Kematian Pengarang dan Implikasinya pada Teks
Teks sastra modern ditandai dengan gejala keluarnya pengarang dari struktur cerita sehingga cerita lebih terkesan obyektif dan impersonal. Gejala demikian disebut “The Death of Author” atau kematian pengarang.
Pengarang telah mati. Tokoh pengarang dalam cerita pendek ”Pengarang Telah Mati” (Sapardi Djoko Damono, 2001: 43) itu meminta sang tamu (yang datang ke rumahnya) untuk menerbitkan karyanya, jika diperlukan menggunakan jasa editor. Namun, pengarang mati lebih dulu sebelum teks itu diketahui oleh sang tamu. Karena itu, sang tamu menuduh pengarang tidak bertanggung jawab atas teksnya dan mati seenaknya.
Teks ini agak mirip dengan mitos Sartre tentang pelari maraton yang sampai di Athena, tetapi sebenarnya satu jam sebelumnya ia sudah meninggal (Heraty, 2000: xxii). Sartre menyatakan bahwa sebuah buku mempunyai kebenaran mutlak pada zamannya sendiri di bumi ini. Demikian pula pengarang mati, masih seolah-olah hidup untuk beberapa lama lewat karyanya, lalu lenyap dari sejarah percaturan, seakan-akan dikuburkan untuk kedua kalinya.
Perumpamaan Sartre tersebut seakan menjadi keyakinan tokoh pengarang muda Nardi dalam novelet Aoh K Hadimadja. Dalam noveletnya yang berjudul Dan Terdamparlah Darat yang Kuning dan Laut yang Biru (Pustaka Jaya, 1975), Aoh ”membunuh” tokoh Nardi yang bercita-cita menjadi pengarang besar.
Dalam keyakinan Nardi untuk menjadi pengarang besar diperlukan pengalaman yang luas, dan keyakinan inilah yang membawanya ke negeri Belanda. Di negeri ini, Nardi mereguk pengalaman sepuas-puasnya, tetapi ia terjerumus dalam pergaulan perempuan, meskipun pengalaman dalam bidang seni ada juga didapatinya. Akibatnya, ia gagal menjadi pengarang yang baik karena tidak satu kalimat pun berhasil ditulisnya.
Baca Juga: Kolase Budi Darma
Jika pengarang telah mati, bagaimana cerita dapat sampai kepada pembaca? Jawaban atas pertanyaan ini akan sampai pada teknik penceritaan yang berbeda. Aoh menggunakan teknik sorot-balik untuk mengisahkan masa petualangan pengarang muda semasa hidupnya. Sementara Sapardi menghadirkan unsur narator ke dalam struktur ceritanya.
Masing-masing cara tersebut membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Teknik sorot-balik lebih mudah dipahami oleh pembaca yang umumnya mengenal alur kilas balik sejak SMA. Sementara cara Sapardi tidak saja membawa implikasi pada teksnya, tetapi juga pada logika pembaca yang merasa asing dengan narasi semacam itu.
Pembunuhan atas tokoh juga menimbulkan ”gangguan” pada pemaknaan teks Raumanan (Marianna Katoppo, 1977). Pembaca umumnya mengetahui kalau (tokoh) Raumanen telah mati; suatu penafsiran yang tentu saja tidak keliru, tetapi tidak mengandung kebenaran tekstual sebagaimana dikatakan Sartre sebuah buku mempunyai kebenaran mutlaknya sendiri.
Sejak awal dikesankan seolah-olah Raumanen telah mati sebagaimana dapat ditafsirkan dari pernyataan naratornya demikian: ”Sudah lama tidak ada yang menjenguknya. Padahal, ketika ia baru pindah ke situ, hampir setiap hari teman-temannya datang”. Prolog ini membentuk sebuah skuen lalu menimbulkan asosiasi yang menyatakan Raumanen telah mati dan pengarang membuatnya seperti roh yang dapat berbicara kepada orang yang masih hidup.
Orang lalu menghubungkan dunia Raumanen dengan dunia ”Si Manis Jembatan Ancol”. Tidak berhenti sampai di sana, penulis teks Raumanen dianggap sebagai seorang paranormal semacam shaman (dukun/balian) yang mampu memediatori pikiran roh dengan keluarganya yang masih hidup.
Marianna Katoppo mengaku tidak pernah menulis bahwa Raumanen telah mati.
