Pertobatan Ekologis dan Peran Sastra
Sastra dapat berperan sebagai barometer kultural dan agen perubahan, termasuk dalam merespon kerusakan lingkungan. Sastra dapat berperan dengan cara meneroka imajinasi persoalan ekologis secara kritis dan politis.
Planet kita sedang sakit. Jayapura terendam banjir di awal tahun. Terulang lagi elegi awal 2021: longsor di hulu, banjir di hilir (Kompas, 26 Januari 2021). Tahun kembar dibuka dengan siaga banjir dan waspada Omicron.
Bencana alam dan pandemi beruntun membuktikan bahwa manusia saling terhubung dan sama-sama menghadapi masalah serius, yakni cuaca ekstrem. Panel Antarnegara tentang Perubahan Iklim (IPPC) melaporkan perlunya menekan tingkat emisi CO2 yang disebabkan manusia, terhitung sejak tahun 2010, hingga 45 persen pada 2030 agar mencapai nol di tahun 2045 (Communication Office, 2020).
Sayangnya, kapitalisme menunggangi manusia untuk menguasai seisi bumi sehingga masalah lingkungan sulit diselesaikan. Telah terjadi pembiaran atas bumi yang sakit. Etika kehidupan dilanggar demi kepentingan sekelompok orang. Orang miskin dan terpinggirkan menjadi korban.
Baca juga: Krisis Lingkungan dalam Perubahan Peradaban
Seperti ditegaskan Paus Fransiskus dalam Laudato si’ (2015), menjaga ciptaan Ilahi adalah kewajiban moral bagi umat manusia. Kepedulian terhadap tumbuhan, hewan, dan sesama mencerminkan kerja sama manusia dengan rencana Tuhan. Orang kaya (perusahaan multinasional) terus memanjakan hasrat eksploitatif sehingga karunia alam terampas dari kaum papa dan kelompok rentan.
Relevansi dokumen kepausan ini dengan situasi sekarang makin terlihat dengan terbitnya ensiklik Fratelli Tutti (Persaudaraan dan Persahabatan Sosial) pada 4 Oktober 2020. Jika Laudato si’ menjadi semacam manual yang mengatur hubungan manusia dan alam, Fratelli Tutti menelisik hubungan antar manusia.
Ensiklik lanjutan ini mengutip “Dokumen tentang Persaudaraan Manusiawi bagi Kedamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang ditandatangani bersama Imam Besar Al-Azhar Ahmed el-Tayeb pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi. Kelambanan dunia mengatasi pandemi dan perusakan lingkungan merupakan bukti kegagalan manusia bekerja sama dalam menanggulangi krisis global.
Penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan alam saling berkelindan. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma dalam dunia pendidikan menuju ke pedagogi yang ekohumanistik.
Ekohumanisme dalam pembelajaran sastra
Ekohumanisme hendaknya menjadi roh pendidikan pada abad ke-21 ketika dunia menghadapi masalah ekologis dan ketimpangan global yang diakibatkannya. Ekohumanisme merupakan tanggapan dalam tradisi humanis-ekologis untuk menandingi teori liberal individualistik khas Abad Pencerahan, dan mendapatkan momentumnya pada pergantian abad menuju milenium ketiga.
Ekohumanisme dimaknai sebagai kolaborasi berbasis kemitraan untuk kebaikan bersama bagi semua orang (kaya dan miskin, dari negara-negara yang sangat maju dan yang tertinggal), keturunan mereka, dan lingkungan alam (Michnowski 2008). Sains dan teknologi diharapkan mendukung kemitraan agar yang egois berubah menjadi ekologis. Melalui terang ekohumanisme, pesan pelestarian lingkungan, penghormatan terhadap alam, dan kepedulian terhadap semua makhluk hidup dapat diperkenalkan melalui, misalnya, sastra.
Melalui terang ekohumanisme, pesan pelestarian lingkungan, penghormatan terhadap alam, dan kepedulian terhadap semua makhluk hidup dapat diperkenalkan melalui, misalnya, sastra.
