ke model ”G to G”, antara pemerintah dan pemerintah, tanpa perantara. Hal ini juga perlu didukung semangat mendahulukan produk sendiri jika memang sudah terbukti andal. Tanpa dilandasi pertimbangan dan kesadaran itu, industri pertahanan sulit maju.