Otonomi Sekolah dan Fleksibilitas dalam Program Sekolah Penggerak
Terobosan mengajar yang inspiratif dari guru dibutuhkan para murid dalam mengembangkan potensi dan bakat mereka. Hal ini bisa terlaksana jika sekolah mempunyai otonomi, hal utama dalam program merdeka belajar.
Oleh
ODEMUS BEI WITONO
·5 menit baca
Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan kebijakan baru terkait program sekolah penggerak. Program sekolah penggerak sebagai model satuan pendidikan berkualitas adalah program pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.
Surat keputusan Mendikbudristek Nomor 162 Tahun 2021 menjadi dasar hukum pelaksanaan program sekolah penggerak. Program ini disambut baik oleh banyak pihak sebagai oase yang mencerahkan di tengah-tengah kesulitan dengan segala kompleksitas kurikulum pendidikan yang selama ini berubah-ubah dan kadang membingungkan. Keluh kesah terhadap banyaknya tugas administratif guru dalam mengajar, terasa terobati dengan adanya merdeka belajar dalam program sekolah penggerak.
Program sekolah penggerak didefinisikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui pembentukan pelajar Pancasila. Sekolah penggerak merupakan produk baru pendidikan yang belum dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Dibutuhkan sosialisasi yang masif dan terstruktur guna menjangkau daerah-daerah terdekat ataupun terjauh dari pusat pemerintahan.
Banyak guru yang masih gagap menerapkan pola pendidikan ala sekolah penggerak. Guru-guru masih ragu bagaimana seharusnya menerapkan merdeka belajar. Dalam merdeka belajar, Kurikulum 13 (K-13) dapat disederhanakan menjadi bahan ajar yang menarik dan menginspirasi. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) ”satu lembar” selama masa pandemi dapat mengembangkan para guru dalam mewujudkan metode pengajaran kreatif, inovatif, inspiratif, dan formatif. Para guru mempunyai kemerdekaan mengajar dan mendidik peserta didik secara optimal, bahkan maksimal.
Model pendidikan sekolah penggerak dirancang berdasarkan refleksi terus-menerus yang dilakukan oleh para pendidik. Ukuran keberhasilan reflektif sekolah penggerak dicapai berdasarkan peningkatan kualitas, mulai dari baik, kemudian menjadi lebih baik, dan akhir dapat memberikan produk layanan terbaik dalam komunitas pendidikan dasar dan menengah.
Cita-cita sekolah penggerak, membentuk komunitas pendidikan yang aman, nyaman inklusif, dan menyenangkan dapat tercapai jika seluruh elemen pendidikan dalam komunitas dapat berkolaborasi secara baik antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah penggerak dalam merdeka belajar berpusat pada formasi peserta didik. Para murid menjadi subyek utama pembelajaran.
Tantangan dan kesulitan melaksanakan aktivitas merdeka belajar dalam program sekolah penggerak terletak pada kemampuan diri lembaga mengelola sekolah secara mandiri. Secara bertahap, melalui akreditasi sekolah, pemerintah mendorong sekolah yang sudah mencapai kompetensi tertentu untuk menjadi sekolah penggerak.
Dalam sekolah terakreditasi A (unggul) dituntut kemampuan kolaboratif antara pihak lembaga dan para pemangku kepentingan mengupayakan merdeka belajar. Merdeka belajar secara substantif sangat mungkin diterapkan di semua wilayah di Indonesia dalam konteks apa pun, termasuk dalam situasi pandemi seperti saat ini.
Hanya, perlu diakui bahwa tidak mudah mengubah pola pendidikan yang sudah terbiasa dilaksanakan. Para guru selama ini sangat sibuk membuat silabus dan rencana pembelajaran berdasarkan subyek yang diajar dan pencapaian ketuntasan bahan ajar. Para guru sangat terpaku pada bahan ajar mereka sendiri, dan kadang lupa bahwa kompetensi dasar yang sama dapat dimiliki oleh mata pelajaran serumpun.
Para guru perlu berkolaborasi untuk mengefektifkan pembelajaran. Pembelajaran yang efektif, memungkinkan materi pengayaan diperdalam dan diperluas sehingga wawasan pengembangan para murid menjadi lebih optimal.
Terobosan mengajar
Terobosan mengajar yang inspiratif dibutuhkan para murid dalam mengembangkan potensi dan bakat mereka. Terobosan mengajar yang optimal mengandaikan merdeka belajar. Merdeka belajar ini terkait otonomi sekolah.
Secara etimologis istilah otonomi berasal dari akar kata Yunani auto yang berarti ”diri” dan nomos yang berarti ”adat” atau ”hukum”. Istilah otonomi tampak mencerminkan arti politis dari kata tersebut, yaitu hak kelompok untuk mengatur diri mereka sendiri. Pengertian otonomi yang demikian dapat dikenakan juga pada organisasi pendidikan di sekolah.
Otonomi memberikan kesempatan kepada kepala sekolah untuk melaksanakan praktik kepemimpinan.
Otonomi sekolah dapat didefinisikan sebagai kemampuan lembaga mengelola dirinya sendiri secara baik sesuai prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan oleh kebijakan negara. Menurut Clark (2008), otonomi memberikan kesempatan kepada kepala sekolah untuk melaksanakan praktik kepemimpinan seperti menciptakan lingkungan yang mendorong dan visi untuk sekolah, mengembangkan staf, mendesain ulang struktur dan budaya organisasi dengan cara mendukung proses belajar mengajar, mengelola kurikulum.
Kemampuan kepala sekolah mengelola lembaga pendidikan perlu didukung melalui sistem manajerial yang memadai. Sekolah yang otonom pada dirinya mempunyai kecakapan kinerja yang unggul dalam menghadapi aneka tantangan yang dihadapi.
Dalam sekolah otonom, kehadiran pemerintah tetap dibutuhkan. Fungsi utama pemerintah dalam sekolah otonom, lebih ditekankan pada motivasi, mendorong sekolah-sekolah mencapai maksud dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Sekolah-sekolah yang sudah memperoleh akreditasi A, diandaikan mampu mengelola dirinya dengan baik secara otonom dalam mengembangkan sistem ajar yang berlangsung.
Otonomi sekolah bukan berarti sekolah itu dapat semua saja mengelola sekolah. Acuan standar lulusan dan profil sekolah tetap mencerminkan cita-cita pendidikan nasional. Indikator-indikator pencapaian sangat disesuaikan dengan konteks dan standar kompetensi guna mencapai tujuan mengapa lembaga pendidikan di tempat itu didirikan.
Otonomi sekolah, dalam sekolah penggerak membutuhkan fleksibilitas dalam penerapan kurikulum. Praktik otonomi sekolah menurut Limon dan Aydin (2020) memastikan fleksibilitas sesuai dengan kebutuhan sekolah dan para murid. Kata ’fleksibel’ telah digunakan di berbagai bidang.
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000), kata ’fleksibel’ berarti ”mampu berubah agar sesuai dengan kondisi atau situasi baru”. Secara intuitif, fleksibilitas dapat dipahami sebagai kemampuan untuk merespons perubahan. Fleksibilitas terkait dengan kemampuan membuat penyesuaian terus menerus dalam kondisi yang kerap berubah.
Dalam fleksibilitas, para guru dan unsur pimpinan sekolah, perlu memilah dan memilih mana materi ajar yang esensial untuk diajarkan dan mana yang tidak. Target ketuntasan belajar yang selama ini menjadi momok para guru, khususnya di daerah-daerah terpencil, dapat disesuaikan dengan materi ajar yang esensial. Ketuntasan belajar tetap disesuaikan dengan acuan standar kompetensi, tetapi metode pencapaian bahan ajar sepenuhnya diatur dan menjadi tanggung jawab guru secara kreatif.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, para guru tidak perlu merasa ragu dalam menggunakan seluruh potensi yang ada guna mengembangkan bahan ajar secara kreatif, inovatif, inspiratif, dan formatif. Melalui merdeka belajar pada program sekolah penggerak para guru diberikan kesempatan luas dalam mengembangkan metode mengajar dan mendidik para murid.
Pemerintah perlu mendorong upaya-upaya positif supaya para guru tanpa ragu mengembangkan diri mereka sebagai pendidik yang andal. Pengembangan program sekolah penggerak akan semakin bertumbuh jika sekolah-sekolah terakreditasi A diberikan otonomi sekolah sesuai standar kompetensi pendidikan nasional.
Otonomi sekolah dan fleksibilitas para guru dalam merespons perkembangan zaman sangat membatu percepatan merdeka belajar pada program sekolah penggerak. Dalam merdeka belajar, fleksibilitas penerapan kurikulum ”baru” dalam sekolah penggerak sepenuhnya dilakukan oleh sekolah-sekolah yang otonom.
Semoga otonomi sekolah dan fleksibilitas penerapan kurikulum dalam sekolah penggerak bukan hanya wacana semata, tetapi dapat dipraktikkan dalam lembaga pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
(Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, Praktisi Pendidikan)