Di Indonesia, kajian tentang ekoliterasi, pendidikan karakter, dan hubungan antara sastra dan persoalan lingkungan telah melimpah. Ini berita baik. Berita yang kurang baik, belum semua institusi pendidikan menjadikan pendidikan keberlanjutan sebagai prioritas utama.
Dua prioritas nilai pertama dalam penyusunan kurikulum sesuai dengan tingkat pendidikan menurut Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah (1) peningkatan iman dan takwa dan (2) peningkatan akhlak mulia. Kedua keutamaan ini disusul dengan “peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik”.
Baca juga: Kurikulum Peduli Lingkungan
Masalah lingkungan berkelanjutan tidak secara eksplisit dirumuskan, tetapi tersirat dalam prioritas urutan ke empat, yakni “keragaman potensi daerah dan lingkungan”, yang lebih mengarah pada prioritas berikutnya: “tuntutan pembangunan daerah dan nasional” (Kemendikbud 2013). Prioritas-prioritas ini lebih mengedepankan ipteks dan nilai-nilai kebangsaan di tengah persaingan global.
Oleh karena itu, ekohumanisme perlu diarusutamakan dan dijadikan pilihan strategis. Penyelenggaraan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi seyogyanya memberikan penyadaran kepada generasi muda untuk selalu mengintegrasikan masalah perawatan lingkungan dengan ideologi, iman, serta nilai-nilai luhur yang dihidupi oleh pembelajar.
Sastra pro-lingkungan dan pertobatan ekologis
Pada 16 Juni 1962, The New Yorker memuat nukilan buku Rachel Carson Silent Spring yang oleh beberapa penanggap dipandang paling berpengaruh setelah novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe. Ahli Biologi Kelautan yang juga sarjana sastra Inggris ini meracik tulisan apik tentang nyaris punahnya ribuan burung karena lingkungan yang menjadi habitat mereka tercemar.
Buku yang terjual ratusan ribu eksemplar kurang dari 3 tahun sejak terbit ini mendedahkan bahaya obat semprot, pestisida, aerosol, dan semacamnya yang umum dipakai di sawah, kebun, hutan dan perumahan. Bahan-bahan kimia tersebut membunuh serangga sekaligus seluruh mata rantai kehidupan. Burung tiada lagi bernyanyi, alam menjadi sunyi.
Bahan-bahan kimia tersebut membunuh serangga sekaligus seluruh mata rantai kehidupan. Burung tiada lagi bernyanyi, alam menjadi sunyi.
Beberapa negara bagian Amerika Serikat melarang penggunaan DDT karena dipengaruhi buku Carson. Buku ini kelak melahirkan temuan yang berharga di bidang kesehatan. Bahan kimia terbukti menjadi pemicu kanker payudara. Ironisnya, Carson meninggal di usia muda karena penyakit ini.
Beralih ke penulis abad ke-21, Wangari Maathai adalah seorang akademisi sekaligus aktivis lingkungan asal Kenya, Afrika. Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2004 ini menolak keras perambahan hutan untuk pembangunan infrastruktur milik pribadi.
Maathai memimpin Gerakan Sabuk Hijau yang didirikannya pada tahun 1977 tanpa menghiraukan bahaya yang dihadapinya. Delapan Januari 1999 merupakan hari tak terlupakan bagi pecinta lingkungan. Maathai diserang di Hutan Karura saat ia menanam pohon untuk menyelamatkan ekosistem.
Baca juga: Spiritualitas Peka Lingkungan Hidup
Pahlawan lingkungan ini melawan arus guna menentang kesewenangan pemerintah saat itu. Kini salah satu jalan di Nairobi diberi nama “Prof Wangari Maathai” untuk mengenang baktinya pada bumi yang dicintainya. Novel biografisnya, Unbound, menjadi karya sastra yang tak kalah penting.
Bagi penulis dan pembela lingkungan Vandana Shiva, segala sesuatu yang merusak planet bumi tidak bisa disebut investasi sebesar apapun keuntungan moneter yang dihasilkannya. Bahaya Omicron yang mengintai merupakan “investasi” yang ditanam oleh perilaku abai lingkungan.
Meskipun sastra sering dianggap tidak menawarkan solusi bagi masalah yang diangkatnya, buku-buku sastrawi seperti Silent Spring dan Unbound telah terbukti “memperjelas situasi kita”, walaupun belum menciptakan “simbol kemungkinan baru” seperti dikatakan Leo Marx dalam The Machine in the Garden. Sastra membantu menyingkapkan masalah.
Untuk solusinya, sastra dapat berperan dengan cara meneroka imajinasi persoalan ekologis secara kritis dan politis sehingga memungkinan sejarah berubah. Ekohumanisme perlu diterapkan dalam pembelajaran sastra termasuk sastra lokal yang sarat dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan.
Ekohumanisme perlu diterapkan dalam pembelajaran sastra termasuk sastra lokal yang sarat dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan.
Kisah-kisah inspiratif dari Tanah Air hendaknya disebarluaskan untuk menjangkau masyarakat luas. Ketika kisah-kisah nyata ini diangkat menjadi karya sastra, bertambah pula alur sejarah lingkungan hidup di Indonesia beserta implikasi sosialnya.
Sejumlah karya sastra membabar retaknya hubungan antara manusia dan alam. Upaya manusia untuk meningkatkan kehidupan di alam semesta telah menjadi paradoks yang justru mengancam keberadaannya. Kerapuhan hubungan antar aneka ciptaan berarti pendurhakaan kepada Sang Pemberi Hidup. Diperlukan pertobatan ekologis untuk menyelamatkan bumi.
Pada hari Lingkungan Hidup Indonesia dan Gerakan Sejuta Pohon Sedunia yang diperingati tiap 10 Januari, patut disebut sebuah cerpen pro-lingkungan karya Rinto Andriono, penulis berbakat yang berpulang pada 29 November 2021. “Pohon Ponggo” berkisah tentang Miranti, perawat kesehatan orangutan, dan anaknya, Kasih, yang setia berteman dengan Laksmi dan Pongo, induk-anak orangutan hingga keempatnya mati terbakar di hutan sawit. Empat sekawan ini mengikuti roh Lukman. Suami Miranti ini dilenyapkan karena menggalang penjegalan terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke habitat orangutan.
Cerpen ini berlatar kebakaran hutan Taman Nasional Sebangau pada puncak kemarau 2019. Diceritakan kebakaran terjadi bersamaan dengan rencana pembangunan Kawasan Sepaku, Penajem Paser Utara sebagai ibukota negara yang baru. Gagasan lapis sanding antara manusia dengan alam tidak terlaksana dengan baik dalam penerapannya. Kebakaran adalah cara yang paling hemat dan mudah untuk membuka hutan.
Baca juga: Panggilan Pertobatan Laudato Si
“Pohon Pongo” hanya salah satu contoh cerita rekaan yang tanggap akan perusakan lingkungan atas nama pembangunan. Hutan tropis Kalimantan yang tertua dan terbesar di dunia telah menghadapi deforestasi yang cepat sejak tahun 2000 sehingga spesies asli seperti orangutan dan bekantan mulai menipis (Ahlenius, 2019). Menurut sejumlah LSM lingkungan, relokasi ibu kota negara akan mempercepat degradasi lingkungan di Kalimantan Timur (Shimamura & Mizunoya, 2021).
Sebagai bentuk seni imajinatif, “Pohon Pongo” berbeda gagasan dengan laporan ilmiah ataupun kebijakan publik, tetapi secara kreatif dan kritis menggugah kesadaran budaya cinta lingkungan. Sastra dapat berperan sebagai barometer kultural dan agen perubahan.
Novita Dewi, Guru Besar Universitas Sanata Dharma