Audit Perusahaan Perkebunan Sawit
Dalam rangka keberlanjutan, audit perkebunan sawit tidak bisa lagi bersifat ”ad hoc”, tetapi terkait perencanaan, penganggaran, pembinaan, dan pengawasan. Untuk itu, diperlukan pembaruan hukum penilaian usaha perkebunan.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bermaksud mengaudit perusahaan perkebunan sawit.
Audit sebagai buntut dari kemelut minyak goreng ini menimbulkan dua pertanyaan sekaligus.
Pertama, apakah selama ini tidak ada pengawasan terhadap rantai pasok perkebunan sawit, dari budidaya hingga pemasaran produk olahanya, sehingga memerlukan audit?
Kedua, apa hasil yang diharapkan dari audit ini? Apakah sekadar stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng? Atau dalam rangka merealisasikan perkebunan sawit berkelanjutan dan kaitannya dengan pengembangan bahan bakar nabati (biodiesel), pemenuhan hak atas bahan pangan bagi masyarakat, pelestarian hutan, dan penanggulangan kemiskinan?
Heryunanto
Pengawasan
Ada banyak pengaturan dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan sawit.
Melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 tentang Perubahan atas Permentan No 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, pengawasan dilakukan sejak dari pemberian perizinan dan pemberian hak atas tanah, hingga penilaian usaha perkebunan ketika perusahaan perkebunan telah beroperasi.
Pengawasan seperti ini juga diatur dalam Permentan No 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Selain itu, ada Inpres No 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit, dalam rangka moratorium sawit. Untuk menilai perusahaan perkebunan yang bisa mendapatkan sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), juga sudah ada Peraturan Presiden No 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan permentan.
Baca juga: Polemik Tata Kelola Sawit
Namun, dengan maksud memberikan kemudahan perizinan berusaha di perkebunan, omnibus law UU Cipta Kerja melakukan perubahan UU Perkebunan dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perubahan ini berdampak pada peraturan terkait izin usaha perkebunan, hak guna usaha, kemitraan usaha perkebunan, sertifikasi ISPO, kebun sawit di dalam kawasan hutan, dan reforma agraria.
Perubahan pada tata kelola perkebunan sawit ini juga berdampak pada apa yang perlu dilakukan oleh pengawasan.
Mudahnya pergantian peraturan tanpa uraian penjelasan kepada rakyat tentang hasil pengawasan, lalu kemudian muncul kebijakan baru dari pemerintah tentang audit, justru dapat menimbulkan ketiadaan jaminan kepastian hukum.
Meski UU Cipta Kerja kemudian diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional secara bersyarat—sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, termasuk aturan turunannya—perkebunan sawit telanjur mewarisi banyak regulasi pengawasan perkebunan sawit.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, harus jelas posisi audit dan apa yang akan diaudit oleh Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, harus jelas posisi audit dan apa yang akan diaudit oleh Kemenko Kemaritiman dan Investasi. Apakah hanya perusahaan perkebunan sawit? Bukankah jika melihat permasalahan konflik agraria yang bersumber dari masalah perizinan, hak atas tanah, dan kemitraan usaha perkebunan—khususnya dalam masalah fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, permasalahan harga tunas buah segar sawit produksi petani, dana sawit untuk biodiesel yang digugat oleh serikat petani dan koperasi pekebun—maka demi keadilan, regulasi dan regulatornya juga perlu diaudit?
Pembaruan hukum
Dalam rangka keberlanjutan, audit perkebunan sawit tidak bisa lagi bersifat ad hoc, tetapi terkait dengan perencanaan, penganggaran, pembinaan, dan pengawasan. Untuk itu, diperlukan pembaruan hukum penilaian usaha perkebunan.
Alasannya, pertama, Permentan No 07/Permentan/ OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan berlandaskan pada UU No 18/2004 tentang Perkebunan tidak lagi berlaku, karena telah diganti dengan UU No 39/2014 tentang Perkebunan. Dampaknya, tidak hanya landasan hukumnya yang tidak lagi berlaku, tetapi juga pada prinsip dan kriteria yang dinilai dalam mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan.
Kedua, agar perkebunan sawit berkelanjutan dan membawa sumbangsih bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan, penilaian usaha perkebunan harus memenuhi hal berikut, yakni selain memasukkan prinsip dan kriteria perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia, juga menjadikan prinsip dan kriteria layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan perkebunan sawit berkelanjutan selaras dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Khususnya, dalam target mengatasi kelaparan dan kemiskinan, serta kelestarian lingkungan hidup di daerah dan perdesaan.
Konstitusionalitas
Fungsi pengawasan adalah salah satu wujud dari penguasaan negara atas Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya guna memastikan bahwa fungsi-fungsi penguasaan negara yang lain, yaitu kebijakan, pengaturan, pengurusan, dan pengelolaan bisa dipertanggungjawabkan dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
Baca juga: Sertifikasi Berkelanjutan untuk Produk Hilir Kelapa Sawit Disusun
Dalam putusan MK pada perkara pengujian UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, MK telah menyusun tolok ukur sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, di mana tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam adalah salah satunya. Untuk itu, perencanaan, penganggaran, pengawasan, audit, dan penilaian usaha perkebunan sawit hendaknya juga melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya serikat buruh perkebunan sawit, kelembagaan pekebun sawit, dan kelembagaan ekonomi pekebun sawit.
Putusan MK dalam pengujian UU Cipta Kerja juga mensyaratkan partisipasi rakyat harus lebih bermakna, yaitu menghargai hak rakyat untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Meski putusan MK itu terkait pembuatan peraturan perundang-undangan, hal itu bisa dipergunakan sebagai rujukan dalam pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan pemerintah.
Gunawan, Anggota Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, Penasihat Senior IHCS, Steering Committee KNPK.