Senja Kala Profesi Guru
Niat pemerintah membatasi atau menghentikan TPG benar adanya. Hal itu terkonfirmasi dengan hilangya ayat tentang TPG dalam draf RUU Sisdiknas. Mungkinkah mempertahankan TPG tanpa sandaran hukum yang jelas dan kuat?
Kembali maraknya pemberitaan yang menerangkan hilangnya ayat tentang pemberian tunjangan profesi guru dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional versi Agustus 2022 bukanlah hal baru. Itu semua hanya de javu dan mengonfirmasi bahwa niat pemerintah membatasi atau menghentikan tunjangan profesi guru benar adanya.
Dimulai dari rencana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2015 yang ingin menghapus tunjangan profesi guru (TPG) pada rapat Komisi X DPR. Dilanjut dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di aula Gedung Guru Indonesia, 10 Juli 2018, bahwa besarnya TPG dalam bentuk sertifikasi tak mencerminkan kualitas pendidik. TPG hanya dianggap membebani APBN dan belum menyasar peningkatan mutu pendidikan.
Kemudian, Plt Kepala Balitbang Kemendikbudristek Totok Suprayitno dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, 27 Januari 2021, menilai TPG belum memberikan dampak positif pada hasil belajar, karena itu pemerintah berencana memberikan TPG hanya kepada guru yang berprestasi.
Itu semua hanya de javu dan mengonfirmasi bahwa niat pemerintah membatasi atau menghentikan tunjangan profesi guru benar adanya.
Sementara itu, di kalangan guru satuan pendidikan kerja sama (SPK), penghentian TPG sudah terjadi sejak akhir 2019 setelah terbit Peraturan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dan Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek.
Karena itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengeluarkan rilis serta menggagas gerakan sosial berupa petisi daring change.org agar RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ditunda dan ayat tentang TPG dikembalikan dalam RUU tersebut. Sampai dengan 13 September 2022, pukul 14.15 WIB, petisi sudah mendapatkan 23.541 tanda tangan.
Guru adalah profesi
Esensi dan eksistensi profesi guru diakui dalam realitas sejarah yang kemudian tertera dalam perundangan tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Desember 2004 mencanangkan guru sebagai profesi. Satu tahun setelahnya disahkan UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 yang semakin mengukuhkan guru sebagai profesi dengan tugas keprofesionalan yang melekat.
Heryunanto
Menjadi guru bukan hal mudah dan tak sembarang orang bisa menjadi guru. Sebab, selain menempuh pendidikan akademik di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), calon guru juga wajib memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah lulus dari pendidikan profesi guru (PPG) melalui perguruan tinggi yang ditetapkan pemerintah.
Selain itu, kewajiban bagi guru profesional lainnya adalah wajib jadi anggota organisasi profesi dan wajib mematuhi kode etik yang mengatur mengenai tugas keprofesionalannya.
Tunjangan kesejahteraan
Profesi guru yang memiliki aturan dalam UU tersendiri seharusnya dapat bersifat lex spesialis. Keberadaannya tidak dapat disamakan dengan pekerjaan lain di luar pekerjaan profesi. Misalnya saja dari sisi kesejahteraan, sebagaimana dijelaskan dalam UU Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat 1, yaitu guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Profesi guru yang memiliki aturan dalam UU tersendiri seharusnya dapat bersifat lex spesialis.
Pada Pasal 15 Ayat 1 diterangkan bahwa kebutuhan hidup di atas minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Tunjangan yang disebut dalam peraturan perundangan itu memiliki spirit memuliakan dan menyejahterakan guru.
Semua itu dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 15 Ayat 1 dan 2, Pasal 16 Ayat 1-4 (TPG), Pasal 17 Ayat 1-3 (Tunjangan Fungsional), Pasal 18 Ayat 1-4 (Tunjangan Khusus), dan Pasal 19 Ayat 1-3 tentang maslahat tambahan yang merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru. Selain itu, kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Kemunduran kesejahteraan
Semula spirit memuliakan dan menyejahterakan guru menjadi prasangka baik dalam kita menilai draf RUU Sisdiknas versi April 2022.
Pada Pasal 127 Ayat 1, guru berhak memperoleh gaji/upah, tunjangan, dan jaminan sosial, lalu mengenai tunjangan juga masih dituliskan di pasal yang sama di Ayat 3-10; walaupun secara kritis kita juga bisa menilai Pasal 127 Ayat 1-10 pada draf RUU Sisdiknas versi April sebenarnya mundur jauh dibandingkan Pasal 14-19 UU Guru dan Dosen yang memuat secara lebih rigid dan komprehensif soal kesejahteraan guru.
Sebagai contoh adanya kemunduran adalah dalam UU Guru dan Dosen dirinci penghasilan guru di atas kebutuhan hidup minimum dan maslahat tambahan, sedangkan pada draf RUU Sisdiknas versi April hanya dituliskan memperoleh gaji/upah, tunjangan, dan jaminan sosial.
