Banyak kalangan melihat, krisis pangan yang terjadi saat ini, yang ditandai dengan lonjakan harga, disebabkan oleh produksi bermasalah. Perilaku kita bisa mengurangi tekanan krisis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dua penulis opini harian Kompas merespons peringatan Hari Pangan Sedunia dengan tema ”Jangan Ada yang Ditinggalkan” pada 16 Oktober lalu melalui dua tulisan (Kompas, 17/10/2022). Direktur Lembaga Daya Dharma Jakarta dan Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Jakarta, Adrianus Suyadi, menulis, banyak orang Indonesia membuang makanan. Sisa makanan mendominasi jenis sampah di Indonesia, yakni mencapai hampir 40 persen dari semua jenis sampah seperti data dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2020.
Untuk mengatasi krisis pangan, pada tingkat individu dan keluarga diperlukan perubahan perilaku agar lebih menghargai pangan. Hal sederhana dapat dilakukan, misalnya tak menyisakan makanan, tak membuang sampah makanan, mengurangi konsumsi makanan untuk binatang piaraan, dan lebih untuk sesama yang kekurangan makanan.
Guru Besar Universitas Santo Thomas Medan Posman Sibuea menulis, ancaman kelaparan di tingkat warga tak dapat diselesaikan hanya dengan meningkatkan pendapatan, atau memberikan lapangan pekerjaan, yang diharapkan dapat meningkatkan akses pangan warga. Bangsa ini memerlukan upaya yang lebih dahsyat lagi, yaitu perubahan budaya.
Dua opini itu sungguh menggugah kita untuk tak sekadar mempersoalkan produksi pangan kini sebagai penyebab krisis pangan. Perilaku kita, juga dengan pandangan yang salah dan menjadi kultur, ikut memperberat krisis pangan. Pangan terbuang percuma karena kita tidak pernah menghargai pangan. Harian ini pernah membuat perkiraan, uang terbuang percuma sekitar Rp 330 triliun setahun karena makanan dibuang. Pangan terbuang saat kita di meja makan. Orang menyediakan makanan berlebih, tetapi hanya sedikit yang dikonsumsi.
Pangan terbuang juga terjadi dalam rantai perdagangan karena rusak dalam perjalanan menuju konsumen. Sebuah studi di Puerto Riko menyebutkan, makanan juga terbuang ketika berada di rantai distribusi. Ketidakterhubungan antara kebutuhan konsumen dan produsen pangan mengakibatkan pangan terbuang ketika produksi melimpah.
Tekanan krisis pangan bisa dikurangi saat kita menghentikan kebiasaan buruk: menyepelekan dan membuang makanan. Kita tak lagi berlimpah pangan. Perilaku itu harus dihentikan. Makanlah secukupnya. Harus ada perbaikan rantai pangan sehingga tak ada lagi pangan yang terbuang sia-sia.
Perubahan budaya konsumsi perlu segera dilakukan. Makanan adalah barang mewah yang tak bisa lagi disia-siakan. Kita harus bisa mengukur kebutuhan secara seimbang. Di sisi lain, teknologi dibutuhkan agar produksi di tingkat petani bisa diketahui lebih dini dan didekatkan dengan konsumen sehingga rantai tidak panjang dan pangan tidak terbuang. Rantai lebih pendek juga tak memberi peluang aksi ambil untung.