Marianna Katoppo mengaku tidak pernah menulis bahwa Raumanen telah mati. Dalam pengakuannya, ketika diskusi ”Perjumpaan Penulis Indonesia-Perancis” di Jakarta 25 tahun silam (5-7 November 1996) dikatakan bahwa Raumanen dimulai pada suatu titik yang sebetulnya berada pada suatu dimensi yang lain.
Tokoh itu, katanya, menempatkan dirinya pada suatu tempat dalam dunia fisik, yang (masih) mengenal adanya hari raya Paskah dan Natal; dia tahu bahwa Monang (tokoh lain) selalu datang sehari sesudah hari raya itu. Sementara Monang mencatat bahwa sudah sekian tahun berlalu. Hal ini diukurnya dengan jumlah gedung yang telah direncanakannya: ”Tadi malam aku bermimpi tentang Raumanen… Pertemuan yang tak terhapuskan dari kenangan…” (hlm, 10-12).
Hanya dalam satu hentakan, yang tidak lebih dari lima kalimat itu, pengarang membentuk dua skuen pembuka yang menakjubkan sekaligus membingungkan. Seusai dua skuen itu, barulah cerita yang sebenarnya dimulai, yang intinya mengisahkan masa lalu Raumanen dan Monang sampai pada kehamilan Reaumanen. Seluruh skuen itu, disudahi dengan mengaitkan ujungnya dengan skuen kedua, dan melanjutkan kembali kisah kesepian Raumanen dan Monang, yang muncul di awal cerita.
Baca Juga: Mencari Ruang Kritik Sastra
Struktur narasi semacam ini, tentu saja terkesan ganjil, apalagi cerita diantarkan secara akuan yang mengacu pada dua titik penokohan yang berbeda, yakni Raumanen dan Monang. Kadang-kadang muncul suara lain, yang bukan bersumber dari kedua narator protagonis itu, tetapi dapat dirasakan bahwa kisah juga diantarkan narator yang terselubung (implied narrator); teknik novel yang terlalu dini untuk dikatakan ”kekacuan” sebuah teks fiksi.
Artinya, teknik yang digunakan dalam Raumanen adalah teknik yang lazim digunakan dalam teks modern. Meskipun demikian, juga tidak mungkin menolak apabila teks ini dapat membingungkan pembaca yang ditujunya.
Alan Robbe-Grillet, misalnya, dalam Djinn (1981), sejak awal (prolog) telah memperingatkan pembacanya bahwa isi (cerita) novel ini bisa membingungkan. Karena itu, pembaca diharapkan turut memikirkannya.
Dari bab satu hingga bab lima, Moris menyatakan dirinya sendiri, untuk memenuhi tawaran pekerjaan, yang mengharuskannya bertemu dengan seseorang di sebuah hanggar rongsokan di belahan kota Paris. Di sini, perjumpaan ganjil antara Moris dan seorang wanita bernama Djinn, serta dua kanak-kanak, Jean dan Marrie.
Pada bab keenam, cerita berganti narasi. Moris tidak lagi menceritakan dirinya sendiri, melainkan muncul orang ketiga yang mengisahkan tentang Moris. Narator orang ketiga menyebutkan Moris dengan nama Simon Locoeur. Menurut narator ini, Simon terlalu awal hadir ke dunia ini. Ia seharusnya hidup pada masa depan dan ini mungkin suatu narasi untuk menyatakan bahwa teknik novel Djinn adalah milik masa depan, yang pada saat kehadirannya sangat membingungkan orang.
Baca Juga: Sindhunata, Sang Carik Anak Bajang
Pada bab kedelapan muncul ”pencerita terselubung” dan berkata: ”Ketika sebulan yang lalu aku berada di Perancis, aku berkesempatan kenal dengan seorang yang bernama Simon Locoeur”, yang entah karena apa aku tidak mengenal bila panggilan Simon adalah Moris. Ini sebuah bab yang terkesan ditempelkan begitu saja pada teks novel Djinn.
Dalam membaca bab ini, apabila digunakan sudut pandang linguistik bahwa sebuah novel adalah dunia kedua yang tidak beraturan, bab ini dapat dihubungkan dengan deskripsi mengenai mayat misterius di dekat stasiun Gere Du Nord. Identitas dan ciri-ciri kamatian wanita itu persis sama dengan apa yang digambarkan pada bab delapan; naskah tulisan Simon Locoeur yang ditemukan polisi di kamar kontrakan instruktur ”American Scool” di Paris.