Kemunduran kesejahteraan guru semakin nyata dan terang benderang setelah pada draf RUU Sisdiknas versi Agustus pasal dan ayat mengenai tunjangan guru dihilangkan sehingga hanya menyisakan Pasal 105 yang berbunyi guru/pendidik berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan (pasal ini merupakan perubahan dari Pasal 127 Ayat 1-10 RUU Sisdiknas versi April). Khusus bagi guru-guru di daerah terpencil, kondisi akan semakin sulit di tengah tantangan geografis dan ekonomi yang sangat berat dalam mengabdi, di mana mereka kehilangan dua tunjangan sekaligus, yaitu TPG dan tunjangan khusus.
Pada batang tubuh pasal dan ayat mengenai TPG hilang tidak dicantumkan.
Dalih pemerintah
Taklimat media oleh Kemendikbudristek hanyalah dalih pemerintah yang sangat manipulatif. Jika kita bandingkan antara isi taklimat dan draf RUU Sisdiknas versi Agustus, pertama, TPG akan tetap diberikan. Pada batang tubuh pasal dan ayat mengenai TPG hilang tidak dicantumkan.
Harus diakui penjelasan TPG sebenarnya ada di dalam draf RUU ketentuan peralihan Pasal 145 Ayat 1 yang berbunyi, ”Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam UU Guru dan Dosen sebelum UU ini diundangkan tetap menerima tunjangan sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan perundangan”.
Bisa ditafsirkan kebijakan ini akan menimbulkan diskriminasi di kalangan guru-guru penerima TPG yang bernaung di bawah UU Guru dan Dosen serta guru-guru yang belum menerima TPG yang nantinya bernaung di bawah UU yang baru.
Padahal, seharusnya secara profesional, semua guru berhak mendapatkan keadilan dari sisi penerimaan tunjangan sebagai bentuk pengakuan atas profesinya dan sebagai penghargaan dari pemerintah berupa tambahan kesejahteraan.
Didie SW
Janji pemerintah TPG akan tetap ada juga menyisakan persoalan hukum, sebab dalam RUU Sisdiknas ada inkonsistensi pada Pasal 148 yang menyatakan UU lama (UU Sisdiknas 2003, UU Guru dan Dosen 2005, dan UU Pendidikan Tinggi 2012) masih berlaku, sedangkan dalam pasal lanjutan 149 disebutkan pada saat UU ini berlaku, seluruh UU lama dicabut dan dinyatakan tak berlaku. Bagaimana mungkin mempertahankan TPG tanpa ada sandaran hukum yang jelas dan kuat?
Kedua, adanya antrean sertifikasi membuat guru tak mendapatkan hak kesejahteraan. Masih adanya antrean 1,6 juta guru dalam jabatan untuk mengikuti PPG bukanlah salah guru, melainkan salah pemerintah yang gagal menjalankan amanat UU Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat 2 agar menuntaskan kepemilikan sertifikat pendidik bagi semua guru paling lama 10 tahun dari mulai UU Guru dan Dosen diundangkan.
Bukankah seharusnya pemerintah mempermudah syarat dan alur dalam mengikuti PPG serta menambah kuota PPG sehingga 1,6 juta guru dalam jabatan bisa terakomodasi?
Ketiga, guru aparatur sipil negara (ASN) akan otomatis mendapat kenaikan melalui tunjangan yang diatur dalam UU ASN. Hal ini sangat menyesatkan karena persoalan penggajian dan tunjangan yang diatur dalam UU ASN Pasal 79 Ayat 1-5 hanya menyebutkan soal gaji dan tunjangan yang terdiri dari tunjangan kinerja (tukin) dan tunjangan kemahalan (tukem), di mana pengalokasiannya tergantung ASN itu bekerja pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang besarannya disesuaikan dengan anggaran di tiap-tiap kementerian ataupun daerah.
Penghilangan TPG yang selama ini menjadi harapan guru-guru yang notabene bekerja pada pemerintah daerah (kecuali guru-guru yang bernaung di bawah Kementerian Agama) hanya akan meminimalkan kesejahteraan guru ASN, terutama di daerah-daerah.
Keempat, peningkatan penghasilan guru swasta lewat dana BOS dan penghasilan sesuai UU Ketenagakerjaan. Kesejahteraan guru swasta yang dinaungi oleh UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 Tahun 2021 tentang Pengupahan adalah sama saja dengan menyamakan guru sebagai profesi dengan buruh sebagai pekerja. Ini tentu mendegradasi makna guru sebagai profesi.
Pada akhirnya jika pemerintah abai menempatkan guru sebagai profesi yang mulia dan terhormat dengan tidak memberikan penghargaan atas kesejahteraan di atas minimum, apalagi dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan hak tunjangan guru sebagaimana yang sudah tertera jelas dalam perundangan sebelumnya, bisa dipastikan senja kala profesi guru akan tiba pada waktunya.
(Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia)