Son Heung-min Hilang Ditelan ”Angeball”
Semakin lama, Son semakin terlihat tidak cocok di sistem ”Angeball”. Kelebihannya tenggelam dalam strategi Postecoglou.
Setelah kekalahan dalam derbi London Utara, ada satu pertanyaan besar yang muncul untuk Tottenham Hotspur. Di mana sosok penyerang andalan sekaligus sang kapten, Son Heung-min, saat dibutuhkan? Dia berada di lapangan selama 90 menit penuh, tetapi tidak mampu memberikan ancaman berarti.
Son turut menunjuk dirinya sendiri, bagian dari lini serang Spurs, sebagai biang dari kekalahan. ”Kami mampu sampai ke sepertiga akhir, tetapi kami juga harus bertanggung jawab untuk mencetak gol. Itu adalah hal paling sepak bola, untuk membuat keputusan dan klinis,” ujarnya kepada Sky Sports.
Berbicara gol, bintang tim nasional Korea Selatan itu tidak perlu diragukan lagi. Dia selalu mencatatkan dua digit gol dalam setiap musim di Liga Inggris sejak 2016-2017, termasuk berstatus peraih ”Sepatu Emas” pada musim 2021-2022. Namun, Son tampak mulai kehilangan dirinya belakangan ini.
Setidaknya sejak April 2024, pengujung musim lalu, produktivitas Son menurun drastis. Menurut Sky Sports, dia hanya mencatat rerata 0,32 gol dan 0,16 asis dalam 13 pertandingan terakhir. Jumlah itu menurun hampir separuh daripada sejak awal musim lalu hingga sebelum April (0,62 gol dan 0,33 asis).
Dari laga derbi, muncul pertanyaan lebih besar. Apakah Son mampu membawa Spurs berprestasi lebih baik pada musim ini? Dari tren performa, penyerang 32 tahun itu seperti sedang mengalami titik jenuh dalam sistem Pelatih Kepala Ange Postecoglou. Tidak seperti pada separuh musim pertama Postecoglou.
Salah satu isu terbesar adalah letak posisi terbaik Son. Posisi aslinya merupakan penyerang sayap kiri. Namun, musim lalu, dia justru lebih efisien ketika bermain sebagai penyerang tengah. Postecoglou sering menjadikannya ujung tombak untuk mengisi kekosongan usai Harry Kane pindah.
Terlihat jelas dalam statistik. Son mampu menghasilkan 14 gol dalam 23 laga saat diturunkan sebagai penyerang tengah sejak sepak mula. Saat digeser ke kiri, dia hanya mencatatkan 3 gol dari 12 laga. Jika dihitung rata-rata, produktivitas gol dalam posisi ujung tombak tersebut mencapai lebih dari dua kali lipat.
Musim ini kembali terulang. Son sudah mencetak dua gol dari empat pertandingan liga. Sepasang gol itu dicetak saat lawan Everton, ketika dipercaya sebagai penyerang tengah. Dia dimainkan di sayap kiri pada tiga laga lain, tetapi gagal menyumbang apa pun.
Baca juga: Tottenham Mencium ”Bau Darah” Arsenal
Meskipun begitu, masalahnya tidak sesederhana itu. Bukan hanya tentang posisi saja. Dua gol ke gawang Everton mungkin bisa menjawab permasalahan utama. Gol pertama Son musim ini dihasilkan dari blunder kiper Everton Jordan Pickford. Satu gol lagi berasal dari transisi serangan balik kilat saat Spurs sudah unggul 3-0.
Ada satu kesamaan dari sepasang gol itu. Semua berawal ketika lawan tidak sedang bertahan dengan blok rendah. Son mencetak gol dalam situasi pertahanan yang lengang. Hal tersebut menjadi masalah karena Spurs merupakan tim dengan penguasaan bola tertinggi pada musim ini, yaitu 61.6 persen.
Di bawah Postecoglou, Spurs selalu memainkan garis pertahanan ekstratinggi dan mengutamakan penguasaan bola. Setelah digunakan setahun kalender, tim-tim lawan bisa membaca kelemahan strategi ”Si Lili Putih”. Mereka ternyata tidak bisa berbuat banyak saat para lawan menggunakan strategi ”parkir bus”.
Arsenal, misalnya, hanya mencatat penguasaan bola 36,3 persen saat menang 1-0 di Stadion Tottenham Hotspur. Meskipun begitu, mereka tampak begitu nyaman saat tidak memegang bola. Para pemain Spurs kebingungan karena tidak ada ruang kosong untuk dieksploitasi. Kelebihan Son dalam transisi tidak terpancar.
Baca juga: Spurs Dominasi Bola, Arsenal Kuasai London Utara
Saya selalu memenangkan banyak hal pada tahun kedua saya. Tidak ada yang akan berubah.
Musim terbaik Son sepanjang kariernya terjadi saat memenangkan Sepatu Emas Liga Inggris, tiga musim lalu. Bukan kebetulan, tim ketika itu dilatih oleh Antonio Conte yang dikenal pragmatis. Spurs banyak mengandalkan transisi. Son memanfaatkan itu dengan kecepatan tinggi dan ketajaman dalam penyelesaian akhir.
”Angeball”, julukan gaya main Postecoglou, semakin terlihat tidak pas untuk karakteristik seorang Son. Dia lebih baik ketika diturunkan sebagai penyerang karena bisa lebih dekat dengan gawang. Insting tajam di kotak penalti bisa lebih digunakan. Namun, kemampuan terbaiknya tidak bisa keluar.
Situasi Postecoglou semakin sulit karena sudah mendatangkan Dominic Solanke dengan harga 64,3 juta euro (Rp 1,1 triliun) pada musim panas. Solanke akan menempati posisi penyerang tengah dan akan membuat Son otomatis tergeser ke sisi kiri. Sangat mubazir untuk menempatkan Solanke di cadangan.
Tren performa Son dan Spurs memperlihatkan kondisi sedang tidak baik-baik saja. Tanda tanya besar saat ini mengarah kepada Postecoglou. Pelatih 59 tahun itu harus segera menemukan kompromi terbaik antara ”Angeball” dengan kemampuan Son. Jika tidak, sulit melihat Spurs bisa sukses pada akhir musim.
Adapun Postecoglou masih sangat percaya diri bisa membalikkan keadaan dan berprestasi pada musim kedua di Spurs. ”Saya selalu memenangkan banyak hal pada tahun kedua saya. Tidak ada yang akan berubah. Saya tidak mengatakan hal-hal yang tidak saya yakini,” tegas sang pelatih usai derbi London Utara, dikutip Sky Sports.