Apa hubungan novel Djinn dengan naskah tulisan Simon Locoeur? Apakah teks Djinn karya Robbe-Grillet sebenarnya berasal dari naskah tulisan Simon, yang dijadikan polisi sebagai kata kunci penyidikan mayat misterius itu? Dugaan ini dapat dihubungkan dengan prolog novel, yang sebenarnya merupakan tulisan Robbe-Grillet (?). Jika demikian, siapa sebenarnya Simon Locoeur baik di dalam teks novel maupun di alam realita, yang berhubungan dengan hilangnya instruktur ”American Scool” itu?
Dalam prolog, pengarang juga mengisahkan bahwa instruktur ”American Scool” di Paris telah beberapa minggu tidak hadir di kelas.
Dalam prolog, pengarang juga mengisahkan bahwa instruktur ”American Scool” di Paris telah beberapa minggu tidak hadir di kelas. Ketika dikunjungi ke rumahnya, ternyata pintu rumah itu tertutup rapat. Polisi kemudian mendobraknya dan menemukan paspor berwajah Yann, tetapi tidak mencantumkan nama Simon Locoeur atau Robin Koershimen; seorang insinyur elektronik kelahiran Keev. Anehnya, naskah temuan polisi itu sama persis dengan kedelapan novel Djinn.
Berondongan pertanyaan akan muncul terus-menerus selama pembacaan teks novel itu. Ke mana instruktur itu menghilang? Siapa sebenarnya Simon Locoeur? Siapa narator terselubung yang mengetahui benar peristiwa kematian misterius seorang wanita dekat stasiun Gere Du Nord itu?
Mengapa identitas dan ciri-ciri wanita itu sama persis dengan Djinn, yang divisualisasikan oleh Moris? Belum lagi, apa hubungan peristiwa-peristiwa itu dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa Moris ternyata ada dalam realita, dan terbukti Carolinne pernah menggendongnya selama di stasiun?
Kepada siapa dan ke mana bertanya atau menemukan jawabannya? Alam pikiran pembaca awam pastilah kembali menempatkan pengarang sebagai sumber dari semua kekacauan tekstualitas itu. Dengan demikian pengarang dianggap sebagai sumber segala arti yang menyusul penafsiran teks novelnya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan bahwa tanggapan pengarang sendiri mungkin berubah, atau berbeda dengan makna teks secara otonom.
”Karya sastra selalu menyimpang, bahkan mengkhianati maksud pengarangnya sendiri”, kata Nirwan Dewanto (Kompas, 19/9/97, hlm. 21). Ini senada dengan ucapan Stenley: ”Teks ada dengan sendirinya, tetapi terbentuk secara unik dan khas, lantaran pembaca melakukan interpretasi” (dalam TK Seung, Semiotics and Thematic in Hermeneutics, 1982).
Dua dari tiga teks di atas memang mengisahkan tokoh pengarang. Akan tetapi, mengapa ”pengarang sebenarnya” membunuh kedua tokoh (”pengarang implisit”) itu? Adakah mereka sedang memberi respons terhadap teori ”kematian pengarang” Roland Barthes, Ricoeur dan Foucault? Menurut Barthes, teks sastra modern ditandai dengan gejala keluarnya pengarang dari struktur cerita sehingga cerita lebih terkesan obyektif dan impersonal. Oleh Barhtes, gejala demikian disebutnya ”The Death of Author” sebagaimana judul eseinya (Barthes, 1984) yang membicarakan perkara kematian pengarang.
Baca Juga: Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?
Barthes dan Foucault yang mengibarkan isu kematian pengarang rupanya lebih berupaya mencari pola-pola aturan yang mendasari sebuah realitas visual. Mereka menolak kecenderungan umum sastra Barat yang secara tiranis mengangkat sosok pengarang ke titik sentral dalam sejarah sastra. Sebaliknya, mereka memusatkan perhatian pada pencarian ketidaksadaran yang dibayangi satuan lingual di dalam teks itu sendiri.
Barthes, Genette, Todorov, Fowler, Chatman, Rimmon-Kenan lebih bekerja dengan bantuan linguistik sebagai alat analitik. Sedangkan Foucault sesuai dengan minatnya yang luas terhadap berbagai ragam wacana pengetahuan, lebih tertarik pada dimensi historis tentang pembahasan fungsi bahasa yang tidak saling berhubungan.
(Jiwa Atmaja, Pembaca Sastra Tinggal di Denpasar)